29 April 2014

Movie Review: The Machine (2013)


"It's not programming, it taught itself."

Film dengan tema human versus technology sepertinya berpotensi besar untuk mulai menjadi wabah baru beberapa tahun kedepan, formula dan isu yang familiar, hal utama yang membedakan mereka satu sama lain adalah seberapa mampu eksekusi itu meninggalkan kesan yang kuat, salah satunya mungkin dengan kemampuan mereka meningkatkan rasa waspada dan menjadi alarm bagi kreatifitas manusia yang semakin merajalela. Ini mungkin tidak akan terlihat megah namun ia mampu melakukan hal penting tadi. The Machine, a satisfying contemporary sci-fi.

Di masa depan pertempuran akan semakin sengit, dari ranah ekonomi hingga angkatan bersenjata, tidak hanya melibatkan Amerika Serikat dan negara pencipta nuklir lainnya, namun juga telah menyelipkan negara-negara potensial untuk menjadi seperti China dan Rusia. Hal tersebut yang kemudian meningkatkan rasa waspada salah satu negara di belahan bumi lainnya, Inggris, dengan sebuah keputusan controversial dari Departemen Pertahanan untuk menciptakan robot yang bukan hanya menjadi daily assistant, melainkan juga sebagai prajurit pembunuh.

Seorang ilmuwan computer bernama Vincent (Toby Stephens) ditunjuk sebagai pemimpin proyek yang berencana untuk menyempurnakan kembali sistem implant otak yang mereka punya. Pemimpin mereka, Thomson (Denis Lawson), juga semakin tersenyum lebar ketika keputusan untuk merekrut Ava (Caity Lotz) juga semakin memperkokoh rencana yang telah ia susun. Namun Ava pula yang menjadi sumber terganggunya rencana tersebut, bermula dari ketika ia mempertanyakan tujuan utama program penelitian tersebut hingga membuka fakta lain yang terkait hubungan keluarga serta kontak batin.


Memang akan menjadi sesuatu yang basi jika hanya menilik premis yang ditawarkan sci-fi thriller asal Inggris ini, The Machine punya inti yang sama dimana isu yang coba dilemparkan oleh Caradog W. James juga bermain pada power technology atas manusia sebagai pencipta mereka, namun dibalik kesan sederhana yang telah ia pegang sejak awal The Machine secara mengejutkan justru mampu menggambarkan berbagai gejolak yang mungkin akan terjadi pada dunia technology. Tidak hanya itu, tapi ada nyawa disini, sebuah kehidupan dalam cerita yang menjadikan penontonnya seolah merasa mereka menjadi bagian dalam permasalahan.

Hal ini memang tidak bisa dibuang terlebih dengan menilik tanggal rilis mereka yang berdekatan, secara kualitas The Machine berada diatas film sci-fi dengan tema serupa yang punya budget besar bernama Transcendence, semua berkat hal kecil yang dijelaskan diatas tadi. Ada sikap berani yang ditonjolkan oleh Caradog W. James disini, ia tidak takut untuk menggunakan berbagai hal yang mungkin sudah terlalu akrab bagi penontonnya, namun kemudian ia olah dengan pendekatan yang cerdik sehingga memberikan penceritaan yang terasa segar meskipun tetap tidak mampu menghapus kesan manipulatif. Ya, selamat dari kehancuran karena ide-ide yang umum itu dikemas dengan tajam dan fokus dalam dinamika cerita yang mengalir dengan baik.


Dari proses penciptaan, kemudian bermain-main dengan elemen pembantu seperti rasa ingin tahu bersama kegelisahan yang mumpuni, hingga akhirnya masuk ke babak akhir dengan template dan materi klasik seperti melodrama menggunakan cinta dan keluarga, mereka di urai atau dibangun dengan tepat sehingga menciptakan kesan padat yang selalu mampu mempertahankan tensi dari permasalahan yang predictable itu. The Machine juga punya level yang memikat pada rasa intim yang ia hadirkan, yang kemudian banyak membantu karakter untuk secara konsisten terus menjadi fokus utama dan dapat bergerak bebas dan lepas dalam mempertunjukkan  skenario simple yang seolah terus berupaya menjauhkan dirinya dari kesan eksploitatif itu.

Yap, ada sebuah potensi yang menyeramkan tapi tidak coba untuk digali lebih dalam. Namun tampaknya memang Caradog W. James sejak awal tidak mau untuk masuk ke area tersebut, menjaga ini hanya bermain-main dalam isu luas dan menendang jauh-jauh hal-hal seperti dialog berlebihan yang dapat menjadikan cerita terasa rumit dan kompleks. Hasilnya, bersama sinematografi yang cukup baik serta score bernada berat yang penuh misteri itu tercipta gerak cepat yang tampil baik dan juga terasa dinamis, momentum yang terjaga dengan baik sehingga menciptakan ruang bagi para aktor untuk menampilkan akting mereka juga faktanya juga banyak menjadi penopang film ini pada sisi visual.

Toby Stephens adalah pemeran utama, dan kemampuannya dalam mendorong maju cerita menggunakan berbagai dilema yang satu persatu hadir dapat dikatakan cukup baik. Denis Lawson mampu menghadirkan tekanan, serta Pooneh Hajimohammadi bersama karakternya Suri berhasil menjadi sisi lain misteri pada cerita dengan suara aneh yang ia dan kawanannya miliki. Tapi bintang utamanya adalah Caity Lotz. Tidak fantastis, tapi impresif. Ada kecerdasan dan juga kehangatan yang secara cepat membangun jembatan koneksi karakternya dengan penonton. Transisi yang ia bangun juga baik, dari sosok cerdas menjadi robot kaku dengan kinerja fisik yang mumpuni.


Overall, The Machine adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah sci-fi yang berani, mengusung konsep sederhana yang terus dijaga agar tampil sederhana tanpa mau berupaya untuk tampil rumit dan kompleks. Kurang ambisius? Justru tidak, karena dengan membuang hal-hal tadi Caradog W. James mampu menghadirkan isu utama terkait bahaya teknologi secara kompeten dengan ketajaman yang memikat. Surprisingly good.






1 comment :