31 March 2014

Movie Review: The Invisible Woman (2013)


“You have been the embodiment of every graceful fancy that my mind has ever become acquainted with.”

Jika suatu saat ketika kisah cinta yang anda miliki telah berjalan dalam hitungan dekade, namun perlahan mulai merasakan bahwa kekuatan cinta itu telah pudar, apa yang akan anda lakukan? Terus memaksakan diri sekalipun faktanya sudah tidak lagi merasakan bahagia, atau justru mengambil langkah berani dengan berlayar dan berlabuh pada sosok baru yang dapat memberikan rasa bahagia tersebut kepada anda. Simple system but seems complicated. Hal tersebut coba digambarkan oleh The Invisible Woman, film kedua Lord Voldemort sebagai sutradara, a sad love story in effective and elegant way. This is a tale of woe. This is a tale of sorrow.

Dengan kemahiran yang ia miliki dalam merangkai kata-kata tidak heran sangat sedikit orang pada tahun di akhir abad 19 yang akan merasa ragu bahwa Charles Dickens (Ralph Fiennes) punya permasalahan dalam kehidupannya. Apa yang ia tulis menjadi terkenal, bahkan ia panggung teatrikal yang ia tangani juga menjadi hits. Namun faktanya berbeda, Charles telah kehilangan gairah cinta, istrinya kini yang bernama Catherine Dickens (Joanna Scanlan) tidak lagi ia rasa dapat menjadi rekan berbagi bahagia dan duka bersama.

Hal tersebut yang menjadikan Charles dengan mudah tertarik pada Nelly Ternan (Felicity Jones), gadis muda yang bersama saudari dan ibunya, Catherine Ternan (Kristin Scott Thomas) datang pada Charles untuk menjadi bagian dari pertunjukkan. Celakanya daya tarik yang tercipta tidak hanya satu arah, karena disisi lain Nelly yang sangat mengagumi karya Charles juga merasakan hal yang sama. Namun sistem masyarakat yang berlaku saat itu menjadi penghalang, yang kemudian menjadikan kisah cinta mereka harus terjalin dalam keterbatasan.


Konsep sederhana tapi kompleks sepertinya terus dipegang teguh oleh Ralph Fiennes ketika membangun kisah yang ditulis ulang oleh Abi Morgan dari buku berjudul The Invisible Woman: The Story of Nelly Ternan and Charles Dickens karya Claire Tomalin ini. Materinya sederhana, luas lingkupnya juga tidak ada yang rumit, tapi ada intensitas yang sangat sangat menarik disini, dan Ralph Fiennes berhasil menciptakan unsur terpenting dari sebuah kisah drama yang berdiri tunggal hanya dengan mengandalkan romansa: emosi. Perlahan dengan tempo yang mungkin akan terasa sedikit lambat, penuh sabar dengan kehalusan yang mumpuni, penonton hanya menerima dan kemudian bermain dengan rasa peka karena ini seperti mendengarkan sebuah dongeng.

Ya, dongeng, anda akan tertidur, atau anda akan  tertarik lebih dalam. Keuntungan yang diperoleh film ini adalah alih-alih menggunakan penggambaran sosok Charles Dickens hingga akhir hal tersebut justru ia pakai sebagai patokan utama, karena dari sana kisah mulai terbuka. Perlahan terbuka, masalah-masalah lain mulai muncul dan uniknya mereka tidak kalah menarik, mampu sejajar dengan isu egoisme yang dimiliki kaum pria. Ya harus diakui disini Ralph Fiennes sangat cerdik dalam mempermainkan cerita, ia mencampur tragedi dan rasa sedih dalam sebuah dramatisasi yang pas, simple tapi tajam, sehingga sekalipun cerita berjalan terlalu stabil kita sebagai penonton tidak pernah kehilangan intensitas dari gesekan yang dihasilkan permasalahan utama.

Intim dan intens, mungkin itu jawaban dari pertanyaan apa yang menjadi daya tarik utama The Invisible Woman. Memang visual juga banyak membantu, seperti sinematografi berani yang kerap berperan dalam membentuk suasana, hingga bagian kostum yang memperoleh nominasi Oscar tahun lalu, tapi bagaimana Ralph Fiennes menciptakan pendekatan dan memperkenalkan masalah pada hubungan cinta itu sendiri yang terasa mengasyikkan. Alur maju dan mundur memang kerap mengganggu, tapi anehnya kisah cinta Charles dan Nelly tidak pernah kehilangan pesonanya, kegelisahan gairah cinta terlarang yang bertumbuh secara perlahan, dan hebatnya mereka terbentuk tanpa menembus batas tradisi kaum bangsawan masa lalu yang mayoritas tampak elegan, tanpa dramatisasi seksual yang berlebihan.


The Invisible Woman sangat terbantu berkat keseimbangan antara development pada sisi cerita dan karakter. Ini memang resiko yang tercipta ketika sutradara tidak memberikan sesuatu yang besar sejak awal, secara bertahap ia melemparkan kepingan-kepingan kecil yang membuat penontonnya berjalan mendekat sembari penasaran. The Invisible Woman bahkan lebih sering berkembang berkat momen-momen kecil yang intim dan mendebarkan, hal yang mungkin melahirkan penilaian ini adalah sebuah kisah yang stuck dan berputar-putar. Ada kedalaman yang terjaga dengan baik disini, bersama dialog-dialog puitis yang tidak semuanya bekerja dengan baik tiap karakter punya ruang bermain sendiri yang menarik untuk diamati, disamping tentu saja pertarungan pada cinta antara mereka yang terus saja tampil menghibur.

Hingga akhir, kisah cinta penuh ambiguitas itu terus menarik perhatian. Itu bukan hanya berkat narasi yang sabar dengan ketukan yang tepat, sisi teknis yang mumpuni, namun juga kinerja divisi akting. Ralph Fiennes adalah pusat cerita, dan ia mampu menciptakan potret yang efektif dari seorang Charles Dickens, dari popularitas dan keahlian miliknya yang membuat banyak orang jatuh hati, hingga permasalahan pada sisi cinta (yang juga banyak memperoleh bantuan dari kinerja Joanna Scanlan). But Felicity Jones steals the show, bersahaja, intim dan chemistry yang mumpuni, tekanan internal, emosi yang ekspresif bahkan hanya dengan mata dan bibirnya yang cemberut. Dia memang tampil baik di Like Crazy, namun ini adalah sebuah breakout performance lainnya dan mungkin akan membawanya ke jenjang yang lebih tinggi.


Overall, The Invisible Woman adalah film yang memuaskan. Pendekatan yang ia ciptakan berjalan dengan penuh rasa sabar, dan berpotensi pula menggerus rasa sabar penontonnya. Tapi disamping itu ia juga punya sebuah kisah percintaan sederhana yang dikemas dengan intim dan juga intens, terasa halus dan ketika mampu menyentuh sisi peka dapat menjadikan penonton terpaku hingga akhir. Film keduanya sebagai sutradara, menjadi penasaran apalagi yang akan diberikan oleh Ralph Fiennes selanjutnya setelah memberikan kisah sedih yang dibentuk dengan manis ini. 







0 komentar :

Post a Comment