01 April 2014

Movie Review: Venus in Fur (2013)


Setelah tiga tahun lalu memberikan kejutan dengan Carnage, kali ini Roman Polanski kembali dengan stage play yang tidak kalah terkenalnya, masih dengan menempatkan karakter di dalam sebuah ruangan, disertai misi awal sederhana yang seiring berjalannya waktu mulai membawa mereka kedalam percakapan yang lebih jauh, ditemani tingkah sensual childish dan kekacauan. Venus in Fur, an engaging imaginative and wild fun ambiguous play about how dominance venus against mars. Polanski’s fifty shades of grey.

Menelusuri jalanan kota Paris ditengah gemericik hujan, kita akan menuju sebuah teater yang telah berada dalam keadaan sepi. Sebelumnya telah diadakan audisi di tempat tersebut, namun tidak memperoleh hasil yang memuaskan, hal yang membuat pusing sang sutradara sekaligus penulis cerita, Thomas (Mathieu Amalric). Kondisi dimana pemeran utama wanita belum juga ditentukan itu menjadikan Thomas kemudian memutuskan untuk segera pulang kerumah dimana sang kekasih telah menunggunya. Namun rencana itu gagal terwujud.

Tiba-tiba muncul seorang wanita bernama Vanda (Emmanuelle Seigner), mengaku bahwa namanya tercantum dalam daftar peserta audisi. Uniknya meskipun telah datang sangat terlambat wanita yang berada dalam kondisi semrawut ini memaksa Thomas untuk memberinya kesempatan dengan sikap cerewet, dan Thomas yang telah lelah memutuskan memberikan kesempatan karena hanya itu jalan satu-satunya agar ia dapat cepat pulang. Tapi dibalik sikap sombongnya Vanda punya apa yang Thomas cari, dan berhasil merubah kendali dari permainan yang mereka lakukan.


Sejak ia dimulai Venus in Fur telah mampu menghadirkan apa yang menjadi salah satu hal penting dari bagian pembuka sebuah film: membuat penonton mungkin mengernyitkan dahi, kemudian tersenyum kecil, dan bergumam “oh, ini menarik.” Yap, mencengkeram atensi penonton, lagi dan lagi Roman Polanski berhasil dalam tahap tersebut, membentuk materi super sempit yang ia ambil dari play dengan judul sama karya David Ives itu menjadi pertarungan yang seperti paham bagaimana menciptakan permainan teatrikal menyenangkan. Terkadang ia lucu, terkadang ia juga serius, mereka ditemani dengan sisi seksi tanpa mengumbar sensualitas dengan cara murahan dalam pertarungan memperebutkan dominasi.

Ya, sebenarnya Venus in Fur adalah penggambaran dari sebuah pertarungan. Dari luar tampak sempit, dalam ruang tertutup seorang sutradara beradu dialog bersama seorang aktris, namun ada makna yang lebih luas disini: pria dan wanita. Ini seperti menyaksikan, atau mungkin meneliti lebih tepatnya, bagaimana dinamika kekuasaan antara pria dan wanita, hal tersebut ia tinggalkan untuk menjadi patokan utama dan kemudian membuka ruang imajinasi lebih luas lagi yang dengan terampil dijaga tingkat kepadatannya. Ini yang menjadikan Venus in Fur menarik, terkesan kurang penting dengan aksi saling ejek namun justru menyimpan isu menggelitik dibalik dialog-dialog dengan dominasi pertukaran peran penuh ambiguitas dengan motif tidak jelas itu.

Kekuatan utama Venus in Fur terletak pada kepiawaian Roman Polanski membangun konsep minimalis yang ia usung. Terampil, keterbatasan ruang itu justru ia ubah menjadi sebuah dunia kecil yang menggambarkan kompleksitas dari berbagai gesekan isu hingga komentar menggelitik, dari awalnya hanya sebatas antara sutradara dan aktornya, kemudian berkembang hingga posisi manusia dan eksploitasi wanita dengan menggunakan seksualitas sebagai bumbu utama. Yang menjadikan ini semakin adalah Venus in Fur tidak kehilangan nafasnya sebagai sebuah pertunjukan teatrikal, Polanski tetap mempertahankan keterbatasan yang tersebut tapi dengan cerdik berhasil menjaga daya tarik cerita dengan berbagai hal menarik lainnnya.


Permainan kamera mungkin menjadi salah satu hal paling menarik disini, disamping tentu saja haunting score efektif dari Alexandre Desplat yang sepertinya sudah paham apa yang Polanski inginkan karena pernah bekerja sama di Carnage. Sangat suka bagaimana cara Polanski dengan bermain-main bersama objek yang terbatas, ada spontanitas yang kuat disini, kemudian close-up yang kerap membantu mempertahankan fokus cerita, zoom out shoot seperti Rosemary Baby, hingga berbagai pergeseran halus dan beberapa cukup sulit yang juga menjadikan seolah panggung tersebut berisikan lebih dari dua orang. Atmosfer yang diciptakan tampil menarik, dengan permainan cahaya yang manis menciptakan banyak gambar minimalis yang justru terkesan berkelas.

Bukan berarti ini tanpa kelemahan memang, karena ketika permainan kucing dan tikus itu hadir cerita terasa sedikit memperlambat temponya dan sempat kehilangan irama, namun tidak hanya karena kepiawaian Polanski memanfaatkan berbagai hal tadi untuk melebarkan ruang cerita, namun juga kinerja dua aktor yang seolah menjadi panggung tersebut menjadi dunia mereka berdua berhasil menyelamatkan Venus in Fur. Emmanuelle Seigner sukses meyakinkan penonton karakternya punya bakat, sisi menjengkelkannya juga manis, namun juga sukses menghentak ketika tampil seksi bersama sisi erotisme penuh intrik. Sedangkan Mathieu Amalric tampil ekspresif dalam ketenangan yang perlahan dihantui rasa bingung.


Overall, Venus in Fur adalah film yang memuaskan. Dipenuhi ambigu dan pertukaran peran yang menyenangkan, Roman Polanski sekali lagi membuktikan kehandalannya dalam bermain-main bersama cerita dengan ruang terbatas. Venus in Fur seperti kumpulan dari berbagi potongan kecil yang masing-masing sukses memberikan sesuatu yang menarik, dipenuhi dengan sindiran yang pas, tapi juga dapat tampil seksi, serius, dan lucu dengan sama baiknya berkat permainan gambar dengan transisi yang halus dan rapi. Kemasan minimalis yang manis. Segmented. 







0 komentar :

Post a Comment