29 September 2013

Movie Review: The Kings of Summer (2013)


Menjelang berakhirnya usia remaja, mayoritas dari anda pasti pernah mengalami hal ini, meningkatnya rasa ingin tahu pada sesuatu yang baru, dan menjadikan aturan yang orang tua anda telah terapkan semakin mengikat, menyiksa, dan mengganggu. The Kings of Summer adalah contoh sederhana, coming-of-age yang menyatukan komedi dan drama, menyajikan sebuah proses bertumbuh dan menemukan dari remaja dan orang dewasa, kemasan absurd yang mencoba membuktikan selalu ada batasan dalam segala hal.

Joe Toy (Nick Robinson), semenjak ditinggal ibunya yang telah meninggal, dan kakaknya Heather (Alison Brie) yang kini tinggal bersama Colin (Eugene Cordero), harus rela menghabiskan hari-harinya bersama Frank Toy (Nick Offerman), ayahnya yang jika dideskripsikan dalam satu kata adalah sosok yang: menjengkelkan. Aturan main yang Frank terapkan untuk mencoba membimbing Joe ternyata tidak sesuai dengan harapannya, dari permainan monopoli yang bahkan sempat ia akhiri lewat hal ekstrim dengan menyampaikan laporan palsu kepada polisi dengan keterlibatan Frank.

Ternyata hal itu juga dialami oleh sahabat Joe, Patrick Keenan (Gabriel Basso), yang bahkan terasa lebih menjengkelkan ketika harus mendengar kata demi kata dari ayah dan ibunya, Mr. Keenan (Marc Evan Jackson) dan Mrs. Keenan (Megan Mullally). Hal tersebut yang menjadikan Patrick bergabung dengan Joe dan seorang anak asing bernama Biaggio (Moisés Arias), membangun sebuah rumah di tengah hutan yang jauh dari keramaian, menciptakan arena bermain untuk menghabiskan summertime, lari dari hal yang mereka anggap tekanan dan siksaan, yang justru memberikan pengalaman baru yang membawa mereka menuju tahap kehidupan yang lebih tinggi.


Jujur saja The Kings of Summer adalah film yang sangat sangat mampu mencuri atensi penontonnya di bagian awal. Polemik yang sederhana dan dialami oleh mayoritas penontonnya menjadikan beberapa susunan adegan lucu berhasil membawa anda masuk kedalam dunia Joe dan Patrick. Ya, ini adalah bagian terbaik dari film ini, scipt yang ditulis oleh Chris Galletta seperi melakukan perkawinan yang indah bersama dengan cara Jordan Vogt-Roberts membuka lembaran petualangan tiga remaja yang masih mencari arah dengan mengandalkan ego mereka, proses membangun diri mereka seperti membangun rumah yang masih berantakan itu.

Ada karakter aneh, ada beberapa lelucon aneh yang masih mampu bekerja, saya suka ide yang ditawarkan oleh The Kings of Summer, bagaimana ia memisahkan dua dunia, remaja dan dewasa, menjadikan mereka masing-masing berjalan sendiri untuk mulai menemukan pelajaran hidup. Dengan beberapa visual yang cantik, konflik remaja yang dangkal itu berhasil menyatukan kebodohan dan kepintaran sama baiknya, cerdik dalam mengkombinasi komedi dan drama (terutama pada Biaggio), dan yang terpenting ia berhasil menjadikan anda mengerti dengan sangat mudah apa maksud dari semua yang ia sampaikan.

Sayang, dengan potensi yang cukup besar kenikmatan itu hanya terasa di saat ia membangun cerita. Hanya sampai disitu, karena setelahnya anda akan ikut merasakan seperti apa yang tiga karakter utama rasakan, terjebak. Tidak begitu mempermasalahkan cerita yang kemudian berubah predictable dengan kehadiran Kelly (Erin Moriarty), namun cara Vogt-Roberts menggerakkan cerita yang justru menukar petualangan menyenangkan tadi menjadi sebuah pengamatan yang melelahkan. Berjalan lambat, ia mencoba memutar premis yang tadinya ringan itu untuk menjadi sedikit lebih serius, tapi celakanya tanpa disertai totalitas yang kuat.


Ya, ini berubah menjadi sebuah petualangan yang kurang bersemangat, ia sudah berhasil melemparkan ide yang familiar namun masih punya power yang kuat untuk menarik atensi, namun seperti tidak mampu (atau mungkin tidak mau) untuk menggali lebih dalam potensi yang ia miliki. Benar, ide yang saya sebutkan di bagian pembuka tadi, menarik, namun kemudian hanya di isi dari proses familiar yang jangankan untuk memberikan sesuatu yang baru dalam tema ini, untuk semakin mempertajam ide itu saja ia tidak berhasil. Hasilnya, pergerakan dinamis tadi berubah menjadi datar tanpa semangat, aksi berebut cinta, membenci orang tua, hingga upaya untuk menjadi dewasa yang terlihat tanpa energi.

Kesalahan utama berasal dari kebimbangan ia untuk menaruh elemen apa di posisi terdepan. Vogt-Roberts mungkin sadar untuk menjadikan komedi sebagai jualan utama tampak kurang memadai, tapi ketika ia mencoba masuk ke dalam cerita yang lebih serius ia tidak mampu menciptakan tempo yang tepat. Akhirnya The Kings of Summer seperti terbagi menjadi dua, paruh pertama yang menarik, dan paruh kedua yang tidak buruk namun kurang menarik. Ya, jujur saja di paruh kedua saya kurang begitu peduli lagi dengan permasalahan Joe dan Patrick bersama keluarga mereka dan cinta segitiga, dan menggantinya dengan rasa ingin tahu pada sosok Biaggio.

Biaggio adalah bintang utama. Perannya memang kecil namun tiap kesempatan yang ia punya berhasil dijalankan dengan efektif oleh Moisés Arias. Sedangkan Nick Robinson dan Gabriel Basso memang berhasil bertugas menjadi pembuka jalan bagi penonton untuk mengerti permasalahan utama, tapi seperti kehilangan nyawa ketika mengganti tugas mereka untuk menyampaikan pesan utama. Hal yang sama juga dialami oleh Nick Offerman, berhasil menjadi sosok yang menjengkelkan, namun kurang mumpuni untuk menjadi sosok yang ikut menghidupkan proses belajar dan mengajar bagi Joe dan mungkin juga untuk Patrick.


Overall, The Kings of Summer adalah film yang cukup memuaskan. Ini menyenangkan, pada awalnya, sebelum ia kehilangan tempo di bagian tengah cerita. Untuk menjadi penggambaran dari proses introspeksi diri dari kaum remaja dan dewasa, The Kings of Summer berhasil, namun hanya dalam batasan sebuah dasar, karena setelah itu semua terasa standard tanpa materi yang mampu menjadikan ia sebagai film yang memorable.



0 komentar :

Post a Comment