16 March 2020

Movie Review: Mariposa (2020)


“Cinta itu sederhana, yang rumit itu kamu.”

Ya, memang benar bahwa terkadang cinta itu sederhana, tidak serumit yang kita pikirkan. Yang membuat cinta terasa rumit terkadang justru adalah dua insan yang beradu asmara tersebut, bertemu berbagai benturan dan rintangan untuk menyatukan dua pikiran, dua ego, hingga dua hati sehingga dapat melebur membentuk sebuah tim yang disebut kekasih. Hal tersebut yang coba diceritakan oleh film ini. 'Mariposa': cerita cinta yang tepat sasaran.

Nama lengkapnya adalah Natasha Kay Loovy (Adhisty Zara), beberapa minggu lagi akan berulang tahun ke-17 remaja yang biasa dipanggil Acha itu baru pindah ke sekolah barunya belum sampai satu bulan. Namun waktu yang singkat itu ternyata sudah cukup bagi Acha untuk merasa yakin dengan perasaan suka yang ia punya terhadap seorang anak laki-laki bernama Iqbal (Angga Aldi Yunanda). Nama lengkapnya Iqbal Guanna, seorang anak berwajah tampan yang dikenal pintar dan memiliki ketertarikan yang sangat tinggi di bidang sains, sang ayah (Ariyo Wahab) bahkan mencanangkan Iqbal untuk melanjutkan studi di Bristol, UK.

Tekanan yang tinggi dari sang ayah membuat Iqbal selalu mencoba mengisi waktunya dengan belajar, lalu belajar, dan kemudian belajar. Ia pada akhirnya dikenal sebagai anak laki-laki yang tidak punya hati, dan korbannya adalah Acha. Sikap Acha yang dengan berani menunjukkan ketertarikan kepadanya justru ditanggapi dingin oleh Iqbal, hal yang bahkan membuat sahabat Acha, Amanda (Dannia Salsabilla) merasa cemas Acha akan terluka. Namun tekad yang ditunjukkan Acha sangat besar, ia terus berusaha untuk meraih hati Iqbal karena Acha yakin bahwa batu sekalipun pasti akan pecah ketika terus menerus ditetesi dengan air. 
Diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Hidayatul Fajriyah (Luluk HF), film yang menjadi kerjasama dari rumah produksi Falcon Pictures dan Kharisma Starvision Plus ini mencoba bercerita kisah tentang cinta di awal tadi di dalam dunia para remaja yang sedang beranjak dewasa. Novelnya sendiri sangat laris manis dan bahkan menjadi salah satu favorit di Wattpad, dan di film ini sedari bagian pembuka penonton telah dapat merasakan alasan mengapa kisah tentang perjuangan seorang remaja wanita mengejar pria idamannya itu berhasil menarik banyak perhatian. Skenario yang ditulis oleh Alim Sudio langsung “menyelupkan” karakter Acha masuk ke dalam fantasinya dan bagian pembuka itu dikemas dengan baik oleh sutradara Fajar Bustomi (Dilan 1990, Dilan 1991, Milea: Suara dari Dilan).

Mungkin tidak sedikit yang akan menilai tindakan dari Acha sebagai sesuatu yang aneh tapi hal yang terasa kurang lazim itu justru menciptakan permainan sudut pandang di dalam percintaan yang menarik. Wanita mengejar pria, sedari awal ketika meminta nomor telepon Iqbal karakter Acha terus digeber untuk meraih atensi dari Iqbal, dengan harapan suatu saat yang Acha peroleh adalah cinta dari sang pujaan hati. Fajar Bustomi mengemas hal-hal penuh materi cringe ciri khas dunia remaja yang menarik yang ditulis Alim Sudio dengan sangat baik di sini, mudah untuk merasakan cinta di dalam cerita dan menariknya mudah pula untuk dengan cepat jatuh cinta pada karakter di dalam cerita, terutama Acha.

Karakter Acha memiliki perawakan yang riskan, ia dapat jatuh menjadi sosok yang terasa menjengkelkan jika tidak dibentuk dengan baik. Di tangan Fajar Bustomi karakter Acha menjadi semacam “mesin” yang terus berderu kencang tapi tidak berisik, pesona dari situasi tergila-gila karena cinta yang ia alami terasa manis sedangkan tekad yang ia punya berhasil menjadi something to cherish. Ada energi yang menarik di sana, bagaimana ia terus “mengejar” Iqbal dengan menggunakan berbagai cara, dari yang berada di bawah kontrolnya hingga ketika ia dikontrol oleh sahabatnya Amanda. Alurnya menarik terutama dengan penempatan lomba olimpiade sebagai salah satu penunjang di dalam cerita sehingga ‘Mariposa’ memiliki banyak arena di mana dua karakter dapat terus berinteraksi langsung.

Serta menghadirkan berbagai masalah untuk membawa konflik utama bergerak maju. Hal tersebut diekploitasi dengan baik oleh Fajar Bustomi terutama pada proses di mana Iqbal juga turut bertarung dengan dua pilihan yang ia hadapi, menuruti ambisi sang ayah atau justru membuka pintu hatinya bagi Acha. Fokus di karakter serta cerita terbagi secara seimbang sehingga dapat dikatakan tidak ada momen di film ini yang terasa hambar ataupun datar, bahkan di momen ketika Acha bercengkerama dengan Ibunya serta satu adegan di bagian akhir yang terasa sedikit canggung itu. Perjuangan Acha diekplorasi dengan baik, terus bergerak maju seolah tanpa mau menginjak rem kegigihan yang ia tunjukkan terasa charming. Uniknya adalah rasa "kasihan" pada Acha tidak ada sama sekali, karena kita tahu bahwa masalah yang sebenarnya ada pada Iqbal.
Fajar Bustomi menata dengan baik bagian tersebut. Dibalik hal-hal lucu dan cringe tadi ide yang coba dihadirkan oleh ‘Mariposa’ sesunguhnya sudah menyentuh ranah yang lebih dewasa. Acha dan Iqbal sendiri merupakan perwujudan dari apa arti mencintai dan dicintai, secara sederhana, sedangkan jika kita menelisik ke dalam keluarga mereka masing-masing juga tersimpan isu tentang cara mendidik anak yang hadir lewat sebuah perbandingan. Fajar Bustomi dan Alim Sudio seperti sepakat untuk tidak menghadirkan mereka lewat penggalian materi yang terlalu dalam dan terlalu rumit, bermetamorfosis layaknya kupu-kupu cerita terus berjalan mulus dengan menggunakan setting awal yaitu dunia para remaja yang sedang beranjak dewasa, namun secara implisit berbagai isu yang dibawa sukses menyentil penontonnya.

Bahkan bukan tidak mungkin berhasil menghujam penontonnya. Itu adalah sebuah pencapaian yang menyebabkan mengapa ‘Mariposa’ terasa impresif dan berkesan, membuat film yang tampak normal namun mengandung isi atau materi dengan berbagai isu yang terasa deep dan impactful. Sama seperti cinta itu sendiri, dari karakter dan cerita dibentuk dengan sederhana, yang rumit mungkin ada pada elemen design yang oke itu serta pemilihan color palette yang lucu dan manis. Kualitas dari cinematography juga terasa mumpuni di sini sedangkan cerita yang geraknya terasa halus itu juga tidak lepas dari kualitas editing yang terasa oke.
Dan semua itu dilengkapi dengan kinerja akting yang mumpuni. Pemeran karakter dewasa seperti Ersa Mayori, Iszur Muchtar, dan Ariyo Wahab berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik, mereka terbantu oleh script yang memberikan kapasitas yang tepat bagi masing-masing karakter. Syakir Daulay sebagai Juna serta Junior Roberts sebagai Glen juga menjalan tugas mereka dengan baik, sedangkan Abun Sungkar dan Dannia Salsabilla membuat karakter mereka sebagai second lead couple yang lucu. Sedangkan bintang utama kita, Angga Aldi Yunanda dan Adhisty Zara seperti mentransfer pesona dan chemistry mereka di ‘Dua Garis Biru’ ke ‘Mariposa’, dari akting lucu hingga ketika berurusan dengan emosi, mereka berdua menjalankan tugas dengan baik.
Overall, ‘Mariposa’ adalah film yang memuaskan. ‘Mariposa’ merupakan sebuah perayaan terhadap perjuangan cinta, sukses menggambarkan bagaimana cinta memang harus diperjuangkan dan siap menerima semua resiko yang dihasilkan dari perjuangan tersebut. Dikemas dengan youthful energy yang cantik serta tidak berlebihan, ini adalah sebuah sajian yang sukses menghibur dengan tanpa malu untuk menjadi remaja, menghantarkan isu dewasa kepada penonton seperti makna dari mencintai dan dicintai namun dengan dipenuhi berbagai hal-hal lucu ciri khas masa-masa indah di sekolah menengah atas. Sangat tepat sasaran.













1 comment :

  1. "Susah ternyata kalau suka duluan sama orang, selain sabar juga harus siap sakit hati." :)

    ReplyDelete