11 April 2020

Movie Review: Escape from Pretoria (2020)


"But we don't plan on staying that long."

Pada tahun 1994 sebuah peristiwa bersejarah terjadi di negara Afrika Selatan, mereka melaksanakan pemilihan umum pertama di mana semua masyarakat dari semua golongan ras dapat memberikan suara. Juga menjadi penanda berakhirnya sistem apartheid dengan supremasi kulit putih yang telah menjadi sumber penghinaan dan diskriminasi rasial, kala itu terpilih Nelson Mandela sebagai Presiden pertama. Namun perjuangan anti-apartheid sebenarnya bukan hanya seorang Mandela saja. ‘Escape From Pretoria’ : a prison film with a nice thrill.

Tim Jenkin (Daniel Radcliffe) dan Stephen Lee (Daniel Webber) merupakan dua pria berkulit putih yang sedang berada di dalam perjuangan untuk melawan rezim apartheid yang terus meningkat di Afrika Selatan. Mereka menyusun rencana untuk membuat sebuah aksi provokasi dengan menyebarkan selebaran yang bertujuan untuk memberitahu dan mengajak masyarakat ikut ambil bagian di dalam perjuangan tersebut. Celakanya aksi mereka tersebut justru berhasil diciduk oleh pemerintahan. Hasilnya, Tim dan Stephen kemudian dijatuhi hukuman penjara dan harus mendekam di Pretoria Central Prison.

Delapan tahun penjara untuk Stephen dan dua belas tahun untuk Tim, mereka harus menjalani hidup di dalam sel yang telah terkenal dikelilingi penjagaan super ketat. Tapi ternyata mereka telah menyusun rencana untuk segera keluar dari penjara tersebut, ide yang juga dimiliki oleh tahanan bernama Leonard Fontaine (Mark Leonard Winter). Dengan dibantu oleh tahanan bernama Denis Goldberg (Ian Hart) mereka kemudian secara bertahap mempersiapkan sistem dan juga peralatan untuk keluar dari Pretoria Central Prison.
Mengambil dasar cerita dari buku berjudul ‘Inside Out: Escape from Pretoria Prison’ karya Tim Jenkin yang kemudian dibentuk menjadi script oleh L.H. Adams dan juga sutradara Francis Annan, ‘Escape from Pretoria’ dapat dikategorikan sebuah paket yang lengkap untuk sebuah film yang mengusung rencana melarikan diri sebagai fokus utama cerita. Sebagai sebuah prison film dari segi karakter ‘Escape from Pretoria’ punya karakter utama yang berada dalam kondisi tersiksa, kita juga bertemu dengan penjaga penjara yang sadis dan gemar melecehkan para penghuni penjara. Ada siksaan yang terasa kuat di sana dan semakin menarik karena setup dari kesan “menakutkan” yang dimiliki Pretoria Central Prison juga terasa oke.

Yang menarik dari setting tersebut adalah di mana Francis Annan tidak mencoba menunjukkan Pretoria Central Prison dalam gambaran besar, kita bahkan hanya melihat sisi luarnya lewat berbagai momen sederhana contohnya ketika para tahanan sedang beristirahat. Namun image sulit untuk “ditembus” diciptakan dengan baik pada Pretoria Central Prison. Hal tersebut memberikan dampak cukup besar pada perjuangan yang sedang dilakukan oleh para karakter, aksi menyusun dan lalu kemudian secara bertahap mencoba mengeksekusi berbagai rencana itu menghasilkan thrill yang terasa oke karena situasi do or die yang diciptakan oleh penjara tersebut.
Namun hal terbaik dari film ini bukan terletak pada setting yang sukses menjadi template yang oke tadi. Hal spesial dari ‘Escape from Pretoria’ adalah bagaimana cara Francis Annan membentuk proses melarikan diri itu sehingga memiliki detail dan atmosfir yang terasa otentik serta mencengkeram. Penonton seolah ditempatkan menjadi sosok lain di samping karakter, khususnya Tim, menyaksikan mereka dengan sabar mencari solusi disertai berbagai trial and error dengan thrill yang terasa menyenangkan. Metode yang digunakan oleh Tim dan para penghuni lain dapat dikatakan termasuk gila, tidak heran aksi mereka itu terasa nekad dan terasa kurang meyakinkan. Pada awalnya.

Ya, pada awalnya, karena secara perlahan metode yang unik dan aneh itu justru seolah menjadi jendela yang membawa udara yang lebih segar bagi karakter utama. Tensi cerita ditata dengan baik oleh Francis Annan, dari memanfaatkan sound seperti bunyi langkah kaki, cameraworks dari Geoffrey Hall yang sukses menangkap berbagai kepanikan secara intens, hingga editing yang oke dari Nick Fenton. Excitement cerita yang dibangun perlahan itu terasa jelas atau gamblang dan itu yang berhasil mengunci penonton untuk merasa terikat bersama karakter. Hal tersebut juga berhasil menutup kekurangan yang dimiliki film ini, salah satunya adalah ketidakmampuannya dalam meninggalkan punch yang memikat pada alasan utama dibalik upaya melarikan diri tersebut.
Francis Annan seolah tidak mau bermain terlalu jauh dalam mengekplorasi isu politik dan human rights yang tersimpan di dalam cerita. ‘Escape from Pretoria’ dibentuk agar kehadirannya semata-mata ingin menunjukkan salah satu perjuangan yang dulu pernah terjadi di dalam upaya perlawanan terhadap sistem apartheid. Hasilnya motif dari dua isu tadi terasa samar, cukup disayangkan karena dengan sedikit bumbu pada isu tersebut mungkin dapat menciptakan punch yang lebih menarik pada sejarah di dalam cerita. Keterbatasan ruang untuk mengeksplorasi juga membuat di beberapa bagian dialog terasa lemah, minus yang dapat dirasakan dengan mudah oleh penonton walaupun mereka terus dihadapkan dengan berbagai sequences yang menegangkan.

Thrill oke yang dimiliki ‘Escape from Pretoria’ selain hasil dari arahan Francis Annan juga merupakan buah hasil dari kemampuan para pemeran dalam membuat masing-masing karakter mereka seolah sedang berada di dalam neraka. Sebagai bintang utama Daniel Radcliffe tampil baik, berhasil membuat Tim menjadi otak perencana yang menarik untuk diikuti. Daniel Webber ternyata punya porsi yang lebih sedikit ketimbang Daniel sehingga tidak heran peran dari karakter Stephen Lee terasa biasa saja, ia bahkan kalah dari Leonard Fontaine yang diperankan dengan baik oleh Mark Leonard Winter. Leonard merupakan karakter dengan banyak warna, punya ikatan emosi yang menarik dengan sang anak namun juga tampil eksentrik yang kerap menjadi sumber humor.
Overall, ‘Escape from Pretoria’ adalah film yang cukup memuaskan. Bertumpu pada narasi di tangan Francis Annan cerita yang diangkat dari kisah nyata ini berhasil menggunakan formula prison film untuk menyajikan sebuah thriller yang dipenuhi dengan berbagai upaya melarikan diri yang simple dan intens. Punya beberapa minus kecil namun berkat tensi yang konsisten terasa intens ‘Escape from Pretoria’ berhasil membawa penonton untuk terus merasakan kegelisahan yang terasa menegangkan bersama karakter, seolah ikut merasa terjebak di dalam penjara bersama karakter. Well, itu pencapaian yang tidak mudah untuk dilakukan. Well done.









1 comment :