25 February 2013

Movie Review: Upside Down (2012)


Gravitasi, sebuah gaya yang menarik anda menuju inti bumi, gaya tarik yang selayaknya patut kita syukuri karena berhasil melindungi umat manusia dari hal-hal "aneh". Tapi, ada pula sesuatu yang kita sebut cinta, sebuah rasa yang sering disebut sebagai anugerah terindah Tuhan kepada ciptaannya. Cinta dilabeli sebagai power yang dapat mengalahkan semuanya, bahkan untuk dua insan yang terpisah di dua dunia yang saling berhadapan, atas dan bawah. Upside Down, jawaban atas sebuah pertanyaan, what if love was stronger than gravity? 

Suatu ketika dunia mengalami kekacauan akibat fenomena misterius yang menyebabkan timbulnya gravitasi ganda, yang akhirnya menyebabkan lahirnya dua planet dengan gravitasi yang berbeda. Up Top, planet yang diwarnai kemewahan berbalut modernitas, berhadapan secara langsung dengan Down Below, planet yang tepat berada dibawahnya, planet miskin yang menjadi pelengkap sisi hitam dan putih diantara mereka. Kedua planet terhubung oleh sebuah bangunan besar yang disebut Transworld, jalur yang hanya digunakan untuk melakukan transaksi jual beli.

Terdapat sebuah aturan keras yang berlaku di kedua planet, yaitu perpindahan antar planet yang sangat dilarang. Namun, suatu ketika Eden (Kirsten Dunst), yang menetap di Up Top, berkenalan dengan seorang pria bernama Adam (Jim Sturgess), yang berasal dari Down Below. Mereka mengalami cinta pada pandangan pertama, yang ternyata memiliki power sangat kuat, power yang menjadikan Adam melakukan segala cara untuk dapat bersama Eden, bahkan dengan melanggar hukum yang pada akhirnya memisahkan mereka. Namun, takdir berkata lain, sepuluh tahun kemudian mereka dipertemukan kembali, dengan cara serta kondisi yang telah berbeda.


Dua paragraf tadi bisa dikatakan terlalu panjang untuk menyampaikan sinopsis yang film ini punya, namun anda tidak perlu takut akan spoiler, karena penjelasan tadi menurut saya adalah sebuah upaya dari saya untuk menjelaskan betapa menariknya premis yang ditawarkan film ini, dan tidak akan mengurangi sisi menarik yang ia punya. Ya, meskipun anda mungkin dapat menebak akhir dari cerita film ini, Upside Down mampu menutupi sedikit kekurangan tersebut dengan memanfaatkan elemen lain untuk membuat penontonnya terpukau.

Ya, semua film memiliki misi pertama yang seragam, yaitu menarik perhatian anda dengan sebuah awalan yang impresif. Upside down berhasil melakukan hal itu. Dan jika ada daftar film yang diawal mampu membuat penontonnya menaikkan ekspektasi awal mereka, Upside Down juga termasuk salah satunya. Dunia yang terbalik menghalangi kisah romansa, semakin menarik ketika ia telah mulai berjalan. Scene ketika Adam dan Eden melakukan kencan di puncak dua gunung tertinggi itu sangat indah. Ya, sangat indah, selaras dengan kadar keindahan dari konsep cerita yang ditulis sendiri oleh Juan Solanas.

Cerdas, ide film ini bisa dikatakan cukup cerdas. Tujuan utama yang ingin disampaikan oleh Solanas sebenarnya cukup dalam, yaitu ingin menggambarkan kepada penontonnya bagaimana perbedaan antara golongan atas dan kaum tertindas,kondisi dari si kaya dan si miskin pada dunia nyata. Dua tipe masyarakat tersebut dengan berani justru Solanas hadirkan dalam bentuk dua buah planet, yang meskipun memilki banyak latar belakang serta pondasi yang kurang begitu meyakinkan, namun sukses menjadi media bagi saya untuk ikut berfantasi bersama karakter dalam cerita, meskipun terasa kurang meyakinkan.


Keberanian Solanas kembali ia buktikan melalui cara ia menyuntikkan cerita. Ya, terlalu berani, Solanas memutuskan untuk menyuntikkan semua konflik utama diawal. Hal tersebut menghasilkan dampak yang signifikan, karena setelah itu berlalu Upside Down hanya menyisakan sebuah proses dimana anda hanya menanti. Film ini perlahan mulai mengalami degradasi pada kadar daya tarik yang ia punya, akibat kurangnya inovasi kejutan yang setidaknya mampu sedikit menaikkan tensi cerita yang perlahan turun. Solanas memang menghadirkan beberapa konflik pendukung, namun tidak mampu untuk memberikan nafas segar. Monoton, dibeberapa bagian bahkan ia tampak seolah stuck. Konflik pendukung yang hadir memang memiliki kaitan kuat terhadap cerita, tapi anehnya justru tidak membuat saya tertarik.

Banyak elemen dalam film yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan nilai positif, dan Solanas tahu cara memanfaatkannya. Disamping cerita fiktifnya yang diawal sangat memukau, namun perlahan mulai membosankan dan berubah layaknya dongeng, Solanas menutupi kekurangan tersebut dengan menghadirkan tampilan visual yang sangat menyenangkan. Banyak nilai positif yang film ini hasilkan dari tampilan visualnya yang indah itu, dapat mempesona penontonnya dan menutupi beberapa minus kecil dari cerita yang jika diamati lebih teliti akan menghasilkan pertanyaan yang berujung pada opini negatif pada film ini.

Forgiveable, nilai minus yang dihasilkan berada dalam batas yang dapat dimaafkan karena kesuksesan yang ia hasilkan pada hal teknis. Saya terpesona pada tampilan visualnya, mampu membawa saya ikut berkhayal dan membayangkan jika saya menjadi Adam dengan segala hambatan yang menghadang, serta perjuangan keras yang ia harus lalui. Memang tidak berakhir dengan sebuah klimaks yang meyakinkan, namun at least Upside Down mampu membentuk sebuah romantisme yang klasik dan standar menjadi menarik.

Ya, mereka memang tidak begitu berhasil tampil memukau, namun terlalu berlebihan pula jika melabeli kinerja yang diberikan oleh Sturgess dan Dunst sebagai sebuah kegagalan. Mereka kurang berhasil membangun chemistry yang kokoh sebagai sebuah pasangan, kadang berhasil menyentuh, kadang gagal. Namun mereka cukup sukses jika dinilai secara individual. Sturgess  adalah yang paling berkerja keras didalam cerita, dan hasil yang ia berikan cukup meyakinkan. Begitu pula dengan Dunst, yang kali ini punya peran yang tidak begitu besar, namun tetap mampu memanfaatkan sex appeal miliknya untuk mampu menjadikan karakter yang ia mainkan menarik ketika berhubungan dengan hal romance. Kelemahannya adalah Solanas yang kurang mengekplorasi karakter yang sebenarnya punya potensi yang jauh lebih besar dari apa yang mereka berikan, salah satunya Timothy Spall, yang berperan sebagai Bob Boruchowitz, sahabat baru Adam dari Up Top.


Overall, Upside Down adalah film yang cukup memuaskan. Film ini punya konsep cerita yang sangat menarik, mampu tampil impresif diawal cerita sehingga saya secara spontan menaikkan ekspektasi awal, namun sayangnya justru gagal mempertahankan daya tariknya akibat cerita yang mulai kehilangan fokus dan powernya. Tapi kekurangan yang Juan Solanas hasilkan mampu ia tutup dengan tampilan visual yang indah. Meskipun kurang mumpuni dari segi cerita, Upside Down adalah film layak tonton yang imajinatif. 


0 komentar :

Post a Comment