18 December 2013

Movie Review: Stories We Tell (2012)


“Who cares about our stupid family?

Tidak seperti Diablo Cody yang masih memiliki riwayat yang menodai kinerjanya di Juno dan Young Adult, Sarah Polley sejauh ini selalu berhasil tampil impresif di bidang yang sama, screenwriter. Pertama mengenalnya lewat Take This Waltz, kemudian berpindah ke Away from Her, sekali lagi Sarah menunjukkan salah satu kemampuan terbaiknya, bercerita. Stories We Tell, dokumenter, berhasil menghadirkan petualangan tentang makna sebuah keluarga dengan cara yang menyenangkan.

Pada tahun 1990, ketika ia masih berumur 11 tahun, Sarah Polley telah kehilangan ibunya tercinta yang meninggal dunia, Diane Polley. Sejak saat itu Sarah harus mengisi masa kecilnya bersama sang ayah, Michael Polley, karena saudaranya yang lain telah menetap diluar kota dengan berbagai keperluan. Namun dibalik tawa bahagia dan hubungan yang sangat harmonis bersama ayahnya kemudian hadir sebuah pertanyaan, hal yang juga selalu menjadi bahan lelucon saudaranya, mengapa Sarah tidak tampak seperti ayahnya?

Pertanyaan tersebut kembali mengusik Sarah ketika ia telah dewasa, karena ternyata ada sebuah fakta yang semakin memperkuat rasa bimbang yang belum memiliki jawaban tersebut. Semasa mudanya Diane Polley pernah memutuskan untuk menerima tawaran untuk melakukan pertunjukkan akting di luar kota, berkeliling Kanada dari Toronto hingga Montreal. Nah, di kota terakhir tadi Diane sempat dicurigai terlibat hubungan asmara bersama rekan kerjanya, dari aktor, hingga produser film bernama Harry Gulkin.  


Mungkin pada awalnya akan hadir satu pertanyaan di pikiran anda, “so what?” hingga “who cares?” Hal tersebut sesungguhnya juga dialami oleh saudara-saudara Sarah yang ia minta untuk ikut berkontribusi pada film ini, “who cares about our stupid family?”, tanya mereka. Ini memang personal, bahkan sempat hadir sedikit rasa bimbang di awal bahwa semakin jauh ia berjalan Stories We Tell akan berubah menjadi sebuah dongeng yang monoton, karena sejak awal isu yang ia tawarkan sudah sangat personal. Ya, sebaiknya anda jauhkan pemikiran tersebut jika tidak ingin bernasib seperti saya diakhir cerita, merasa ekspektasi awal tadi sebagai sesuatu yang bodoh.

Mengejutkan, ini berbeda, Stories We Tell seperti sebuah hiburan non-fiksi dalam sentuhan fiksi. Anda tahu ini dokumenter, anda tahu apa yang ia ceritakan merupakan kisah nyata, namun sejak awal hingga akhir anda tidak akan berhenti untuk ikut terbuai pada cara Sarah Polley menceritakan kisahnya, kombinasi narasi yang dibacakan oleh Michael Polley, interview klasik, hingga rekaman super 8. Kita tidak hanya mendengarkan keluarga dan kerabat menyampaikan pandangan mereka terhadap isu utama, mengamati pergerakan cerita seperti apa yang dilakukan Sarah, namun ikut meneliti kebenaran yang ada. Sesederhana itu? Ya, sederhana, tapi dibalik itu Stories We Tell menyimpan banyak misteri berisikan kepingan-kepingan kecil yang memikat dengan tema cinta dan keluarga.

Stories We Tell adalah sebuah kemasan yang menggambarkan kompleksitas dari cinta. Kisah yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mencoba mencari tahu asal-usul sebenarnya dari seorang Sarah Polley justru berputar ke arah potret dari makna keluarga yang sesungguhnya. Temanya masih sama dengan apa yang ia berikan pada Take This Waltz tahun lalu, masalah yang tersimpan dalam sebuah hubungan yang telah berlangsung lama, yang kemudian bermain dengan sisi kebenaran sesungguhnya. Namun disini anda akan menemukan warna yang jauh lebih variatif, dari orang tua yang bermasalah, perbedaan, perselingkuhan, hingga demokrasi, semua di bangun dengan sentuhan dramatisasi yang tepat dan sangat terkendali.

Benar, sangat terkendali, bergerak lincah dan terus mengundang rasa penasaran. Disitu uniknya, karena terasa aneh ketika anda secara bertahap mulai merasa tertarik dengan permasalahan yang tercipta tanpa terasa dipaksa, padahal materi yang hadir hanya pandangan berbeda dari banyak orang terkait Diane dan Sarah. Kita sebagai penonton yang awalnya berpikir “ah, ini sederhana” justru perlahan mulai masuk kedalam jeratan godaan pada apa yang akan terjadi selanjutnya, karena ia terasa jujur, kisah itu tidak terasa manipulatif walaupun dari cara ia dibangun ada beberapa bagian yang “manipulatif”, anda dapat melihat rasa cemas, gugup, dan khawatir dari storyteller dalam memberikan pendapat, terlebih dengan beberapa “kejutan” yang, well, mengasyikkan.

Apakah ini sempurna? Tidak. Ini minor, ada moment dimana ia tampak bertele-tele dan cerita tidak menghadirkan pergerakan yang baik, namun sekali lagi hal tersebut sangat minor, dan mudah terlupakan. Mengapa, karena hal tadi tidak mampu tinggal dan bermain di pikiran anda yang sudah berisikan misteri dari Sarah Polley, serta isu-isu yang sebenarnya sangat umum. Ada kerapuhan yang bergerak tenang, dengan sentuhan drama bahkan humor yang memikat, meskipun kurang begitu kokoh pada bagian emosi. Storyteller juga patut mendapatkan apresiasi pada kontribusi mereka menyampaikan pendapat pribadi, cara mereka mengemas kisah itu bervariatif, sehingga proses ekplorasi itu tampak berwarna dan terus penuh energi.


Overall, Stories We Tell adalah film yang memuaskan. Dari pertanyaan sederhana “siapa ayah dari Sarah Polley yang sesungguhnya”, Stories We Tell akan membawa anda kedalam sebuah penggambaran dari kompleksitas cinta yang modern, makna dari keluarga hingga sahabat, semua dikemas dengan cara yang ringan dan renyah, screenplay yang memikat, storyteller yang berkualitas, kreatifitas yang dimanfaatkan dengan tepat guna, dibalut bersama kombinasi dramatisasi dan unsur humor yang pas. So, what is your next project Miss Sarah Polley?



0 komentar :

Post a Comment