28 December 2012

Movie Review: Once Upon a Time in Anatolia (2011)


Masih sama seperti apa yang ia lakukan empat tahun lalu pada Üç Maymun (Three Monkeys), Nuri Bilge Ceylan kembali membentuk Once Upon a Time in Anatolia dalam bentuk cita rasa yang identik dengan saudara tuanya tersebut. Terdapat tiga mobil yang berisikan polisi, dokter, jaksa, penggali kubur, pasukan tentara, serta dua tersangka, berkeliling di gelapnya malam desa Keskin, Anatolia, untuk mencari sebuah jasad korban pembunuhan.


Kenan (Fırat Tanış), bersama saudaranya yang sakit jiwa menjadi objek utama kekesalan emosi dari semua anggota tim pencari. Mereka terus dipaksa untuk menunjukkan letak jenazah yang telah mereka bunuh, sedangkan di sisi lain mereka mengaku lupa dimana letak mereka mengubur jenazah tersebut. Berputar-putar di gelapnya malam dengan sorotan lampu mobil sebagai penerang utama, Kenan mampu menjadikan suasana menyenangkan yang tercipta sejak awal perlahan mulai mengalami degradasi menuju rasa frustasi yang dalam.


Once Upon a Time in Anatolia (OUTA) bukan tipe film for everyone, film yang mampu menembus semua kalangan penonton untuk menjadi sebuah paket yang impresif bagi mereka ketika credit diakhir mulai bergulir.  OUTA adalah sebuah puisi dalam bentuk visual dari Nuri Bilge Ceylan, memanfaatkan kinerja lebih dari cinematography yang indah untuk menggambarkan sebuah pesan yang harus anda bongkar dengan teliti dan sabar. Ya, sabar dan teliti, karena selama 150 menit OUTA mampu terus menghadirkan misteri yang mengundang tanda tanya.

Plot yang ia miliki memang sangat jelas, dimana sekelompok orang yang sedang dalam misi menemukan jasad jenazah. Namun, OUTA justru tampil lebih menarik lewat konflik-konflik kecil yang dihadirkan lewat perbincangan antar karakter. Topik mengenai keluarga, mantan istri, kematian, hingga filsafat, berhasil menjalankan tugasnya untuk mengikat penonton agar tetap menaruh ketertarikan kepada film ini, disamping kasus pencarian yang mungkin akan sedikit menjemukan.

Ceylan kembali membuktikan ia adalah seorang sutradara yang wajib anda tunggu karyanya, meskipun anda sudah tahu cara penyajian yang akan anda dapatkan. Sesungguhnya premis yang film ini miliki sangat jauh dari kesan impresif, bahkan mungkin dapat dikatakan cukup dangkal dibalik kesan simple yang ia coba hadirkan. Tapi, melalui studi karakter yang ia tampilkan, Ceylan mampu mengajak saya masuk kedalam cerita, tertawa bersama karakter lewat humor-humor implisit, kemudian serius dengan kasus yang mereka coba pecahkan, hingga akhirnya ikut merasakan rasa frustasi dan kehancuran yang hadir diakhir cerita.


Overall, Once Upon a Time in Anatolia adalah film yang memuaskan. Sebuah film yang tampak ringan, namun sesungguhnya memiliki volume yang cukup berat.  OUTA adalah sebuah tampilan visual dalam durasi panjang yang menuntut anda untuk terus sabar sepanjang ia bergulir, karena semakin bergerak jauh dari garis awal anda akan mendapatkan kenikmatan yang instensitasnya perlahan semakin besar.

Score: 8,25/10

0 komentar :

Post a Comment