05 September 2013

Movie Review: Riddick (2013)


“You keep what you kill.”

Vin Diesel adalah aktor yang menyandang status sulit. Sulit untuk membencinya, ia mampu menjadikan Xander Cage, Toretto, hingga Riddick menjadi karakter yang ikonik, namun sulit pula untuk benar-benar mencintai kualitas aktingnya karena ia seperti tidak mampu untuk mencoba naik ke level yang lebih tinggi dari yang telah ia raih sekarang, seperti terjebak dalam tiga karakter tadi. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan kehadiran Riddick, sudah tertidur Sembilan tahun, apakah masih penting? Atau sebagai tanda bahwa Vin Diesel sudah kehabisan karakter? 

Setelah dikhianati oleh kaumnya, The Necromongers, Riddick (Vin Diesel) kini menghuni sebuah planet terpencil. Bangkit dari kematiannya, hal pertama yang coba di lakukan olehnya adalah menempa kembali kemampuannya, bertahan hidup di lingkungan yang dipenuhi monster berbentuk kalajengking, hingga memelihara seekor binatang menyerupai anjing. Namun Riddick sadar bahwa ia tidak bisa selamanya hidup di planet itu, dan memutuskan menuju sebuah bangunan dimana suar darurat diletakkan, dan mengirimkan pesan  untuk menarik tentara bayaran agar datang ke planet itu.

Santana (Jordi Mollà), seorang pemimpin pasukan yang sombong dan penuh percaya diri, bersama pasukannya tiba di planet itu, dan langsung membangun alat pendeteksi gerak disekitar bangunan tadi untuk menangkap Riddick. Namun tidak lama kemudian muncul satu pesawat lainnya, dibawah komando Johns (Matt Nable), yang pernah punya masa lalu kelam terhadap Riddick, seorang wanita bernama Dahl (Katee Sackhoff), dan beberapa anggota lain. Tanpa mereka sadari pertemuan yang berujung persaingan sengit itu merupakan rencana lain Riddick dengan memanfaatkan keahlian miliknya yang ternyata belum mati, sabotase.


Harapan bagi mereka yang telah menyaksikan dua film terdahulunya terhadap Riddick mungkin sudah mulai menghilang, film pertamanya masih punya kemampuan untuk menjadi guilty pleasure, namun rusak akibat film keduanya yang dapat dilabeli kurang berhasil jika tidak ingin disebut kacau. Nah, David Twohy seperti sadar dengan hal tersebut, dan memberikan anda sebuah kejutan dibagian pembuka. Seperti tidak mau ambil resiko dengan meneruskan apa yang telah ia ciptakan di The Chronicles of Riddick, Twohy mengembalikan film ini ke dalam formula Pitch Black. Aksi observasi yang fokus, minim dialog, namun tetap mampu membangun rasa penasaran pada apa yang akan terjadi selanjutnya, ini menarik, awalnya.

Benar, Riddick sejujurnya sangat menarik dibagian awal, terlebih ketika ia masih berputar dalam upaya menghidupkan kembali sosok Riddick. Namun semakin jauh ia berjalan semakin terasa bahwa Riddick hanyalah sebuah daur ulang dari film pertamanya, berisikan materi-materi yang kurang matang dan berjalan di ruang bermain yang sempit. Yap, anda sudah dibuat penasaran di bagian pembuka, berharap akan ada sebuah kejutan, tapi harus puas mendapatkan cerita yang terjebak dalam permainan petak umpet yang berjalan di alur yang terasa lemah dan tidak meyakinkan. Anda tidak bingung, tapi anda dapat melihat bahwa film ini yang justru bingung.

Jika harus menggunakan perumpamaan, Riddick seperti mengurai sebuah tumpukan benang yang kusut. Memang tidak ada lagi kisah-kisah kurang menarik, anda akan diajak untuk fokus pada perjuangan Riddick mensukseskan rencananya, namun masalahnya David Twohy, Oliver Butcher, dan Stephen Cornwell tidak berhasil membangun konflik pendukung (yang sebenarnya punya potensi itu) untuk mewarnai lingkungan sekitar Riddick agar berfungsi ikut menjaga film ini tetap menarik. Apakah kehabisan ide, atau cara yang dipergunakan salah, ini seperti menyaksikan dua dunia, Riddick yang sibuk dengan aksi sabotasenya, dan dua kelompok yang bertikai, asyik saling ejek satu sama lain. Akibatnya, kehangatan dan rasa penasaran yang dimiliki cerita di bagian awal justru berubah menjadi aksi-aksi membosankan.

Apa saja? Mulai dari CGI miskin yang tidak mampu menggambarkan latar sebagai sebuah planet terpencil, dibalut dengan nuansa gelap dan terang yang kerap kali menyiksa mata, visual efek lemah, dan dialog yang dangkal. Riddick maish punya banyak kekurangan, plot yang kurang inovatif, cerita yang kurang dinamis, melengkapi statusnya sebagai sebuah sekuel yang kehadirannya kurang begitu penting. Ya, Riddick punya potensi yang imo cukup mumpuni untuk eksis kembali dengan nafas positif, namun sayangnya kurang berhasil di eksekusi dengan baik oleh David Twohy, tidak keseluruhan, tepatnya di paruh akhir durasinya yang ambisius itu (118 menit).

Anda jelas masih dapat melihat sosok Riddick dalam diri Vin Diesel, walaupun sudah tertidur hampir satu dekade, dan itu satu nilai positif bagi Vin Diesel. Sayangnya, seperti yang saya singgung di paragraph pembuka, Riddick tidak menawarkan perkembangan yang signifikan dari kualitas akting Diesel. Selain Diesel mungkin Jordi Mollà yang mencuri perhatian mengalahkan Matt Nable, anda dapat melihat sosok menyebalkan dalam karakter yang ia mainkan. Scene stealer menjadi milik Katee Sackhoff, yang sebenarnya secara eksplisit banyak dimanfaatkan oleh untuk menambal cerita ketika ia stuck.


Overall, Riddick adalah film yang kurang memuaskan. Saya sangat bahagia dengan cara ia memulai kembali kehidupan Riddick, namun tidak berhasil tertarik setelah ia mulai menjalankan rencananya, semakin merasa jengkel ketika mendapati bahwa ia sebenarnya hanya punya kisah yang sempit dibalik durasinya yang cukup besar itu. Anda mungkin tidak akan kecewa jika ekspektasi anda cukup rendah, namun jika anda mencari kebangkitan kembali sosok lama dalam bentuk yang kuat dan memikat, mungkin anda akan kecewa. Sebuah sekuel yang tidak mampu menjadikan kehadirannya terasa penting.



0 komentar :

Post a Comment