13 October 2013

Movie Review: The Butler (2013)


"Darkness cannot drive out darkness, only light can do that.”

Sebenarnya apa ciri khas mayoritas yang dimiliki oleh banyak sosok yang punya kemampuan untuk menjadi sumber inspirasi? Sederhana, mereka mampu menjadikan anda percaya bahwa semua dapat anda lakukan (kecuali memakan kepala anda sendiri) jika anda gigih dan percaya, tanpa mempermasalahkan “power” yang anda miliki. The Butler, sebuah drama elegan, namun kurang cermat bermain dengan fokus.

Cecil Gaines (Forest Whitaker), seorang pria kulit hitam dari keluarga petani, sejak kecil telah dilatih untuk menjadi pelayan. Sedikit miris memang, namun dengan sikap dan sistem disiplin yang ia terapkan mampu menarik perhatian Freddie Fallows (Colman Domingo), kepala pelayan di Gedung Putih. Benar, berawal dari sebuah hotel, Cecil akhirnya menjadi sosok yang dikagumi, bukan hanya dari rekannya sesama pelayan, Carter Wilson (Cuba Gooding, Jr.) dan James Holloway (Lenny Kravitz), bahkan hingga menyentuh level tertinggi yang kala itu masih berkutat dengan permasalahan rasisme, yang juga sumber dari tuntutan Cecil pada tujuh pemimpin yang ia layani perihal kesetaraan gaji dan hak para pelayan.   

Ditolak dan kemudian menerima dengan ikhlas, Cecil adalah sosok yang patuh, dan celakanya itu berbeda dengan Louis Gaines (David Oyelowo), anak sulungnya yang selalu bersikap acuh pada Cecil, berbeda dengan sikapnya pada ibunya, Gloria Gaines (Oprah Winfrey). Bertolak belakang dengan ayahnya, Louis adalah pemuda berjiwa radikal, sosok yang tidak bisa hanya diam ketika kaumnya sesama kulit hitam mengalami penindasan di USA bagian selatan, dan dengan langkah berani memilih untuk melanjutkan studi ke luar kota untuk mewujudkan ambisinya turut andil dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian, yang sayangnya juga membawa masalah pada keluarganya.


Memodifikasi judul karena permasalahan yang tidak begitu penting, bersenjatakan banyak bintang ternama dalam jajaran cast miliknya, The Butler adalah sebuah sensasi. Ya, sensasi yang langsung mencuri perhatian, karena banyak orang langsung menaruh ekspektasi pada kisah yang terinspirasi dari sebuah artikel Wil Haygood di The Washington Post tentang seorang butler (pelayan pria) bernama Eugene Allen yang telah berkarir di gedung putih selama tiga dekade dan tujuh masa pemerintahan ini untuk bersaing di penghargaan film tertinggi, Oscar. Bukan karena Danny Strong yang menangani script, sosok yang tahun lalu sukses dengan Game Change, melainkan Lee Daniels, dan anda akan mudah mengerti alasan banyak orang tadi, Precious, sayangnya kurang berhasil.

Dengan mengesampingkan The Paperboy, The Butler masih punya warna yang sama dengan Precious. Ada karakter utama yang sangat mampu menarik simpati dan membuat anda ikut berempati, permainan emosional dalam taraf yang baik, dengan sentuhan humor yang implisit namun punya kapabilitas cukup baik untuk mengundang tawa, hingga cara Lee Daniels untuk menggubah cerita kedalam bentuk petualangan yang ringan tanpa kehilangan nafas dari pesan utama yang ingin ia sampaikan. Hasilnya, The Butler adalah sebuah proses pengamatan yang dalam level kuat mampu hadir menyenangkan dan mengasyikkan, pada awalnya.

Benar, pada awalnya, script yang kuat dengan mudah mampu membawa anda kembali ke awal abad 20, bertemu Alex Pettyfer yang *maaf* memperkosa Mariah Carey (awal, kurang penting), kemudian dengan transisi halus masuk kedalam perjuangan hidup Cecil Gaines dengan berbagai problematika hidup internal. Berawal dari hak-hak sipil dengan tema penindasan rasisme, The Butler dengan rapi membawa anda masuk ke taman cerita lain dari urusan politik dan masyarakat luas kedalam konflik internal pada sebuah keluarga, dikemas dengan ketat dan lugas, tanpa eksploitasi yang begitu dalam mulai mencuri atensi dengan permasalahan yang bersumber dari prinsip dan komunikasi untuk menemani konflik yang terlebih dahulu telah hadir.


Tapi seperti bagian pembuka, The Butler tidak sepenuhnya cemerlang. Hal utama yang menjadikan The Butler gagal dalam mencapai potensinya yang cukup tinggi itu adalah ambisi mereka. Singkatnya, mereka mengejar Oscar, ambisius, berupaya sangat keras untuk tampil megah, namun gagal menghadirkan eksekusi yang stabil untuk berada di level mumpuni. Sumbernya sama dengan sisi positif mereka, script. Terlalu berani, menghadirkan banyak cerita, berupaya merangkum sejarah hak sipil berdurasi hitungan dekade ke dalam durasi dua jam, hasilnya hadir elemen-elemen yang tidak begitu penting sebagai pemanis dan juga senjata dramatisasi, yang celakanya turut merubah kadar biopic dan fiksi yang masih seimbang di bagian awal menjadi berat sebelah.

Ini lebih terasa seperti sebuah dongeng ketimbang film biopic, berisikan banyak boneka yang dipakai untuk melemparkan pandangan politik yang tidak diperdalam, dan mulai bingung untuk mengkombinasi konflik sosial dan keluarga agar dapat tampil sama baiknya seperti bagian awal. Ya, ia tidak sama baik, karena The Butler kehilangan momentum akibat berkurangnya intimitas penonton dengan karakter Cecil yang walaupun masih mendominasi layar namun sudah harus rela berbagi fokus cerita sama besarnya dengan sang anak yang sibuk berupaya melakukan pemberontakan itu. Kurangnya fokus itu pula yang membuat saya perlahan kehilangan rasa peduli pada karakter, dan ketika cerita kehilangan irama film terasa goyah.

Namun ada satu hal yang menyelamatkan The Butler, ketika anda telah terbuai dalam dongeng yang ia hadirkan, merasa asyik dan menilai mereka dapat terus tampil menarik, sehingga sedikit melepas concern pada hal-hal minor diatas tadi yang sejujurnya walaupun memiliki kuantitas cukup banyak namun tidak berada pada kualitas yang tinggi untuk dapat menghancurkan film secara keseluruhan. Ya, itu akan terjadi jika anda dapat sedikit melupakan cara ia berjalan yang kurang fokus, bertele-tele, dan sedikit overdo, karena materi masih ia kemas dengan solid dan mudah dipahami, beberapa sentuhan sinematik yang cantik, dan tentu saja, akting yang berkualitas.

Ungkapan mata adalah jendela dunia dapat terlihat dengan mudah pada Forest Whitaker. Gerakan tubuhnya memang tidak ada yang berada pada level ekstrim, namun permainan emosional yang terpancar dari sorot matanya berhasil menopang wajah ekspresif untuk menggambarkan apa yang ia sedang rasakan, dari bahagia, ramah, sedih, hingga kesal. Oscar? Nah, yang ini mungkin. Hal tersebut bisa pula  terjadi pada Oprah Winfrey, yang bersama David Oyelowo walaupun berada dibawah Whitaker sanggup mempertahankan kualitas aktingnya di level atas, mampu menjadi penyeimbang dan penopang cerita ditengah keroyokan cast papan atas yang tidak terpakai itu, Robin Williams, Alan Rickman, Jane Fonda, John Cusack, Vanessa Redgrave, Liev Schreiber, Minka Kelly, James Marsden, hingga Cuba Gooding, Jr., Lenny Kravitz, dan Terrence Howard yang punya porsi sedikit lebih besar namun tidak punya fungsi menarik.


Overall, The Butler adalah film yang cukup memuaskan. Durasinya 132 menit, dan jujur saja sejak awal hingga berakhir saya tidak melakukan cek pada jam tangan, tidak satu kalipun. Diawali dengan menarik dalam bentuk yang kuat, perlahan anda mungkin akan menemukan banyak kelemahan yang ia hadirkan, namun anehnya di sisi lain tidak menggerus kenikmatan pada proses pengamatan dari dua warna cerita. Ini manis, dan akan menjadi cantik andai saja ia dapat lebih fokus. 













0 komentar :

Post a Comment