14 January 2021

Movie Review: Ammonite (2020)


“I don't want to go back to the life I had before you.”

Erotisme yang norak kerap menjadi titik terendah atau terdalam bagi sebuah film jika tidak mampu menggunakan konten “dewasa” yang ia punya secara tepat guna. Itu mengapa film dengan tema dewasa yang tampil secara tepat guna tidak mudah untuk ditemukan karena mayoritas dari film yang mengusung percintaan dewasa itu lebih gemar mengeksploitasi gairah atau nafsu agar menciptakan kesan kontras yang terasa kuat, seolah ingin menunjukkan dengan cara yang mudah bagaimana ketika manusia sedang larut di dalam gairah cinta. ‘Ammonite’ : I kissed a girl and I liked it.


Mary Anning (Kate Winslet) merupakan seorang ahli paleontologi, sebuah studi yang mempelajari kehidupan yang dahulu pernah eksis di mana rutinitasnya sehari-hari adalah pergi ke tepi pantai untuk mencari batu yang dapat ia teliti lebih lanjut. Mary mempelajari ilmu tersebut secara otodidak dan mengandalkan kemampuanya itu sebagai sumber penghasilan utama. Mary mengelola sebuah toko yang menyediakan potongan fossil yang telah ditemukan Mary, benda yang kerap mejadi buruan para turis yang berkunjung ke Lyme Regis.

Salah satu dari mereka adalah Roderick Murchison (James McArdle) yang datang ke toko Mary bersama istrinya, Charlotte Murchison (Saoirse Ronan) yang sedang sedih. Charlotte ternyata dipercayakan oleh Roderick agar “dirawat” sementara oleh Mary, ia tinggal di rumah Mary dan mulai menjalani kesehariannya mengikuti aktifitas Mary, salah satunya pergi ke pantai untuk mencari batu yang dapat ia teliti. Namun ternyata Charlotte bukan hanya sedang berusaha pulih dari sakit fisik saja, selama ini ternyata ia merasa kesepian dalam menjalani hidup, hal yang juga dirasakan oleh Mary. 

Setting cerita di abad ke-19 di mana masih manusia belum menemukan kemudahan untuk berinteraksi tentu menjadi salah satu alasan mengapa tone cerita ‘Ammonite’ ini terasa begitu kuat, bagaimana karakter seperti terkurung di dalam sangkar ketika di dalam hati dan pikiran mereka mulai lahir gejolak dan gelora asmara yang tumbuh semakin besar secara perlahan. Konflik yang diusung memang bukan sesuatu yang benar-benar baru namun di tangan Francis Lee kisah cinta terlarang itu berhasil dikemas menjadi semacam panggung sandiwara di mana dua karakter utama saling beradu akting. Sandiwara di sini bukan dalam konotasi negatif tentunya karena dari keputusan Francis Lee tersebutlah justru lahir dua karakter yang sukses mengunci atensi penonton menyaksikan pertemanan yang mereka bangun.


Hal terakhir tadi adalah kunci kesuksesan ‘Ammonite’ tampil menarik karena Francis Lee menciptakan sebuah panggung di mana ia kemudian menjadi dalang bagi dua karakter utamanya itu. Itu bukan hal yang baru dari Francis Lee sebenarnya karena ia juga menerapkan formula dan pola yang sama pada film yang merupakan debut penyutradaraannya, 'God's Own Country', ia gunakan kembali sistem yang sama tapi menariknya tetap mampu menyuntikkan kesan segar di dalam presentasinya. Jalan cerita dibuat tenang, sebagai penonton kamu akan ditempatkan pada posisi di mana terus menantikan “ledakan” macam apa yang akan muncul dari dua karakter yang di sisi lain secara perlahan terus mendorong maju gejolak emosi yang melanda hati dan pikiran mereka.

Francis Lee dengan terampil mendorong kondisi kesepian yang sedang dialami oleh Mary Anning dan Charlotte Murchison agar menjadi pintu masuk hubungan yang spesial tersebut, lalu menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan keduanya. Francis Lee buat situasi kesepian tersebut bergerak tenang tapi yang saya suka di sisi lain ia ternyata juga terus menata agar konflik tidak hanya sebatas berakhir di kondisi pelarian singkat dari rasa kesepian belaka. Gejolak yang menggelayuti pikiran Mary dan Charlotte terus dikembangkan secara perlahan, mempertahankan dengan baik tone serta vibe muram yang melekat di dalam diri dua karakter utama sedari awal sembari membuat agar intimacy semakin mendominasi layar.


Narasi sendiri harus diakui tidak malu-malu untuk menunjukkan kesan floating yang kuat, berputar di antara Mary dan Charlotte cerita berjalan dengan cara yang dapat membuat penonton merasa bosan, terlebih mereka yang sejak awal tidak berhasil “diikat” oleh dua karakter utama. Di sanalah peran keintiman yang dibangun Francis Lee, ia membuat Mary dan Charlotte bukan sebagai objek yang diamati untuk dicari solusi belaka namun juga bagaimana mereka menentukan pilihan hidup yang selama ini mungkin menjadi alasan mereka tidak merasa bahagia. Francis Lee kendalikan itu dengan baik tidak hanya pada cerita saja namun juga dalam hal mengarahkan penonton untuk mendukung karakter menemukan bahagia mereka, meskipun cara yang digunakan mungkin masih sulit untuk diterima oleh banyak orang.

Salah satu bagian dari pondasi paling sederhana dalam hidup digunakan oleh Francis Lee dengan baik untuk membentuk konflik dan karakternya, yakni kebebasan untuk menentukan pilihan yang dapat membuatmu merasa bahagia. Hal tersebut tidak dibentuk secara norak tapi justru dengan cara yang bijak, menempatkan Charlotte dan Mary sebagai dua wanita rapuh yang merasa bahagia saat mereka berdua saling “memeluk” satu sama lain. Kualitas emosi yang disajikan sendiri tidak coba dibuat agar tampak terlalu matang tapi justru keputusan tersebut membuat ending cerita jadi terasa fit dengan proses yang telah terbangun sejak awal, ada punch yang oke di sana meskipun narasi memang terasa sedikit goyah di babak akhir.


Untung saja hal tersebut tidak membuahkan dampak negatif yang terasa terlalu mengganggu buat saya, karena memang walaupun saya noticed akan hal itu namun fokus saya tidak pernah terkunci pada minus kecil tersebut. Penyebabnya tidak lain karena saya terpesona dengan kinerja akting yang ditampilkan oleh para aktor, tentu saja Kate Winslet dan Saoirse Ronan sebagai dua ujung tombaknya. Sejak karakter Mary muncul di layar Kate Winslet berhasil menunjukkan masalah yang menarik untuk diamati di dalam diri Mary, ia kemudian kembangkan emosi Mary dengan cara yang oke. Sedangkan secara fungsi Saoirse Ronan mungkin ditempatkan sebagai karakter pendukung tapi perannya tidak kalah besar, ia membuat Charlotte menjadi penyebab galau yang juga sedang galau dengan cara yang sederhana dan manis.

Overall, ‘Ammonite’ adalah film yang memuaskan. Terdapat aura erotis yang tidak kecil di dalam cerita tapi dibentuk dengan cara yang tidak norak oleh Francis Lee, ia justru mendorong agar hasrat dan nafsu itu hadir di dalam narasi yang kerap tampil dalam keheningan penuh kesan tenang yang kuat, sesekali deru ombak menemani. Tapi justru lahir sebuah panggung sandiwara yang terasa oke dan engaging hingga akhir, menampilkan gejolak batin dan emosi karakter yang ingin lepas dari perasaan sepi yang selama ini membuat hidup mereka terasa muram. Meski di babak akhir terasa sedikit goyah namun itu tidak cukup untuk merusak kualitas directing dari Francis Lee terasa terkendali, tidak hanya pada cerita tapi juga pada bagaimana ia memoles pesona dua karakter utamanya yang diperankan dengan baik oleh Kate Winslet dan Saoirse Ronan. Segmented.






1 comment :

  1. "Is it that I am all alone? Yet in my dreams, a form I view that thinks on me and loves me, too. I start, and when the vision's flown, I weep and I am all alone."

    ReplyDelete