28 May 2020

Movie Review: Curiosa (2019)


“I want to be photographed in immoral positions.”

Apakah kini perselingkuhan masih menjadi sesuatu yang sangat taboo? Sejak eksis perselingkuhan memang seolah sudah menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dalam sebuah hubungan percintaan, ia hadir ketika salah satu dari pria maupun wanita, atau bahkan mungkin keduanya, mulai merasakan munculnya hasrat nafsu untuk “merasakan” keindahan dan kenikmatan cinta dari orang lain yang bukan merupakan pasangan mereka. Semakin modern dunia semakin marak pula “penyakit” tersebut, dan dengan cara dan tampilan klasik film ini menggunakan itu sebagai dasar bercerita. ‘Curiosa’ : an erotic ode about why love is gratification of the senses.

Wanita muda bernama Marie de Heredia (Noémie Merlant) memiliki semacam ketertarikan birahi dengan Pierre Louÿs (Niels Schneider), ada hasrat nafsu yang akan bergelora setiap kali dirinya berada di dekat pria yang tampak seperti seseorang dengan jiwa yang bebas. Tidak heran memang, Pierre yang menyukai fotografi itu memang gemar berpertualang namun ia juga merupakan erotomaniac yang di sisi lain membuat dirinya tampak memiliki pesona pria dengan percaya diri tinggi. Tidak heran mudah bagi Pierre untuk mendapatkan wanita, salah satunya adalah Marie.

Namun sayang kisah cinta mereka tersebut bertemu dengan sebuah rintangan besar. Karena tuntutan keluarga maka Marie kini menjalin hubungan asmara dengan pria kaya yang merupakan seorang penyair bernama Henri de Régnier (Benjamin Lavernhe), sedangkan Pierre dengan jiwa bebasnya terus mengeksplorasi kegemarannya di bidang fotografi erotis, ia bahkan telah memiliki seorang gundik bernama Zohra Ben Brahim (Camélia Jordana). Namun suatu ketika masalah hadir kembali di kisah cinta itu, Marie menginginkan foto dalam keadaan telanjang yang harus difoto oleh Pierre.
Sulit untuk memungkiri bahwa dari sinopsis di atas yang kemudian ditambah dengan poster yang ia gunakan maka ekspektasi yang tercipta di dalam pikiran penonton adalah ini merupakan sebuah film erotis. Faktanya memang seperti itu, ‘Curiosa’ hadir dengan dipenuhi berbagai adegan nude yang “frontal” dalam menampilkan eksplorasi terhadap seni nude photography. Namun menariknya adalah Sutradara Lou Jeunet terhitung cukup berhasil menampilkan sisi lain yang sudah ia ciptakan bersama Raphaëlle Desplechin di sektor cerita, semacam eksplorasi lainnya terhadap keindahan yang dimiliki dari sebuah rasa cinta itu sendiri.

Setting cerita ada di abad ke-19 lengkap dengan berbagai kesan elegan dan bangsawannya itu, lalu kemudian muncul sebuah kisah perselingkuhan yang uniknya juga cukup mampu untuk tampil sama elegannya pula. Tidak berada di kelas atas memang namun berbagai isu yang coba disajikan oleh Lou Jeunet berhasil mencapai target dengan cukup baik di sini. Isu utamanya sendiri yaitu perselingkuhan hadir dengan eksplorasi yang lebih mencoba menempatkan gejolak batin serta emosi yang terjadi di antara karakter, rasa bimbang yang mereka rasakan atas perasaan nikmat tersebut dan lantas memaksa mereka bergerak ke posisi harus mengambil keputusan.
Kualitas emosi dari cerita sendiri cukup oke, Lou Jeunet lebih menggunakan pendekatan yang cenderung subtle dan implisit di sini, dari tatapan mata hingga ekspresi tubuh penonton terus dibawa hanyut dalam gelora cinta di antara dua karakter utama. Ada grafik perkembangan positif yang kumulatif di sana, secara perlahan terus bergerak dengan baik untuk mencapai titik akhir yang juga terasa cukup oke. Lou Jeunet sendiri terbantu target awal yang tampaknya tidak terlalu besar sehingga cerita tidak terasa terbebani untuk “mengeksplotasi” secara mendalam keingintahuan tentang cinta di antara para karakter, lebih ke arah menunjukkan secara tepat guna.

Hal tersebut tadi membuat ‘Curiosa’ punya potensi untuk memecah penonton karena kisah yang juga mencoba bercerita tentang emansipasi ini memang bermain-main di antara serius dan santai secara bergantian. Tapi untungnya sebagai karakter utama Marie adalah sosok wanita yang menarik, ia terperangkap dalam keingintahuan dan fantasi sensualnya yang oke tapi di sisi lain ia juga punya semacam semangat kebebasan yang perlahan tumbuh. Itu adalah charm terbesar Marie, ia menggunakan nude photography itu sebagai jalan untuk mencoba mencari jawaban dan menggebrak rasa takut yang selama ini ia rasakan, sebuah pemberontakan untuk mencari kebebasan serta menemukan jati diri.
‘Curiosa’ juga merupakan sebuah ode bagi sisi gila yang dimiliki oleh cinta itu sendiri, sebuah rasa hasil kepuasan indera yang dapat dihinggapi oleh rasa keterasingan serta berbagai manipulasi. Lou Jeunet memberikan sedikit nada dramatic untuk menunjang hal-hal tersebut, berawal dari energi dan juga fantasi di mana kemudian bertemu dengan kenaifan yang dihasilkan oleh rasa cinta hingga akhirnya berhadapan dengan kesesatan yang terasa manipulatif. Lagi dan lagi hal-hal seperti konsep cinta dan sentiment di dalam cinta itu tampil subtle dan tidak frontal, berbanding terbalik dengan berbagai visualisasi nafsu dan emosi dalam bentuk nudity dan adegan seks yang “panas” itu.

Kamera berhasil menangkap ekspresi wajah dan tubuh karakter untuk menjadi sebuah penggambaran semangat dan jiwa muda yang mereka punya, dan uniknya meskipun eksplisit namun tidak ada dari mereka yang terasa cheap. Justru mereka terasa artsy, sama seperti bagaimana para pemeran menampilkan emosi dari karakter yang mereka perankan. Benjamin Lavernhe berhasil menjalankan tugasnya sebagai cuckold yang berjiwa besar, sedangkan Niels Schneider membuat Pierre punya pesona necis yang menarik. Bintang utamanya adalah Noémie Merlant, di tangannya Marie konstan menjadi semacam api liar yang perlahan tumbuh besar dan jelas dalam pertarungan dengan nafsu dan keingintahuan di dalam dirinya itu.
Overall, ‘Curiosa’ adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah kejutan yang menarik, memang pada akhirnya tidak berada di kelas atas namun sama seperti judulnya ‘Curiosa’ berhasil menjadi sebuah penggambaran yang oke terhadap keingintahuan yang dihasilkan oleh rasa cinta, memiliki berbagai isu menarik bahkan terkait emansipasi semua dihadirkan oleh Lou Jeunet layaknya sebuah puisi yang sensual dan erotis. Not bad. Segmented.












1 comment :