15 March 2014

Movie Review: Moebius (2013)


Jika anda menelusuri Kim Ki-duk pada search engine, dan masuk ke halaman wikipedia, maka anda akan bertemu dengan kalimat “idiosyncratic "art-house" cinematic works” di bagian pembuka. Idiosyncratic: keanehan, keganjilan, keistimewaan, tiga makna dari kata tersebut telah menjadi hal yang identik dengan sosok auter asal Korea Selatan yang karya miliknya tak pernah jauh dari kata kontroversial itu. Namun ia adalah seorang pendongeng yang kuat, mampu memberikan pengalaman menonton yang bukan hanya menyenangkan, namun terkadang menyerang dan juga mengejutkan. Karya terbarunya ini masih punya hal tersebut, Moebius, a beautiful and uncomfortable story about family and, genital. (Warning: review contains strong language)

Film ini bercerita tentang sebuah keluarga dengan tiga tokoh yang sejak awal tidak disebutkan namanya: Ayah (Cho Jae-Hyun), Ibu (Lee Eun-Woo), dan seorang anak (Seo Young-Joo). Sang anak mungkin telah merasa menjadi salah satu bagian dari anak-anak yang kurang beruntung karena harus berada diantara orangtua yang kurang akur dan menjadikan mereka sebagai sebuah keluarga disfungsional. Konflik diantara orangtuanya bahkan telah menjadi sesuatu yang biasa bagi laki-laki itu, sehingga sebuah berita perselingkuhan yang dilakukan sang ayah tidak lagi begitu mengejutkannya.


Yang menjadi masalah adalah konflik tersebut justru menjadi sumber pemicu amarah besar dari sang ibu yang tidak terima suaminya menjalin hubungan lain dengan seorang wanita penjaga toko. Sang ibu meledak, dan berupaya memberi hukuman dalam level ekstrim dengan memotong penis suaminya. Celakanya usaha tersebut gagal, dan sang anak yang justru menjadi korban. Keluarga ini semakin tersiksa, bukan hanya sang anak yang harus beraktivitas dengan penuh rasa malu, namun juga sang ayah yang terus dihantui rasa bersalah. 


Walaupun terkesan dangkal dan sempit, permasalahan di atas terasa sangat ektrim bukan? Namun sebelum bergerak terlalu jauh ada satu hal unik yang hadir disini, semua konflik dijabarkan dalam alur cerita yang tidak memiliki dialog. Ya, kosong, mereka dibentuk hanya dengan mengandalkan permainan ekspresi dari tiap karakter untuk menggambarkan sisi putih dan hitam cerita. Hal tersebut semakin melengkapi langkah berani yang diambil oleh Kim Ki-duk di film terbarunya ini untuk menemani berbagai fantasi gila miliknya yang sangat menghibur namun tidak dapat dipungkiri akan membuat beberapa orang merasa ini adalah sebuah kesesatan yang berlebihan.

Benar, ketimbang menjulukinya sebagai sebuah fantasi penuh inovasi mungkin kalimat yang paling tepat adalah sesat. Pada dasarnya Moebius hanya menggunakan template dasar dari sebuah cerita yang mengusung misi balas dendam, tapi dari sana bersama dengan materi yang terkesan mentah penonton kemudian akan dibawa berpetualang dengan narasi yang bergerak lebih jauh untuk mencoba menyentuh isu-isu yang punya kekuatan untuk menciptakan suasana tidak nyaman bagi yang menyaksikan, yang menariknya berhasil dibentuk oleh Kim Ki-duk menjadi tampak indah tanpa terkesan murahan. Penderitaan ia gabungkan bersama obsesi, kehancuran dikemas dengan totalitas yang mumpuni dengan berjalan bergandengan bersama sisi brutal. 

Lantas apakah film ini tidak punya kelemahan? Sebenarnya tidak, karena tanpa dialog penonton mungkin akan merasa sulit untuk menaruh simpati dan empati pada permasalahan yang dihadapi karakter, factor yang sebenarnya cukup penting dari sebuah proses observasi seperti ini. Namun dampak dari nilai minus tadi berhasil di minimalisir oleh Kim Ki-duk berkat kepiawaiannya dalam memutar sebuah premis dengan materi sederhana menjadi sebuah lingkaran kisah yang kompleks dan berimbang. Ya, seperti Pieta, ini ekstrim namun dengan tingkat percaya diri yang sangat tinggi sanggup dikemas menjadi sebuah presentasi yang seimbang sehingga semua misi dangkal yang ia usung sukses tersampaikan dengan efektif.


Ya, ini sebenarnya dangkal, menemukan cara untuk melampiaskan obsesi dan kecanduan seksual dalam penderitaan. Namun walaupun minim simpati dan empati ada sebuah intimitas yang memikat disini, dari tingkat emosi mungkin tidak begitu tinggi tapi kadar yang ia bentuk berhasil menjadi wadah yang efisien untuk menyampaikan isu yang tak kalah ekstrim seperti sexsual disorder, aksi bully, bahkan incest. Sering kali terkesan absurd memang, namun ada tampilan natural yang jauh dari kesan memaksa sehingga secara bertahap penonton bukan hanya tertarik dan terjebak, namun perlahan mulai menikmati imajinasi yang ia tawarkan, imajinasi yang seperti tidak mengaku adanya batas dalam moral dan etika. 

Divisi akting juga layak mendapatkan kuantitas apresiasi yang besar terhadap kesuksesan film ini mencapai sasarannya, terlebih tanpa tersedianya dialog dan mereka murni menggunakan bahasa gerak untuk menyampaikan apa yang karakter mereka rasakan. Cho Jae-hyeon berhasil menjadi seorang ayah yang terus berteman dengan rasa tersiksa dan upaya yang ia lakukan untuk memulihkan sang anak juga mampu menjaga atensi. Lee Eun-Woo mungkin punya karakter yang tampak hanya sebagai boneka, namun dampak yang ia berikan pada cerita cukup besar terutama sebagai pengendali tensi cerita. Bintang utamanya adalah Seo Young-Joo, sebuah pertunjukkan yang berani disertai kinerja pada sisi emosi yang juga berhasil tampil mumpuni.


Overall, Moebius adalah film yang memuaskan. Totalitas, itu yang kerap menjadikan film-film karya Kim Ki-duk berhasil meninggalkan kesan yang mendalam sekalipun ia tidak mudah untuk dinikmati terlebih dengan isu-isu ekstrim andalannya. Moebius punya hal tersebut, sebuah eksplorasi yang jujur dan provokatif dari sebuah proses destruktif yang bersumber pada sisi liar yang dimiliki setiap manusia, dibentuk dengan berani, efektif, efisien, namun tetap jauh dari kesan murahan. 



6 comments :

  1. Film Kim Ki Duk yg pertame aku tonton itu Time. Dan yak dia berhasil membuat bingung. Mungkin aku yg agak bodoh jadi lama pahamnya. Ternyata pesannya dalam. Ciri khas Kim Ki Duk kayaknya menampilkan film2 fiolosofis sejenis ini juga. Banyak scene kosong, biar org yg mikir dan org2 yg mau mikir juga yg mau nonton. Mengutip kata teman, "film yg bagus itu yg buat penonton mau berdiskusi bahkan berdebat ttgnya setelah selesai ditonton."

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dua jempol buat teman kau Dit. :)
      Memang paling nikmat yang begitu, gak cuma sekedar menghibur tapi ada kontroversi yang provokatif, jadi setelah selesai ada hal menarik yang bisa dipikirin lagi, bukan sekedar kasih jawaban diakhir atas pertanyaan diawal.

      Delete
  2. Tp yg paling aku heran,,, pemeran anaknya masih berumur 15 thn

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. sama kak aku juga heran, itu si cowoknya kelahiran 1998 dan filmnya rilis 2013, umurnya 15 taun, trus palingan itu syutingnya pas umurnya 14 taun, heran biasanya aktor yg masih minor kan didampingi ortunya ya, kok ortunya ngebolehin gtu lohh anaknya main film 'gila' kya gini:') aku syok berat liat filmnya:'))

      Delete
    3. Iya ,,, yg jd pertanyaan,,, managernya kemana ya ??? Ko aktornya malah ngebiarin main film gituan??? Ini sich konfliknya sama kyk sinetron Zahra LG ya ??? 🤔🤔🤔🤔🤔🤔🤔

      Delete