12 December 2020

Movie Review: The Call (2020)

“You know what? I have a fun idea. Maybe I can bring your dad back to life.”

Banyak hal menyeramkan di dunia ini, salah satunya adalah sebuah gagasan filosofis yang disebut multiverse. Bukan sebuah hipotesis ilmiah memang tapi tetap saja teori tersebut dapat mengundang hadirnya perdebatan menarik terutama tentang konsep alternate timelines, bagaimana jika selain timeline yang kini sedang kamu jalani itu ternyata kamu yang berada dua puluh tahun sebelumnya juga sedang berjalan dalam timeline-nya sendiri, dan posisi timeline kalian sedang berjalan berdampingan? Bingung? Justru itu yang dimanfaatkan dengan baik oleh Sutradara Lee Chung-hyun di sini. ‘The Call’ : a neat and bold thriller.


Wanita muda bernama Kim Seo-yeon (Park Shin-hye) sedang merawat ibunya yang sakit, Eun-ae (Kim Sung-ryung), ia pulang kampung halamannya dan memutuskan untuk kembali ke rumah keluarganya yang sudah lama tidak dihuni. Celakanya saat dalam perjalanan Seo-yeon kehilangan handphone-nya dan mencoba melacak posisi handphone tersebut, salah satunya adalah mencoba menggunakan telepon tua yang sudah menjadi bagian penting dari rumah mereka tersebut. Tapi yang Seo-yeon peroleh justru panggilan telepon dari seorang wanita yang menyebut bahwa dirinya sedang disiksa oleh Ibunya.

Nama wanita itu Oh Young-sook (Jeon Jong-seo) dan dirinya dianggap oleh sang Ibu, Ja-ok (Lee El), sedang berada pengaruh setan jahat. Tidak heran jika Ja-ok bertindak ekstrim ketika Young-sook mulai bersikap agresif, situasi yang selalu disampaikan oleh Young-sook tiap kali ia menelepon Seo-yeon. Awalnya Seo-yeon merasa bahwa itu hanya salah sambung sesaat terlebih karena Young-sook selalu menyebut nama Sun-hee, tapi kemudian ia tidak bisa lepas dari wanita psycho tersebut yang menawarkan bantuan pada Seo-yeon untuk menyelamatkan sang Ayah. Seo-yeon hidup di tahun 2019, sedangkan Young-sook hidup di tahun 1999. Mereka terpisah dua dekade.

Sutradara Lee Chung-hyun benar-benar terampil dalam mengolah konsep tentang permainan dua dunia semacam ini, ia dengan cepat menciptakan dua dunia untuk masing-masing karakter dan setelah itu langsung melempar masuk para penonton untuk semakin dalam terperangkap bersama karakter. Tidak hanya Seo-yeon karena Young-sook juga punya vibe serupa, walau di cukup banyak momen mengambil alih dominasi layar namun tidak membuatnya lepas dari kondisi tersebut. Hal ini yang kemudian membuat narasi yang bergerak lincah itu terasa menyenangkan diikuti, ada dua buah dunia yang sama menariknya, masing-masing dari mereka berisikan karakter yang mencoba “lepas” dari perangkap. Celakanya ada koneksi di sana.


Hal terakhir tadi yang membuat cerita berkembang menjadi sesuatu yang semakin rumit namun mengasyikkan dan kesuksesan utamanya terletak pada jembatan yang dibangun oleh Lee Chung-hyun untuk menghubungkan dua dunia tadi. Di sini saya akan menggunakan istilah dua dunia untuk menyebut tahun 2019 dan tahun 1999 di mana masing-masing karakter hidup. Lee Chung-hyun tidak menggunakan pola di mana karakter melakukan berbagai lompatan waktu untuk menyelesaikan masalah, yang ia gunakan justru prinsip superposition di mana tiap aksi terbaru akan secara otomatis “menimpa” aksi yang telah terjadi sebelumnya. Tentu ada tweak manis di sana, yakni karakter tidak dapat memutar kembali waktu.

Alhasil terciptalah kondisi genting dalam jumlah yang sangat besar, dan mereka dikemas dengan thrill yang mumpuni. Otomatis dengan kondisi seperti di atas tadi maka nasib karakter di present day berada dalam ancaman jika karakter di masa lalu mencoba melakukan modifikasi pada apa yang seharusnya terjadi. Saya rasa itu pula alasan terciptanya satu karakter korban di mana Lee Chung-hyun ingin ada satu sisi yang dipaksa terus berpacu dengan waktu, bergerak lincah dan menghindari tepian tebing curam yang berbahaya sembari terus mengunci simpati para penontonnya. Di sisi lain karakter yang menyandang status troublemaker, juga bergerak lincah tapi untuk terus menebar ancaman dan aksi berbahaya yang mampu membuatmu ikut menahan nafas di tiap momen genting.


Karena menegangkan memang dan jujur saja saya terkejut dengan kualitas thrill yang sukses dibentuk oleh Lee Chung-hyun di sini. Konsep dua dunia semacam ini bukan lagi sesuatu yang baru di industri entertainment Korea, saya pernah menonton karakter yang keluar dari komik dan manusia yang justru masuk ke dalam komik, tapi Lee Chung-hyun berhasil membentuk fantasi unik dan aneh semacam itu jadi terasa segar kembali. Kuncinya tidak hanya terletak pada sikap berani yang ia tunjukkan di dalam script saja namun kemampuannya menghadirkan itu secara rapi pula, terutama pada cara ia merangkai hubungan sebab dan akibat yang penting bagi koneksi antar dua dunia tadi. Lee Chung-hyun menaruh cukup banyak taruhan di sana sembari terus mendorong karakternya saling beradu.

Seo-yeon dan Young-sook memang terpisah jarak namun ada gesekan yang kuat dan menarik terjadi di antara mereka. Saling membantu mungkin merupakan akar utama terciptanya berbagai masalah tapi tentu kondisi kejiwaan dari dua karakter punya kontribusi yang tidak kalah besar. Ada sedikit isu dan pesan kecil tentang parenting di dalam cerita tapi tidak punya porsi banyak, runtime digunakan untuk memacu adrenalin penonton pada permainan puzzle menggunakan alternate timelines. Saya hanyut dalam permainan ini karena sejak pondasi masalah dibentuk menarik yang hadir selanjutnya adalah menyaksikan salah satu karakter mencari jalan keluar dari sebuah labirin yang dapat mengancam nyawanya. Dan orang-orang yang ia sayangi.


Hal terakhir tadi mungkin akan menimbulkan perdebatan, ada sebuah kejutan besar yang meninggalkan pertanyaan yang tidak kalah besar pula. Tapi itu buah hasil dari kecerdikan Lee Chung-hyun dalam mempermainkan alur timeline, sangat sederhana sebenarnya jawabannya tapi ada kesan licik yang sangat kuat di sana dan membuat hasil akhir jadi terasa semakin berkesan. Lee Chung-hyun juga patut berterima kasih ada jajaran aktor yang ia punya, Kim Sung-ryung serta Lee El tampil understated dan Park Shin-hye kembali membuktikan ia jagoan dalam menarik dan mempermainkan rasa simpati penontonnya. Bintang utamanya adalah Jeon Jong-seo, membuktikan bahwa aktingnya di ‘Burning’ bukan sekedar kebetulan belaka, dari awal sampai akhir ia mengunci atensi saya dengan menjadi seorang wanita psycho yang aneh dan menyeramkan secara subtle. One of the most astounding acting performance this year.

Overall, ‘The Call (Kol)’ adalah film yang memuaskan. Sebuah debut penyutradaraan film layar lebar yang memikat dari Sutradara Lee Chung-hyun, ia sukses membentuk kembali ide dan konsep alternate timelines yang sudah sering digunakan di Korea terutama pada serial televisi, seolah menolak bermain aman dan menyuntikkan ide liar dan nakal yang ia punya dalam presentasi yang tidak takut untuk tampil keji tapi tetap bermain rapi. Ada kesan menyeramkan yang kuat di cerita dan dibantu dengan kinerja akting yang memikat terutama dari Jeon Jong-seo, penonton terus dibawa berjalan dalam narasi yang mendebarkan.







1 comment :

  1. “This is going to be hard to believe, but I think we're in the same house right now.”

    ReplyDelete