20 May 2013

Movie Review: Star Trek Into Darkness (2013)


Masihkah tersimpan di memori anda tentang kasus The Mandarin, archenemy Iron Man yang justru menjadi objek utama lelucon dibalik kisah heroik Tony Stark? The Mandarin dapat menjadi bukti bahwa keberhasilan para pahlawan (superhero) untuk tampil memikat tidak hanya bertumpu pada dirinya sendiri, namun juga berkat pertolongan daya tarik dari masalah yang ia hadapi, salah satunya adalah kemampuan musuh utamanya dalam menebar ancaman. Star Trek Into Darkness punya hal penting tersebut.

Pria itu adalah John Harrison (Benedict Cumberbatch), seorang mantan agen Starfleet yang memutuskan untuk melakukan pemberontakan dengan melancarkan serangkaian serangan ke kantor pusat Starfleet, dari memanfaatkan seorang agen yang akhirnya suicide demi kelangsungan anak perempuannya yang sedang sakit, hingga sebuah aksi frontal menggunakan pesawat tempur dan menggempur rapat petinggi Starfleet.

Namun fakta setelah peristiwa tersebut ternyata justru lebih mengejutkan, dimana setelah melakukan penyerangan Harrison tiba-tiba menghilang, dan keesokan harinya ditemukan bahwa ia tidak sedang berada di bumi. Kirk (Chris Pine), yang diturunkan jabatannya menjadi perwira utama akibat melanggar banyak aturan di misi terakhirnya di Nibiru, diberi kesempatan oleh Admiral Marcus (Peter Weller) untuk kembali menjadi kapten dan mengemban misi untuk menangkap Harrison, bersama Spock (Zachary Quinto), Uhura (Zoe Saldana), dan tim miliknya, yang ternyata juga menguak sebuah fakta mengejutkan.


Ini impresif, Star Trek Into Darkness (STID) punya pondasi yang kuat, sebuah cerita yang menarik. Tidak mau terlalu rumit, villain menyerang, kemudian melarikan diri, dan para pahlawan mulai mengejar, sebuah kemasan konflik utama yang sederhana namun berhasil menciptakan start yang seperti menjanjikan sesuatu menarik akan hadir. Yang kemudian menjadikan film ini menarik adalah dimana sebenarnya seiring berjalannya waktu ia menyelipkan banyak sub-plot yang menarik dan diolah dengan baik, namun tetap mampu menjadikan anda sebagai penonton fokus dalam sebuah penantian dari apa yang akan terjadi pada konflik utama.

Kuncinya jelas terletak pada tangan seorang J. J. Abrams, yang di kesempatannya yang kedua di bagian ke 12 dari franchise Star Trek ini masih mampu mempertahankan, bahkan (mungkin) sedikit meningkatkan kualitas kinerja yang ia miliki. Naskah yang padat hasil kerja sama Roberto Orci, Alex Kurtzman, dan Damon Lindelof, seperti tampak ringan dibawah kendali J. J. Abrams. Cara yang ia pakai dalam mengolah tiap bagian terasa apik, dimana konflik utama tetap berada di posisi terdepan, mampu menarik perhatian anda ketika beberapa konflik pendukung hadir namun tidak sampai menginvansi ke posisi terdepan, hingga bagaimana pertanyaan yang ia hadirkan tetap berputar di pikiran anda bersama rasa bimbang.

Dan seperti yang saya singgung di bagian pembuka, faktor penentu lainnya yang menjadikan film ini menarik adalah J. J. Abrams tahu bagaimana cara memperlakukan villain dengan baik, benar, dan penuh rasa hormat. Tidak ada yang berkurang dari performa yang dihasilkan para muka lama, dimana Kirk dan Spock semakin terlihat padu disaat terang dan gelap, sedikit bumbu personal yang di eksekusi dengan baik, kontribusi dari para karakter pendukung seperti Scotty (Simon Pegg), Bones (Karl Urban), Hikaru Sulu (Jhon Cho), dan Chekov (Anton Yelchin) yang punya peran menarik dalam cerita, hingga kesuksesan karakter baru Dr. Carol (Alice Eve) masuk dengan cara yang natural kedalam tim. USS Enterprise menunjukkan mereka kini seperti sebuah keluarga yang saling mengerti satu sama lain, dan menjadi sebuah tim yang kokoh tanpa meninggalkan unsur fun yang mereka miliki. Namun, Benedict Cumberbatch adalah dalang dari kesuksesan STID pada divisi akting.


Tidak perlu meragukan kualitas akting Cumberbatch, karena ia adalah Sherlock Holmes yang sesungguhnya. Dari cara ia berbicara, sorotan mata yang tenang namun menghanyutkan, berpadu dengan kharisma yang membentuk sebuah ancaman skala besar dalam sebuah kemasan kecil yang menipu, sebuah performa yang ikut menjadikan para penontonnya merasakan pressure yang di alami oleh tim USS Enterprise. Puncak dari kinerja apik Cumberbatch hadir ketika sebuah pertanyaan muncul ketika cerita mulai lepas dari bagian tengah. Dua pilihan yang tersedia mampu ditutup dengan rapi oleh Cumberbatch sehingga misteri itu menjadi sulit ditebak.

Lantas apa nilai minus yang film ini miliki? Tentu bukan dari segi teknis, dimana ia punya score yang menyenangkan, berpadu dengan kualitas visual yang proporsional, punya warna yang dalam dengan tingkat kecerahan yang terasa pas, meskipun harus diakui sedikit rasa kecewa juga hadir dari divisi ini karena sensasi maksimal dari efek yang ia miliki hanya hadir dibagian pembuka. Film ini fokus, dan seperti yang disebutkan sebelumnya ia sukses membuat anda terus bertanya. Namun, di beberapa titik ia sempat menurunkan tensi cerita, dan sayangnya bagi saya di beberapa bagian tidak mampu kembali ketitik sebelum ia turun. Puncaknya ketika ia akan berakhir, adegan sederhana untuk menutup semua kekacauan berbalut teknologi yang telah diciptakan sebelumnya? Ya ya, saya mengerti tujuan utamanya, namun itu terlalu standard, dan antiklimaks.


Overall, Star Trek Into Darkness adalah film yang memuaskan. J. J. Abrams sukses membentuk wajah baru dari franchise ini semakin bertumbuh, semakin tangguh, dan celakanya semakin menarik. STID tahu bagaimana membawa anda kedalam sebuah petualangan luar angkasa yang serius, namun tidak lupa untuk tetap menjaga para penontonnya menjauh dari rasa bosan. Memang hanya tepuk tangan kecil yang saya berikan ketika ia berakhir, namun hanya sebuah senyuman puas yang menemani saya melangkah pulang. Menyenangkan.   




1 comment :