05 April 2013

Movie Review: The Girl Who Kicked the Hornet's Nest (2009)


Seperti judulnya, The Girl Who Kicked the Hornet's Nest adalah sebuah hasil dari dampak domino yang harus dialami oleh Lisbeth Salander (Noomi Rapace) akibat semua kekacauan di dua film sebelumnya yang berpusat pada dirinya. Langsung menyambung cerita dari film kedua, Lisbeth seperti berada dalam sebuah sarang berisikan banyak madu yang terus dijaga oleh lebah-lebah yang punya dua tujuan yang berbeda, ingin melindunginya, dan disisi lain ingin menjatuhkannya untuk melindungi sebuah rahasia besar yang telah tersimpan puluhan tahun lamanya.

Dengan sebuah peluru yang bersarang di kepala bagian kanannya, Lisbeth berada dalam kondisi kritis dan diharuskan menjalani perawatan yang intensif. Meskipun begitu, ruang tempat ia dirawat berada dalam pengawasan yang ketat, dijaga oleh seorang polisi di depan pintu, hanya dokter, perawat, serta Annika Giannini (Annika Hallin), pengacaranya sekaligus adik dari Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), yang diberikan akses untuk menemui Lisbeth.

Namun ternyata sebuah rencana telah disusun, sumbernya adalah Fredrik Clinton (Lennart Hjulström) dan Evert Gullberg (Hans Alfredson), mantan rekan di sebuah kelompok bernama “The Section” yang dulu merupakan bagian dari dinas keamanan Swedia. Misi mereka adalah membunuh Alexander Zalachenko (Georgi Staykov) dan Lisbeth, yang sedang dirawat di rumah sakit. Sayangnya tidak semua rencana mereka berhasil, yang kemudian memaksa Clinton untuk mengambil langkah lain untuk mensukseskan misinya, cara manipulatif, dengan meminta bantuan Dr. Peter Teleborian (Anders Ahlbom), psikiater yang pernah berurusan dengan Lisbeth saat dia masih kecil. Tidak semudah itu, karena gerak mereka telah tertangkap radar oleh Mikael Blomkvist.


Terasa sebuah penurunan yang cukup signifikan dari film ini jika dibandingkan dengan dua pendahulunya. Memang harus di maklumi karena cerita dari bukunya sendiri lebih banyak bermain dalam proses membongkar misteri tanpa adegan yang mampu memompa adrenalin penonton. Dampaknya, film ini akan berada pada tensi yang stabil sejak awal hingga pertengahan cerita, karena Ulf Rydberg dan Jonas Frykberg ternyata masih sangat setia dengan cerita dari buku yang menjadi pondasi mereka. Ya, stabil jika anda tetap berupaya untuk fokus, namun akan mulai membosankan ketika anda mulai kesal dengan semua tik-tok cerita yang ia hadirkan.

Mungkin satu jam, dimana film ini berjalan lambat, dan berupaya untuk lebih fokus pada proses menjabarkan konflik agar dapat dimengerti dengan jelas. Daniel Alfredson seolah tampak tidak mau mengambil resiko dalam keputusan ini, menaruh fokus cerita yang sangat kuat pada dua sosok utama yang ia miliki, dan sukses menjadikan masing-masing cerita yang mereka emban menjadi menarik. Ini yang saya suka, karena saya merasa seperti membaca cerita dari novelnya, dalam kemasan yang sedikit sempit, namun tetap mampu menyatu tanpa meninggalkan bagian penting dari cerita.

Ya, tidak ada yang tertinggal, karena film ini mampu membawa kembali kisah di film kedua ke hadapan penonton tanpa menuntut sebuah usaha ekstra dari penonton untuk dapat paham dengan bagian tersebut. Resikonya, jika anda menjadikan film ini sebagai film tunggal, menyaksikan film ini tanpa menonton terlebih dahulu film keduanya, maka yang anda rasakan hanyalah sebuah paket berisikan materi yang membingungkan. Tapi sebaliknya, jika anda telah mengikuti Lisbeth sejak film pertama, maka tautan antar konflik akan menjadi lebih mudah dan tidak membingungkan.

Mungkin terkesan membosankan, namun justru cerita yang lebih didominasi oleh proses membongkar misteri dengan dipenuhi dialog ini memberikan kesempatan bagi dua pemeran utamanya untuk menunjukkan kualitas akting mereka. Noomi Rapace tidak menunjukkan sebuah lonjakan yang besar, karena setelah sangat nyaman dengan karakternya, yang harus dilakukan oleh Rapace adalah menjaga harmoni yang telah ia ciptakan agar dapat bertahan di level yang sama, dan itu berhasil. Michael Nyqvist yang kali ini tampil memikat, mungkin karena kesempatan yang ia peroleh kali ini lebih besar, dan itu mampu dimanfaatkan dengan baik oleh Nyqvist ketika ia menjadi dalang dari semua fakta yang Lisbeth peroleh. Ini penampilan terbaik Nyqvist di Millennium Series.

Apa yang harus anda antisipasi sejak awal mungkin adalah pace cerita yang akan berjalan lambat. Tidak ada adegan aksi, dimana anda seolah diajak untuk mengurai sebuah benang yang kusut untuk menemukan ujungnya. Berjalan pelan, dipenuhi dialog yang menuntut fokus dari penontonnya, akan anda temukan sepanjang 90 menit film ini berjalan. Tapi, kesabaran anda akan terbayarkan berkat adegan peradilan Lisbeth yang menjadi tempat berkumpulnya semua materi yang telah anda saksikan sebelumnya. Nikmat, dan menyenangkan.


Overall, The Girl Who Kicked the Hornet's Nest adalah film yang memuaskan. Sulit untuk membandingkannya dengan dua pendahulunya, karena film ini terasa lebih jauh lebih datar akibat fokus utama yang ia taruh pada proses menuju peradilan Lisbeth. Tetap menarik, namun akan sedikit mengecewakan bagi mereka yang telah mengikuti kisah Lisbeth sejak film pertama. Sebuah kemasan penutup yang cukup manis, meskipun seolah masih menyisakan sesuatu dan terasa belum tuntas.


0 komentar :

Post a Comment