16 November 2013

Movie Review: The Iceman (2012)


“I don't believe in bad luck.”

Apakah anda pernah mengalami situasi seperti berikut, melakukan rutinitas berisikan aktivitas yang secara berkala terus membuat anda merasa tenang dan nyaman, namun suatu ketika harus menjauh dari hal tersebut, mulai kehilangan irama dan merasakan hadirnya tekanan. Anda akan menemukan situasi tadi pada The Iceman, dimana seorang pria berkeluarga yang berperawakan tangguh namun punya karakter yang dingin mulai mengalami gejolak ketika ia harus menghadapi gejolak pada keahliannya, membunuh.

Mereka bertemu di sebuah restoran, duduk bersama di satu meja dalam suasana yang canggung. Richard Kuklinski (Michael Shannon), pria asal Polandia yang mengaku bekerja sebagai pengisi suara kartun Disney, seperti kebanyakan pria dengan perawakan tenang berhasil menjadikan dirinya tampak seperti sebuah misteri, hal yang kemudian menarik perhatian dari wanita yang duduk didepannya, Deborah (Winona Ryder), yang kemudian menjadi ibu dari kedua putri tercintanya yang Richard sekolahkan di sebuah sekolah swasta Katolik, Anabel (McKaley Miller ) dan Betsy (Megan Sherrill).    

Celakanya Richard telah terlanjur bergabung bersama seorang boss mafia bernama Roy DeMeo (Ray Liotta), dan bertugas sebagai hitman. Profesinya sebagai pembunuh bayaran berdarah dingin itu tidak Richard beritahukan kepada keluarganya. Pria pemalu yang penuh karisma itu sangat yakin bahwa hal tersebut bukan merupakan masalah yang besar, namun suatu ketika harus menelan pil pahit karena hal tersebut akhirnya menjadi boomerang yang menyerang dirinya, menghadirkan rasa takut dan cemas, mulai mengusik dirinya yang selama ini dijuluki sebagai seorang pria yang sedingin es.


Michael Shannon adalah salah dari deretan aktor yang bukan hanya mampu menjadikan karakter yang ia mainkan tampak tangguh dan kokoh pada konflik bertemakan kekacauan, namun juga sanggup membuat penontonnya yakin bahwa karakter itu bukan hanya tangguh dari sisi luar saja, membentuk ia agar tampak hidup, hingga penonton akhirnya terpaku. Hal tersebut merupakan kesuksesan terbesar yang dimiliki oleh The Iceman, dimana Ariel Vromen seperti tahu betul bagaimana menggunakan kelebihan dari Shannon tadi untuk membangun script yang ia susun bersama Morgan Land dari sebuah kisah nyata seorang hitman bernama Richard Kuklinski ini.

Yap, awalnya ini sangat menjanjikan, bagaimana dengan cara lugas tanpa mau mengulur terlalu banyak waktu Vromen langsung membawa penontonnya kedalam kisah asmara yang diulas singkat serta keluarga yang berjalan beriringan dengan suatu fakta yang masih dibungkus rapat oleh Richard. Hebatnya disini adalah anda akan dengan mudah mengetahui fokus apa saja yang ingin ia sampaikan, dari konflik personal, konflik keluarga, dan konflik eksternal. Bahkan sempat timbul sebuah harapan yang lebih besar ketika The Iceman perlahan mulai menghadirkan sentuhan studi karakter kedalam cerita.

Akan tetapi hal tersebut awal dari momen yang merusak. Ariel Vromen terlalu fokus pada membangun karakter. Karakternya memikat, itu pasti, namun dari sisi cerita film ini seperti hidup segan mati tak mau. Ia sibuk melemparkan isu secara acak, kuantitas yang terlalu banyak, dan akhirnya menumpuk tanpa penjelasan skala kecil sekalipun. Penonton seperti digantung, menunggu dan menyaksikan aksi kejahatan, sedangkan ia sibuk dengan sisi studi karakter (yang tidak digali lebih dalam), menjadikan misi isu yang ia tampilkan lebih tampak seperti sebuah kemasan tanpa motivasi yang kuat.


Loncatan peristiwa dan waktu juga menghambat kisah ini untuk menjadi sebuah kemasan padat, dangkal. Banyak subplot lemah yang secara mendadak masuk kedalam cerita namun mengganggu, kita tidak tahu ia datang dari mana, tidak mampu memberi impact yang kuat pada cerita. Kehadiran mereka terasa dipaksakan, tanpa motivasi yang jelas, sebut saja kehadiran James Franco yang hanya digunakan untuk menunjukkan peran Tuhan dalam kehidupan. Tidak lantas menjadi hancur memang, bahkan The Iceman dari segi script tersusun cukup baik hingga akhir, namun bergerak mondar-mandir bersama materi yang samar seperti itu menciptakan rasa monoton pada konflik utama.

The Iceman perlahan berubah menjadi sebuah drama kejahatan yang lembek, kurang total. Bergerak lambat, dibeberapa titik terkesan random (editing yang payah), mulai bertele-tele dan bergerak jauh dari kesan dinamis, dan ketika momen dimana sensasi itu harus hadir penonton hanya akan bergumam, “oh, begitu.” Yap, ini terlalu tenang untuk sebuah film bertemakan kejahatan, bukan berarti untuk tampil memikat ia harus menghadirkan adegan aksi penuh keributan, namun untuk membuat para penontonnya terus merasakan keberadaan tekanan yang menyelimuti cerita dan karakter saja ia tidak berhasil.

Titik terkuat adalah divisi akting (sepertinya minggu ini saya mendapatkan film dengan kualitas akting yang mumpuni). Michael Shannon tetap mampu memikat walaupun materi yang ia punya sesungguhnya sangat terbatas, dan ledakan yang ia hasilkan kurang memuaskan. Karakter yang terluka pada emosional serta batin dan terus diselimuti rasa khawatir berhasil dibangun dengan baik oleh Shannon. Begitupula dengan Winona Ryder, lewat seorang istri setia yang selalu mendukung padahal ia adalah sosok yang rapuh. Ray Liotta kurang mendapatkan kesempatan untuk menebar tekanan, dan Chris Evans sukses membuat saya tertipu.


Overall, The Iceman adalah film yang cukup memuaskan. Sesuai dengan judul yang ia punya, The Iceman cukup mampu menggambarkan bagaimana sosok yang tenang kemudian menghadapi tekanan dan perlahan meledak, dibantu dengan performa akting yang memikat. Sayangnya ledakan yang ia hasilkan kurang memikat, kurang mempesona, terlalu datar, semua akibat keputusannya untuk membagi fokus pada pertumbuhan karakter dalam masalah yang sayangnya kurang dinamis dan akhirnya menggerus kualitas konflik utama. 



0 komentar :

Post a Comment