31 December 2012

Movie Review: Oslo, August 31st (2011)


I am the captain of my soul, baris terakhir dari puisi berjudul Invictus karya William Ernest Henley ini sesungguhnya telah menjadi sebuah penggambaran tentang apa tanggung jawab utama kita ketika menjalani kesempatan di dunia ini. Anda yang mengendalikan kemana jiwa anda melangkah, bergerak positif menuju sebuah cahaya terang, atau justru terus terperangkap di bukit gelap dengan sebuah jurang terjal yang siap melahap anda.


Anders (Anders Danielsen Lie), pria berusia 34 tahun, sedang menjalani rehabilitasi akibat kecanduan yang dialaminya terhadap narkoba dan minuman keras. Di tanggal 30 Agustus, Anders diberi kesempatan untuk keluar selama satu hari, dan menghadiri interview pekerjaan. Pria yang cukup impresif lewat tulisan-tulisannya ini ternyata memiliki tekat yang kuat untuk dapat lepas dari masa lalunya, dan memutuskan untuk berbicara jujur mengenai sejarah kelam-nya tersebut.



Joachim Trier seolah menjadikan saya tidak ingin untuk mencoba berpikir kemana film ini akan berjalan. Bukan berarti ia tidak sukses menjadikan saya terperangkap melalui cerita yang ia tawarkan, tetapi karena cara penyampaian yang ia gunakan berhasil membentuk karakter utama dengan baik sehingga saya merasakan sebuah kenikmatan berjalan bersamanya mengitari kota Oslo.

Anders adalah karakter yang luar biasa. Ia mencoba dengan keras untuk menutupi semua kegagalan yang ia lakukan di masa lalu, tapi disisi lain ia terus terbelenggu rasa kecewa bahkan putus asa. Ya, mungkin saja itu sangat sakit, ketika melihat Anders berbincang bersama temannya Thomas (Hans Olav Brenner), dan juga ketika ia dengan berani mengaku sebagai pecandu narkotika kepada pewawancara yang menanyakan CV-nya, keduanya menggambarkan dengan sempurna bagaimana berat dan sakitnya akibat dari kesalahan besar yang pernah anda lakukan.

Anders berkeliling kota Oslo, masuk ke klub dan menghadiri pesta, mengganggu mantan pacar melalui voice mail, bertemu sahabat-sahabat lamanya, tidak menjadikan film ini terasa seperti sebuah petualangan. Joachim Trier justru tampak seolah menjadikan karakter Anders sebagai objek observasi yang empuk bagi anda, objek pembelajaran mengenai bahaya yang mungkin akan anda dapatkan jika anda gagal dalam mengontrol hidup anda. Anders berhasil menarik simpati saya kepadanya, yang menjadikan saya dengan mudah mencoba memahami apa yang ia rasakan.


Oslo, August 31st secara mengejutkan meninggalkan sebuah rasa cemas yang dalam kepada saya. Dengan ceritanya yang simple, diwarnai dialog-dialog santai dengan pesan yang dapat memukul anda dengan telak, film ini berhasil mewarnai pikiran saya selama tiga hari dengan kisah yang Anders alami, sebuah fakta yang mungkin saja juga pernah anda alami, dimana ketika penyesalan itu datang, namun anda tidak dapat lagi memutar mundur waktu untuk menghapusnya dari kehidupan anda, tapi disisi lain anda masih terus terperangkap dan belum dapat bergerak maju, meskipun telah berusaha dengan sangat sangat keras.

Mungkin bagi beberapa orang apa yang ditawarkan film akan terasa standar, karena premis yang ia tawarkan memang tidak dapat dipungkiri tidak begitu mampu untuk menarik minat dari golongan umum penikmat film. Tapi, Oslo, August 31st punya salah satu unsur favorit saya dari sebuah film, permainan emosi apik yang mampu menjadikan karakter mengikat anda selama ia hadir dilayar. Selama satu hari, Anders Danielsen Lie sukses menghadirkan seorang pria yang perlahan mulai kehilangan rasa percaya bahwa masih ada kesempatan yang ia miliki di dunia. Harapan yang perlahan terkikis, menghadirkan sebuah rasa sedih dan bahkan cemas dan waspada kepada saya.


Overall, Oslo, August 31st adalah film yang memuaskan. Selama 95 menit, film ini mungkin tidak tampak megah di semua elemen yang ia miliki, namun dampak serta efek dari pesan yang ia tinggalkan setelah film berakhir memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mampu mengisi kepala anda dalam waktu 1-2 hari. Sebuah studi karakter yang sangat sangat efektif.

Score: 8/10

0 komentar :

Post a Comment