29 April 2014

Movie Review: Blue Ruin (2013)


"No speeches, no talking. You pointed the gun, you shoot the gun."

Apakah tindak kekerasan selalu dapat menyelesaikan sebuah masalah? Maybe. Ya, mungkin, karena mayoritas dari tindak kejahatan yang bersumber dari suatu masalah justru akan menciptakan sebuah masalah baru di depannya, namun bukankah tidak di semua kesempatan setiap manusia akan memperoleh banyak opsi untuk memecahkan masalah mereka? Terkadang bahkan hanya satu, memperoleh kepuasan dan rasa damai dengan melakukan aksi balas dendam. Blue Ruin, questioning morality in suspenseful low octane revenge thriller.   

Mobil Pontiac berwarna biru yang penuh karat seolah melengkapi betapa berantakannya kehidupan yang dimiliki oleh Dwight (Macon Blair), pria berjanggut dengan penampilan lusuh yang seolah hidup tanpa motivasi. Faktanya memang begitu, berkelana dari rumah yang berbeda hanya untuk numpang mandi, dan setelah itu menghabiskan harinya yang kosong dengan menyendiri duduk santai di area pantai. Hal tersebut menjadi rutinitas yang ia lakukan sembari menunggu saat itu tiba, saat dimana ia hendak membalaskan dendam pada orang yang telah membunuh orang tuanya.

Momen itu tiba, disaat sedang tertidur pulas Dwight dihampiri seorang petugas polisi yang sepertinya masih menaruh simpati padanya, dan memberikan info bahwa sosok yang membunuh orang tuanya telah dibebaskan. Tanpa menghabiskan banyak waktu Dwight langsung bergerak untuk membalaskan dendamnya. Namun sikapnya yang bertindak tanpa perencanaan yang kuat justru menciptakan masalah baru bagi Dwight, aksi balasan yang turut mengancam keberadaan orang-orang yang Dwight kenal, salah satunya Sam (Amy Hargreaves), dan menjadi awal dari terciptanya sebuah permasalahan baru.


Sebenarnya inti utama dari kisah yang ingin disampaikan oleh Jeremy Saulnier sangat sederhana, bagaimana kinerja dari sebuah sistem sebab dan akibat pada kehidupan lengkap bersama masalah serta konsekuensi, dan bagian dari konsep minimalis itu sukses tersampaikan dengan baik juga dalam bentuk kemasan yang dibangun secara minimalis. Oktan rendah, ada irama alur yang bergerak pelan, cenderung banyak menghabiskan waktu dalam cerita yang tenang dan terasa dingin, namun disisi lain tetap mampu menghadirkan cengkeraman thrill yang kuat dalam narasi yang terus memegang teguh komitmennya pada fokus utama.

Hal tersebut yang menjadikan Blue Ruin terasa manis, terus kokoh dalam gelapnya isu utama meskipun penuh warna dalam gerak yang terasa liar. Dengan pendekatan yang juga minimalis kita seperti coba diajak untuk menikmati berbagai hidangan yang di usung dalam sebuah tahapan yang efektif oleh Jeremy Saulnier. Tidak semua terungkap sejak awal, secara bertahap cerita terus bertumbuh dengan informasi yang dilemparkan secara satu per satu, mondar-mandir secara konsisten dari yang awalnya seperti tidak punya motivasi yang kuat, mulai menemukan fakta dari karakter antihero yang kemudian akan menyajikan aksi kekerasan brutal dan agresif yang lagi-lagi dikemas dengan tenang.

Selalu ada kenikmatan tersendiri ketika menyaksikan sebuah film thriller yang bermain-main dalam situasi tenang namun tetap mampu menciptakan cengkeraman yang mumpuni. Riskan memang terlebih jika di isi dengan gerak yang terkesan random dan berpotensi menghadirkan penceritaan yang terasa lesu bersama rasa monoton, tapi berkat narasi yang cekatan momentum cerita yang dimiliki Blue Ruin terkadang bahkan mampu menyentuh emosi sembari menjadi arena bagi sedikit eksploitasi pada sisi refleksi lewat hubungan keputusan serta pilihan yang berhasil terus terjaga dengan baik. Aneh memang karena materi yang ia miliki sesungguhnya terasa mentah dalam formula yang juga sangat tradisional, namun hal-hal tadi mampu dipermainkan dengan cerdik oleh Jeremy Saulnier.


Mengharap ledakan cerita dengan tensi yang tinggi adalah sesuatu yang salah disini, karena Blue Ruin memang sengaja dikemas untuk menyampaikan isu yang ia bawa secara lebih intim. Bahkan tidak ada subplot yang tidak perlu sebagai upaya untuk menambah kerumitan cerita, Jeremy Saulnier  memilih untuk terus fokus pada tahapan-tahapan yang hadir satu per satu dimana ia berhasil mengatur transisi yang halus antar tiap elemen sehingga menciptakan sebuah alur cerita yang terus klik dan mengalir, trauma psikologis yang kemudian diselingi oleh humor implisit yang minim, dan itu dibalut bersama suspense yang stabil serta dialog-dialog efektif yang terus menebar kesan ambigu yang tidak akan berhenti meninggalkan penontonnya dalam kondisi tanpa pertanyaan.

Yap, ini yang menarik, formula destruktif yang berisikan aksi menertawakan kebodohan dari karakter ini seolah menjadi ruang bagi pikiran para penontonnya untuk bermain-main, bukan sebuah misteri yang rumit memang tapi isu provokatif itu seperti tidak mau kalah dengan aksi kekerasan dalam mencuri atensi. So, membunuh adalah tindakan yang salah, namun bagaimana jika membunuh merupakan hanya opsi yang tersedia untuk membawa anda lepas dari trauma dan tekanan yang justru mungkin akan “membunuh” anda dalam kondisi hidup. Itu adalah dilema yang menarik jika dinilai dengan logika sederhana, menjadi bagian dari sebuah aksi balas dendam super simple yang rapi dan juga efektif.

Divisi akting sendiri merupakan kebalikan dari cerita yang variatif karena sepanjang cerita kita akan selalu berteman dengan Macon Blair. Memang tidak sama ekstrimnya dengan Tom Hardy di Locke, namun kinerja yang ia berikan berada di level yang tidak jauh berbeda, dari protagonist malang yang mampu menarik simpati, kemudian menunjukkan ledakan emosi yang sukses mengundang empati pada masalah yang ia bawa, hingga aksi balas dendamnya yang menciptakan dilema hasil perpaduan dari dua hal tadi. Selain Macon yang sukses mencuri perhatian hanya Amy Hargreaves dengan sikap frustasi yang ia bentuk, dan juga Devin Ratray dengan aksi komikal dalam menunjukkan semangat yang ia miliki.


Overall, Blue Ruin adalah film yang memuaskan. Dengan durasi 90 menit yang terasa mini serta konsep sederhana dengan alur cerita yang straightforward, Blue Ruin berpotensi besar mendapatkan kalimat “so what? “ dari penontonnya ketika ia telah berakhir. Ya, ini bukan membawa jawaban atas pertanyaan, namun justru sebuah pertanyaan setelah pertanyaan lewat aksi balas dendam. Fokus yang kuat, sinematografi dan score mumpuni, dinamika dan teknik bercerita yang rapi dan terus hidup, serta kinerja akting yang kuat dari Macon Blair, Blue Ruin berhasil menjadi sebuah thriller oktan rendah yang menyenangkan. Segmented.







0 komentar :

Post a Comment