09 March 2014

Movie Review: 300: Rise of an Empire (2014)


"Better we show them, we chose to die on our feet, rather than live on our knees!"

This is Sparta!!! Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kalimat itu? Seorang pria yang bermimpi menjadi Superman namun sayangnya hanya punya celana dalam dan tak bisa melindungi kumpulan otot miliknya? Tidak hanya itu, namun sebuah kalimat sederhana dari para pria dengan perawakan kekar yang bukan hanya mampu menunjukkan semangat mereka, namun juga sanggup membuat kita sebagai penonton mengangkat tangan dan berteriak “ahoo, ahoo, ahoo.” Ia tidak megah, namun 300 punya keunikan yang menjadikannya sebagai sebuah kenangan. Kemasan past, present, dan future dari 300 ini tidak punya hal tersebut, 300: Rise of an Empire, it’s about scream, blood, slow motion, and abs!!! Without dignity. Oh, also British who fight for Greece!!! Bland. Borefest.

Sepuluh tahun sebelum kejadian di 300, seorang jenderal perang Athena, Themistocles (Sullivan Stapleton) berupaya untuk melindungi negerinya dari serangan pertama bangsa Persia. Kesuksesan berhasil ia raih, namun disisi lain justru ikut pula menjadikannya sebagai sosok yang dibenci karena telah membunuh King Darius I (Yigal Naor). Aksi tersebut otomatis melahirkan misi balas dendam dari putra Darius I, Xerxes (Rodrigo Santoro) yang bertekad untuk memberikan bayaran setimpal pada Themistocles atas tindakan yang ia lakukan tersebut, dan mendeklarasikan perang terhadap Yunani.

Namun masalah bagi Themistocles tidak berhenti sampai disitu. Pada saat itu Kerajaan Persia sedang berada di puncak kejayaannya, bahkan sekutu Yunani telah menolak untuk bergabung dan memutuskan untuk mundur ketimbang harus merelakan banyak nyawa menyusul King Leonidas (Gerard Butler) yang kala itu bersama 300 pasukannya kalah dari Persia. Tapi ternyata Themistocles punya rencana lain, menggunakan laut sebagai jalur untuk melakukan serangan, yang celakanya dengan jumlah dan tentara dan teknologi yang sedikit lebih baik telah berada di kendali seorang wanita bernama Artemisia (Eva Green).


Apakah pertanyaan dengan inti seperti ini mampir di pikiran anda: “Oh, ada lanjutannya? Bukannya sudah selesai ya? Kan Leonidas sudah mati.” Nah itu dia, tujuh tahun yang lalu 300 sudah ditutup dengan sangat jelas tanpa meninggalkan pertanyaan, lantas apa misi film ini? To get your money. Simple. Tidak dapat dipungkiri walaupun dangkal 300 punya style yang masih meninggalkan memori manis di ingatan penontonnya, dan hal tersebut sayangnya juga terlalu manis untuk ditinggalkan begitu saja oleh para produser film tersebut, termasuk di dalamnya Zack Snyder yang kini menjabat sebagai produser. Masih ada potensi yang dapat dimanfaatkan, so, ambil resiko dan coba bentuk kembali, tidak peduli jika pada akhirnya ini akan terasa seperti kurang penting.

Bukan hanya kurang penting, namun juga dipaksa. Tidak perlu waktu lama penonton akan dengan mudah merasakan bagaimana besarnya ambisi untuk menjadikan ini sebagai pintu pembuka sebuah senjata pengeruk uang yang menjanjikan, masa lalu, masa kini, dan masa depan, ketiganya coba dikombinasikan kedalam durasi 100 menit-an (kurang yakin karena pengaruh sensor) dengan bantuan narasi yang secara konsisten terus berusaha keras memaparkan struktur cerita, namun celakanya tidak mampu menjadikan kisah ini semakin jelas dan tajam. Dari pondasi saja ia sudah salah, karena kita tahu ini merupakan tipe style over substance, so at least harus ada bekal yang menarik pada sisi cerita, dan 300: Rise of an Empire tidak mampu memberikan itu.

Tidak hanya itu, 300: Rise of an Empire sebenarnya juga tidak menaruh respect pada penontonnya. Dari segi teknis ini sama persis dengan apa yang pernah dilakukan oleh 300 ditangan Zack Snyder, tujuh tahun lalu. Kurang begitu yakin apakah keputusan untuk bermain di formula yang sama persis itu adalah sebuah tindakan percobaan dengan dua opsi, kembali berhasil atau gagal, atau justru Noam Murro, Zack Snyder, dan Kurt Johnstad beranggapan bahwa penonton tidak mengalami perkembangan pada standard yang mereka miliki selama lebih dari setengah dekade ini. It’s like mocking with audience, terus bergerak cepat dengan berpindah dari satu pertempuran ke pertempuran lain tanpa peduli dengan detail kecil yang penting baik itu pada karakter dan cerita yang tidak berkembang.


Dimana anda dapat merasakan hal tersebut? Lihat saja pada penggunaan slow motion yang sangat berlebihan. Meskipun tidak dapat dipungkiri dalam skala minor di beberapa bagian mereka berhasil tampil memikat, namun merupakan kesalahan besar membangun sebuah segmen yang menuntut tensi dan emosi dengan menggunakan karakter tak bernyawa. Hal tersebut yang menjadikan ini terasa hambar, beberapa pengulangan yang ia hadirkan menjadi monoton dan menjemukan, terutama pada pergeseran speed dari normal ke slow-mo dan sebaliknya yang dibentuk oleh Noam Murro seperti sesuka hati tanpa pertimbangan. Jatuhnya ini annoying, dan semakin parah ketika setelah menghadirkan sikap kurang peduli tadi ia justru dengan penuh percaya tetap terus berupaya agar dapat tampil kompleks.

Sulit untuk menampik ini, namun ada rasa rindu pada 300 yang hadir ketika menyaksikan film ini. Dangkal, sederhana, namun ada simpati dan power dari pria-pria yang memperjuangkan kehormatan mereka dan rela mati demi negara itu. Film ini sebaliknya, jauh lebih dangkal namun uniknya terus berupaya agar dapat tampil kompleks, lebih tampak seperti kompilasi momen-momen membosankan dari serial-tv Spartacus, dengan konsisten terus mengemis atensi lewat sensasi pada visual yang sayangnya perlahan memberikan rasa jenuh. Alur yang kacau berisikan karakter yang kosong dengan nyawa yang lemah, ini semakin rusak ketika ia juga tidak memberikan unsur fun didalamnya, minim humor yang mungkin saja dapat memberi nafas segar dibalik suguhan monoton yang kerap kehilangan fokusnya itu.

Divisi akting juga menjadi sumber utama kacaunya film ini. Bukan hanya minim, beberapa diantara mereka bahkan nihil emosi, dan menyebabkan permasalahan dan perjuangan yang akan mereka hadapi menjadi kurang memiliki arti yang kuat. Sullivan Stapleton menjadi tombak utama yang sayangnya sangat tumpul, lebih sering terlihat kosong dan jauh dari kesan heroik, kekurangan power, tidak memiliki karisma dan wibawa dari seorang pemimpin. Yang mengejutkan justru datang dari Eva Green, wanita yang seperti telah terlahir dengan memiliki daya seduktif sangat besar, dan hal tersebut mampu ia manfaatkan untuk mendukung perannya sebagai sosok antagonis dengan karakter yang dingin namun penuh semangat.


Overall, 300: Rise of an Empire adalah film yang tidak memuaskan. Nilai positif yang dimiliki film ini mungkin hanya terletak pada adegan aksi visual yang tidak dapat dipungkiri beberapa diantaranya mampu tampil dengan cukup baik, karena selain itu 300: Rise of an Empire hanya berisikan kekacauan dari perang yang sejak awal sudah sangat lemah dari cerita dan karakter namun hingga akhir tidak pernah berhenti mencoba agar dapat terlihat megah dan kompleks dengan menghadirkan berbagai elemen sebuah film style over substance yang sayangnya dikemas terlalu overdo.



2 comments :

  1. Tapi cuy, kalau ga karena film ini, rasanya juga jadi janggal masa ga ada pembalasan bangsa Sparta ke pasukan Xerxes ?, Terus kalau gada film ini juga, misalnya ada filmnya soal revenge Sparta ke Xerxes,masa tiba-tiba Sparta ada di laut siap perang dengan pasukan Xerxes yang ada di bukit ? 4.25 kayanya terlalu tega deh bro.....
    Tapi salute sir, review film-filmnya lengkap.. Jadi nambah kerjaan, iyah nambah kerjaan gw dari kemarin buka-buka review di blog ini nyamain persepsi gw sama penilaian lo :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Logis nya memang seperti itu, dan ngak ada yang salah dari sistem past, present, dan future pada cerita, potensial malah. Yang bikin ini jadi terasa kurang penting ya eksekusinya, makna dan semangat perjuangannya ngak kuat, lebih seperti parade kekacauan dengan isi yang dibentuk setengah hati dan bertumpu pada visual efek sebagai pengalih perhatian. :)

      Thanks. :)

      Delete