02 November 2020

Movie Review: 1BR (2020)

“I wish we could help them all. Someday.”

Awalnya saya memilih film ini di antara berbagai film horror lainnya untuk mengisi malam halloween yang lalu semata-mata karena merasa tertarik dengan judulnya yang merupakan singkatan dari “one bedroom”. Menggunakan sebuah kamar tidur untuk membawa penontonnya ke dalam petualangan penuh thrill menakutkan? Terdengar seperti sebuah formula yang klasik dan klise untuk sebuah film horror. Tapi lagi dan lagi hal tersebut bukan sebuah masalah jika dikemas dengan cara yang menarik. ‘1BR’ : a controlled horror thriller.


Sarah (Nicole Brydon Bloom) merupakan seorang wanita muda yang tampak pemalu, ia memutuskan untuk memulai hidup baru di Los Angeles dan mencari apartement sebagai tempat tinggal. Seperti sudah jodoh, wanita yang tampak seperti memiliki masalah dengan sang Ayah itu menemukan sebuah open house di apartement Asilo del Mar, dan seperti open house pada umumnya pengunjung bebas untuk mengitari setiap sudut ruang di tempat yang mungkin akan mereka huni tersebut. Lingkungan di sekitar apartement itu sendiri tampak menyenangkan terutama pada interaksi yang terjadi di antara setiap penghuni.

Dari pria bernama Brian (Giles Matthey) yang ia temui tepat di pintu masuk, hingga Jerry (Taylor Nichols) yang merupakan manager apartement tersebut, semua orang tampak menyambut Sarah dengan hangat. Tidak hanya Sarah yang senang dengan situasi tersebut, para penghuni apartement juga demikian sehingga tidak heran dari sekian banyak kandidat Sarah dipilih untuk menghuni satu buah kamar apartement yang sedang kosong. Tapi ternyata dibalik atmosfir yang sangat positif dan penuh dengan sikap kekeluargaan itu, Asilo del Mar menyimpan sebuah rahasia kelam yang membawa Sarah masuk ke dalam bencana.

Di tangan David Marmor ‘1BR’ berhasil menaruh berbagai “familiarity” dari sebuah film horror yang ia punya untuk berada di samping dan tidak menjadi sorotan utama bagi para penonton. Dari segi materi sendiri sebagai penulis cerita David Marmor memang mencoba untuk menyentuh beberapa isu tentang komunitas dan mungkin yang sedikit lebih kompleks, bagaimana menjadi manusia yang baik bagi lingkungan sekitar kita. Tapi hal tersebut bukan merupakan spotlight yang ingin ia tekankan di sini, fokusnya justru mengarah pada bagaimana isu-isu tadi menjadi sebuah jalan bagi perjuangan karakter utama untuk dapat kembali meraih kebebasan.


Awalnya ini berjalan normal seperti mencoba untuk menaruh bahwa tidak ada kesan misterius sedikitpun yang tersimpan di dalam Asilo del Mar, vibe positif langsung eksis di sana tapi di sisi lain juga mengundang tanda tanya. Hingga sebuah kejutan itu kemudian hadir dalam gerak yang sangat cepat dan padat. Ya, padat, sama seperti cara David Marmor membentuk tiap komponen di dalam ‘1BR’, sebuah strategi yang yang sangat efektif untuk menutup kesan biasa pada cerita. Sebenarnya cerita terasa biasa saja tapi screenplay mampu membuat cerita tersebut berjalan dengan menarik, pintar dalam menempatkan berbagai kejutan dengan punch oke meski terasa kurang seimbang. 

Salah satu hal mengejutkan dari ‘1BR’ adalah kandungan unsur drama yang tampak mencoba berbicara tentang isu menjadi manusia yang lebih baik. Ada empat point yang dipegang teguh oleh para penghuni apartement, yakni sikap selflessness, spenness, acceptance, and security, dan seperti semacam hipnotis karakter Sarah kemudian jatuh ke dalam “permainan” itu. Di sini letak ketidakseimbangan tersebut, David Marmor melepas agar Sarah hanyut di dalam kesesatan untuk menyediakan arena baginya mendorong empat point tadi, sayangnya tidak dieksekusi secara tajam dengan punch yang seadanya. Akhirnya mereka hanya sebatas menjadi ide-ide yang menarik saja, sedikit kurang konsisten kualitasnya. Tapi saya rasa itu bagian dari strategi David Marmor.


David Marmor tidak menggali terlalu dalam isu-isu tadi menciptakan ruang yang lega bagi elemen horror bekerja “meneror” penontonnya. Sarah sendiri adalah karakter dengan pesona yang menarik, ia menyimpan kesan misterius yang tampak rapuh tapi juga berpadu dengan kesan tangguh. Tidak heran ketika Marmor masukkan ia ke dalam masalah yang datang silih berganti penonton seperti terbawa arus dengan kondisinya yang seolah bergerak semakin dekat ke dalam jurang kehancuran. Ada greget yang terus berkembang menjadi semakin menarik, menyaksikan kehidupan Sarah jatuh ke dalam sebuah upaya bertahan hidup penuh ketidakpastian di mana moralitas mulai dipermainkan.

Ada kesan “menggantung” yang dominan di dalam narasi, seolah menunggu kejutan untuk hadir, tapi menariknya tidak ada kesan monoton dan membosankan di sana. Ini kejutan, narasi berhasil dikontrol dengan baik oleh David Marmor yang melepas berbagai terror tersebut untuk tampil dan mengambil atensi penontonnya. Ia beri banyak waktu di sana, semacam mencoba mengkonfrontasi dengan hal-hal “ganjil” yang bekerja dengan efektif tidak hanya sekedar memperpanjang nafas cerita saja tapi juga membuat penonton terus berputar-putar bersama tanda tanya. Ke mana ini akan berjalan? Uniknya tidak ada rasa bosan ketika menunggu karena fokus cerita sendiri terhitung oke.


Dan titik tertinggi film ini tentu ada di momen ketika kejutan itu tiba, dieksekusi dengan efektif oleh David Marmor baik itu dari sisi konklusi atas misteri serta jadi semacam titik puncak bagi perjalanan yang cukup menegangkan dan dipenuhi terror yang silih berganti sejak awal. Kejutannya sendiri terasa segmented tapi saya rasa berhasil mencapai sasaran terutama jika menilik misi yang dibawa, yaitu menjadi sebuah penggambaran dari sisi kejam serta bahaya yang eksis di kehidupan sosial saat ini. Apakah ‘1BR’ sebuah alarm yang kuat untuk isu tersebut? Tidak, tapi efektif mengingat itu hadir dengan perpaduan horror yang menarik dengan kendali utama pada sosok Sarah, yang diperankan pula secara oke oleh Nicole Brydon Bloom. You root for her.

Overall, ‘1BR’ adalah film yang cukup memuaskan. Mencampur drama berisikan isu tentang menjadi manusia yang lebih baik lagi bersama dengan elemen horror tentu bukan sebuah tugas yang mudah, dan David Marmor sadar akan hal itu. Ia memilih salah satu dari mereka, menempatkan drama sebagai pendamping dengan isu yang ditata dengan baik lalu menempatkan horror penuh kejutan sebagai pemeran utama. Dan semua dibungkus dengan pengarahan yang padat penuh emosi dan darah yang saling bahu satu dengan yang lain. Hasilnya adalah, a controlled horror thriller di debut penyutradaraan layar lebar bagi David Marmor. Segmented.






1 comment :