24 January 2017

Movie Review: It's Only the End of the World [2016]


Selalu terdapat rasa tertarik yang besar pada setiap karya terbaru dari Xavier Dolan, filmmaker berusia 27 tahun yang telah sukses mencuri perhatian lewat karya-karyanya yang mampu menyajikan isu klasik ke dalam bentuk sebuah penggambaran yang “interesting”. Berhasil mencuri perhatian khalayak luas lewat ‘Mommy’ kini Dolan kembali lewat sebuah “drama” yang klasik namun terasa eclectic, It's Only the End of the World (Juste la fin du monde), perwakilan dari negara Kanada di kategori Best Foreign Language Film ada ajang Oscars. It’s an emotional dizziness.

Louis (Gaspard Ulliel) merupakan seorang penulis yang sedang sakit, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman yang terakhir ia kunjungi 12 tahun yang lalu. Di sana Louis kemudian bertemu dengan sang ibu Martine (Nathalie Baye), adiknya Suzanne (Léa Seydoux), kakaknya Antoine (Vincent Cassel) serta kakak iparnya Catherine (Marion Cotillard). Reuni tersebut celakanya dipenuhi dengan rasa curiga dan ketegangan sementara di sisi lain keluarga Louis tidak tahu bahwa maksud dari kepulangannya tersebut adalah untuk “mengucapkan” salam perpisahan.  


Di karya terbarunya ini Xavier Dolan kembali membuktikan bahwa dia seorang filmmaker muda yang sangat potensial berkat keahliannya meracik berbagai isu klasik menjadi sebuah “pertunjukkan” yang menarik. Apa yang Dolan ingin tunjukkan di sini sama seperti ‘Mommy’ namun kini lewat sudut pandang yang berbeda. Di sini Dolan mencoba membuat agar kisah yang diadaptasi dari play berjudul Juste la fin du monde karya Jean-Luc Lagarce ini untuk menjadi another reflections tentang keluarga, mencoba menggabungkan rasa dramatic di dalam cerita dengan ditemani rasa "teatrikal". Terdapat banyak bickering di dalam cerita, sejak awal hingga akhir, tapi mereka terasa saling melengkapi satu sama lain sehingga semakin jauh kamu menyaksikan karakter-karakter menampilkan aksi melodrama mereka semakin dalam pula rasa berinvestasi yang kamu rasakan terhadap apa yang mereka hadapi dan rasakan. 


Itu hal termanis dari film ini, Dolan berhasil membuat masalah yang mungkin terkesan sepele itu menjadi something yang audiences can relate to. ‘It’s  Only the End of the World’ seperti menjadi potret sebuah broken family, Dolan mencoba menempatkan kamu sebagai anggota lain dari keluarga Louis lalu kemudian ikut merasakan berbagai gesekan problematika yang mereka hadapi. Secara experience ini banyak mengingatkan saya pada August: Osage County, sebuah kisah tentang “life” yang secara bertahap tumbuh menjadi semakin padat dan semakin kompleks, baik itu yang bersifat eksplisit maupun implisit. Dramatisasi terasa sentimental dengan ditemani sedikit bumbu romantic tapi yang membuat mereka terasa berkesan adalah dalam pergeseran yang terasa obsesif itu mereka menghasilkan sebuah panggung berisikan emosi yang terasa “memusingkan” namun adiktif. 


Kamu dapat merasakan di mana semakin lama It's Only the End of the World terasa semakin dark and cold, tone melancholy terasa semakin mencolok ketika Louis semakin mendekat kepada “ending” yang ada di pikirannya. Tidak mudah untuk membuat drama yang tampak tenang namun mencengkeram seperti ‘It's Only the End of the World’ ini dan itu Dolan capai lewat fragmentasi yang oke. Tidak hanya di bagian cerita saja tapi di sini Dolan kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam mengeksekusi bagian teknis dan juga mengarahkan para aktor yang dia punya. Close-up dan juga fixed shots menemani dialog yang semakin berkembang semakin besar, framing yang dia gunakan berhasil memperdalam feel bagi penonton untuk merasakan perspektif karakter. Dan ketika semua terasa semakin personal di sana kamu akan merasakan bagaimana unsur psikologis di dalam cerita terasa berirama, there’s silence namun juga ada suspense, mereka disandingkan bersama sensitivity yang terasa manis. 


Itu datang dengan ditemani pula oleh musik serta performa akting yang oke dari jajaran cast. Dolan kembali berhasil mengarahkan para aktor untuk menampilkan emosi yang dimiliki cerita. Gaspard Ulliel berhasil meyajikan berbagai emosi yang overflowing, sementara Vincent Cassel mencuri perhatian lewat eksekusinya pada bagian humor yang terasa oke, menjadi penyeimbang bagi anger di sisi lain. Lea Seydoux memberikan performa akting terbaiknya sejak Blue is the Warmest Color sebagai wanita yang mencoba menjalin koneksi dengan saudaranya, sebuah penampilan yang memorable, sedangkan Marion Cotillard menampilkan performance yang terasa subtle. Bintang di antara mereka semua adalah Nathalie Baye yang berhasil membuat Martine sebagai seorang ibu yang terasa “modest”. 


Ketika final shot yang cantik itu hadir penonton dapat merasakan bagaimana berbagai bickering yang mendominasi itu ternyata merupakan sebuah petualangan yang sangat berkesan. Not super great namun dengan tampil seperti sebuah opera yang lyrical Xavier Dolan kembali berhasil menciptakan sebuah drama yang terasa kasual namun dipenuhi dengan emosi yang compact and riveting. Script yang oke, bagian teknis yang manis terutama cinematography, performa yang oke dari cast, Dolan berhasil menyusun mereka semua dengan fluidity yang mumpuni untuk menyajikan sebuah drama keluarga yang simple namun explosive. It’s an emotional dizziness. Segmented. 












0 komentar :

Post a Comment