02 August 2013

Movie Review: Magic Magic (2013)


Your mind can destroy you. Pasti ada yang menganggap kalimat tadi adalah sebuah pernyataan yang konyol,  namun tidak sedikit pula yang percaya pada mind power. Yap, pikiran merupakan pusat kontrol yang menjadi salah satu bagian paling penting dari tubuh manusia, namun ketika ia berada pada kondisi yang sangat lemah, terganggu, tidak fokus, pikiran justru dapat membawa bencana besar kepada anda. Magic Magic, interesting, hypnotizing, an unpredictable standard psychological thriller.

Alicia (Juno Temple), tiba di Chile, atas undangan dari sepupunya Sarah (Emily Browning), yang menjadi bagian dari pertukaran pelajar, untuk berlibur bersama teman-temannya, Brink (Michael Cera), Barbara (Catalina Sandino Moreno), dan Agustín (Agustín Silva). Sayangnya Sarah mendadak harus pergi karena urusan akademis, sesuatu yang mengecewakan bagi Alicia karena menjadikan ia masuk kedalam kondisi dimana harus melanjutkan perjalanan bersama orang-orang yang tidak begitu ia kenal.

Bersama dengan orang-orang yang baru saja anda kenal tidak selamanya sulit, selama tidak tercipta suasana canggung satu sama lain. Itu yang tidak dialami oleh Alicia. Menuju sebuah pulau yang bahkan sulit terjangkau sinyal network, Alicia merasa terasingkan, berawal dari satu-satunya sosok yang tidak bisa bahasa Spanyol, berlanjut ke kondisi sulit untuk tidur, rasa cemas Alicia semakin buruk karena ia terus menaruh rasa curiga bahwa ada sesuatu yang tidak beres disekitarnya.


Menjadi satu dari dua film miliknya yang berlaga di Sundance Film Festival bulan Januari lalu, Magic Magic tampak seperti menjadi sebuah arena bermain dari sebuah ide dengan hasrat yang begitu tinggi dari seorang Sebastián Silva. Tidak ada warna baru yang ditawarkan oleh film ini, menggunakan pola dasar dari sebuah film thriller yang sudah begitu umum. Apa yang menjadikan film ini tampak menyenangkan justru terletak pada materi utama yang ingin ia tampilkan, sebuah penggambaran menarik pada akibat yang ditimbulkan dari gangguan kejiwaan yang mempengaruhi fungsi otak manusia, dan berdampak pada emosional hingga tingkah laku.

Silva cermat dalam mempertahankan kekuatan utama dari kasus yang ia bawa, bagaimana anda pada akhirnya terus fokus pada sebuah kemasan yang secara implisit terasa manipulatif, mencoba untuk menakuti-nakuti lewat ancaman dari pikiran yang terganggu. Tanpa sebuah informasi yang benar-benar kuat dan jelas, karakter yang tidak dikembangkan begitu dalam, eksplorasi yang fokus menjadikan Magic Magic sebagai sebuah permainan halusinasi yang menyenangkan, bertumpu pada ambiguitas antara mimpi dan kenyataan, dibalut dengan permainan visual yang menarik dan efektif dari Christopher Doyle dan Glenn Kaplan.

Yap, Magic Magic sangat berhasil dalam menciptakan sebuah film thriller, suasana yang mencekam. Kondisi gelap bersatu dengan baik bersama misteri utama, dengan pertanyaan yang terus membuat penontonnya merasa bingung pada modus utama film ini. Bermain-main dengan pemandangan Chile, menggunakan simbol seperti burung kakak tua, aksi loncat dari tebing, hingga boneka domba didalam kamar, secara bertahap Silva mampu untuk terus membangun rasa gelisah dan cemas untuk menemani rasa bingung yang telah hadir terlebih dahulu. Celakanya pada bagian ini ia terasa terlalu berlebihan, dan menjadi titik balik yang menyedihkan.


Mungkin ini terasa sedikit implisit, namun terus menumpuk narasi bersama dengan pertanyaan-pertanyaan, menjadikan penontonnya untuk terus menunggu dan waspada akan kemunculan sesuatu yang menakutkan, tanpa Silva sadari memberikan dampak destruktif pada tensi dan daya tarik cerita. Yak, ia terlalu lama terlena dalam bermain-main dengan rasa penasaran penonton, tidak memberikan clue-clue baru yang dapat semakin menjadikan kasus ini semakin menarik. Berputar-putar di ruang yang sama justru menjadikan materi yang ia berikan perlahan mulai tidak lagi mengejutkan, apalagi ketika ia mulai memecah kembali warna cerita yang semakin menjadikan anda merasa bingung, mencampur thriller, horror, dan comedy dengan intensitas yang sama besar.

Yang menyelamatkan film ini adalah kinerja dari para aktor yang ia miliki. Juno Temple mungkin berhasil mendapatkan dua hal yang inginkan dari film ini. Pertama, posisi utama yang memberikan ruang bermain baginya untuk menunjukkan kualitas akting yang ia miliki, menjadikan Alicia sebagai karakter yang mengganggu berbalut dengan rasa kasihan. Kedua, sebuah kewajiban yang harus ia lakukan di setiap film yang ia miliki belakangan ini, menunjukkan payudaranya walau untuk sesaat. Michael Cera berhasil menjadi sosok yang menjengkelkan dan penuh misteri, namun juga menjadi sumber rasa bingung akibat komedi komikal yang ia tampilkan. Sedangkan Emily Browning, Catalina Sandino Moreno, dan Agustín Silva tidak punya porsi yang cukup untuk menjadikan karakter mereka sejajar dengan Temple dan Cera.


Overall, Magic Magic adalah film yang cukup memuaskan. Konsep dari tema utama yang ingin disampaikan oleh Sebastián Silva terasa kuat, bahkan hingga akhir. Namun sedikit mengingkari warna cerita, dan terlalu asyik membuat penontonnya merasa bingung dengan misteri yang ia bangun menjadikan potensi yang ia tampilkan di bagian awal tidak berhasil dicapai. Punya beberapa chilling moment skala kecil, namun sulit pula untuk menampik beberapa orang mungkin akan menganggap film ini sebagai sebuah nonsense.




0 komentar :

Post a Comment