27 March 2014

Movie Review: Kill Your Darlings (2013)


"To be reborn, you have to die first." 

Terkadang revolusi lahir dari sesuatu yang tidak berada dalam cakupan luas, tidak megah, tidak krusial bahkan, hanya mengandalkan semangat kecil yang kemudian berkombinasi membentuk sebuah kesatuan besar yang berani namun juga terkendali. Ya, kontrol, hal kecil yang mampu menghasilkan masalah besar, isu yang coba dibawa oleh film ini, coming-of-age bertemakan obsesi dengan nafas LGBT. Kill Your Darlings, a movie which will make Voldemort smile very wide.  

Walaupun ibunya, Naomi Ginsberg (Jennifer Jason Leigh) masih terus bertarung dengan gangguan kejiwaan yang membuatnya sering merasa ketakutan, Allen Ginsberg (Daniel Radcliffe) tidak mau membuang kesempatan besar yang ia peroleh untuk melanjutkan studi di Columbia University, sebuah kesempatan besar yang juga dapat semakin mempermudah Allen untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang penulis. Allen memang merupakan anak yang pintar, bahkan sebuah pertanyaan yang ia ajukan telah mampu memberikan impresi positif bagi seorang pengajar bernama Professor Steeves (John Cullum). Tapi tidak semua berakhir indah.

Berawal dari tur berkeliling kampus, Allen bertemu dengan pelajar senior bernama Lucien Carr (Dane DeHaan). Celakanya Lucien ibarat madu dan racun bagi Allen, ia punya link yang dapat membuat kemampuan Allen semakin besar, tapi ia juga punya obsesi yang berbahaya. New Vision, sebuah konsep yang bersama Jack Kerouac (Jack Huston) dan William S. Burroughs (Ben Foster) hendak mereka wujudkan, mengganti bahkan menghapus sejarah yang mereka anggap terlalu membosankan dengan sesuatu yang jauh lebih segar. Namun ini perlahan menjadi rumit, dengan keterlibatan emosi lewat kehadiran David Kammerer (Michael C. Hall), dan juga Edie Parker (Elizabeth Olsen).


Ketika telah mengumpulkan point-point penting yang ia bawa, Kill Your Darlings dapat dikategorikan sebagai sebuah film biografi yang mengandung banyak isu menarik. Ya, pada awalnya memang ini akan terasa sulit untuk di ikuti, tampak seperti tumpukan materi klasik dan familiar bahkan, yang kemudian semakin berat karena mereka dibawa oleh sekelompok anak muda berjiwa bebas yang belum matang dan juga baru mengenal dunia, akhirnya kemudian menimbulkan rasa ragu apakah mereka mampu menyampaikan misi utama? Namun justru nilai dari hal tersebut yang digunakan oleh John Krokidas dan Austin Bunn untuk menjadi kulit dari cerita yang mereka bangun, menciptakan pesan positif dengan menggunakan penggambaran dari sisi negatif para jiwa muda.

Inspirasi dibalik frustasi, mungkin sederhananya seperti itu. Semua hal yang identik dengan remaja bermasalah ada disini, semangat yang tidak terkendali, ketidakdewasaan dalam bertindak dan menghasilkan hal-hal ceroboh yang merugikan, kurang pengalaman, hingga obsesi dan rasa cemburu. Tapi, dibalik itu Kill Your Darlings mampu menyajikan sebuah penggambaran yang akan membuat penontonnya ingin untuk hidup lebih baik lagi, bukan dengan teknik penjabaran seperti belajar sejarah disertai interaksi guru dengan muridnya, melainkan lewat cara membentuk sudut pandang penonton menggunakan proses penggabungan antara kekuatan dari sebuah kecerdasan bersama kebodohan dengan sentuhan cinta dan emosi yang rapuh.

Yap, dibalik kerumitan puisi dan seni yang ia tampilkan pada dasarnya ini adalah sebuah film tentang jiwa manusia. Kondisi stagnan dari sastra dan budaya yang terjadi pada era perang dunia ke 2 hanya berfungsi sebagai latar, dibalik itu kita akan menemukan dramatisasi dari proses perubahan yang dialami tiap manusia dan dikemas dengan variatif, dari anak polos yang terjerumus akibat terpaku pada ambisi, manusia manipulatif yang berniat memanfaatkan, hingga sosok fans yang tergila-gila seolah tidak ada lagi orang yang tepat untuknya selain orang yang ia kagumi. Mereka dikemas dalam ritme penceritaan yang meskipun memiliki dialog kurang kuat namun sanggup menciptakan irama yang menarik.


John Krokidas berhasil membangun tahapan yang menarik disini, dengan efektif membentuk proses perkenalan yang tepat sasaran, kita dapat merasakan obsesi dari karakter utama, kemudian hadir rasa ragu pada misi karakter utama seiring masuknya karakter lain, setelah itu bermain dengan naik dan turun kehidupan. Tidak megah memang, namun dengan teknik yang tidak tepat ia mampu menjadi sebuah kisah observasi yang menarik, meskipun di beberapa bagian John Krokidas seperti hendak sedikit mengedepankan gaya yang akhirnya memberikan sedikit nilai minus, beberapa dari mereka terkesan dipaksakan, seperti gerak mundur yang terkesan kurang penting dan berakhir datar, serta fokus yang sering kehilangan power.

Nilai minus tadi sebenarnya tidak mengganggu, tapi masalahnya adalah sejak awal Kill Your Darlings seperti sengaja dibangun dan bergerak dalam level yang stabil, sehingga eksistensi hal-hal tadi berpotensi untuk merusak. Untung saja John Krokidas cerdik menggunakan elemen lain untuk meminimalisir dampak destruktif yang mungkin terjadi, sebut saja seperti penggunaan musik dalam bentuk kombinasi jazz kontemporer dengan cita rasa modern yang terkadang menyuntikkan unsur fun kedalam cerita, sehingga tema utama tidak menjadi kaku serta karakter memiliki ruang yang berwarna untuk menciptakan koneksi emosi. Benar, divisi akting punya peran yang begitu besar menyelamatkan Kill Your Darlings dari menjadi sebuah informasi sejarah yang monoton.

Para aktor tampil kuat. Daniel Radcliffe tentu berada ditengah panggung utama, dan ia mampu memberikan penampilan yang memikat, terlebih dalam membentuk status Allen sebagai pemula penuh ambisi. Namun disisi lain ia juga punya chemistry yang kuat dengan Dane DeHaan, yang justru di banyak bagian berhasil mengalahkan Radcliffe. Misterius, manipulatif, ada kedalaman nyawa yang menarik dari Dane DeHaan pada karakternya, tatapan mata dan ekspresi yang ia miliki mampu menampilkan kesombongan dan kesedihan dengan sama baiknya. Scene stealer sendiri menjadi milik Michael C. Hall, porsi minim namun karakternya justru tampil menarik. Ben Foster dan Jack Huston punya beberapa momen menarik, sedangkan David Cross dan Elizabeth Olsen minim kesempatan.


Overall, Kill Your Darlings adalah film yang cukup memuaskan. John Krokidas berhasil membangun sebuah biografi yang bukan hanya menggambarkan kisah berisikan obsesi dan tekanan secara efektif, namun juga menyenangkan dibalik teknik hafalan yang ia terapkan. Di beberapa bagian mencoba menyuntikkan style, sedikit mengganggu, dan ia juga kerap kehilangan power dari fokus utama. Namun kinerja dari divisi akting memberikan nilai positif yang mumpuni, dan sukses menjadikan film ini menunjukkan bahwa untuk dapat maju dan berkembang terkadang kita harus merelakan apa yang selama ini kita sayangi, membunuh apa yang kita cintai.








0 komentar :

Post a Comment