21 December 2016

Review: Collateral Beauty (2016)


"It turns out death is an elderly white woman."

Ketika Will Smith berperan sebagai tokoh utama yang mencoba menjual kesan “badass” hasil akhir film yang tercipta kerap terasa oke, dari Bad Boys, Independence Day, Men in Black, Hancock, I Am Legend, dan well, Suicide Squad. Tapi hasil yang sama tidak selalu muncul ketika dia mencoba bermain di ranah drama sebagai karakter utama yang tampil “serius” dan menuntut emosi, The Pursuit of Happyness dan Concussion terasa oke tapi apa yang Will Smith tampilkan di After Earth sudah cukup menjadi sample paling efektif. Di film terbarunya yang juga dipenuhi bintang ternama ini, Collateral Beauty, Will Smith kembali mencoba “get serious”, sebuah drama yang ketika berakhir dapat membuatmu berkata “are you flipping serious?

Howard (Will Smith) dan Whit (Edward Norton) merupakan advertising firm partners. Howard memiliki tiga konsep yang ia yakini merupakan bagian dari kehidupan setiap manusia, yaitu time, love, and death. Tiga tahun kemudian pria tersebut sedang sibuk membangun sebuah domino maze sedangkan Whit bersama dengan dua rekan bisnis, Claire (Kate Winslet) dan Simon (Michael Pena) sedang merencanakan usaha sabotase untuk “menjatuhkan” Howard yang berubah setelah kehilangan anaknya. Celakanya usaha dengan menggunakan private detective bernama Sally (Ann Dowd) tidak cukup sehingga hadir Brigitte (Helen Mirren), Raffi (Jacob Latimore), dan Aimee (Keira Knightley) sebagai "aktor".  


First of all yang perlu digarisbawahi di ‘Collateral Beauty’ ini adalah bahwa cerita yang ditulis oleh Allan Loeb itu memiliki karakter yang terasa menarik untuk diamati di bagian awal, tidak hanya Howard sang bintang utama tapi karakter pendukung lainnya yang melibatkan banyak nama beken, saya bahkan belum menyebutkan Naomie Harris yang berperan sebagai Madeleine. Semua karakter itu berhasil membentuk sebuah tim yang bertingkah childish, bahkan apa yang Howard lakukan dengan domino maze itu tidak sepenuhnya jadi ladang untuk dramatisasi. Cerita film ini seperti mencoba menggambarkan tiga konsep yang Howard punya tadi, ada sedikit isu tentang life bahkan sentuhan “spiritual” di dalamnya. Fokus penonton Allan Loeb coba bawa tertuju pada Howard yang sedang terguncang dengan masalah dari anak dengan perceraian dan di sisi lain juga fokus pada rencana “jahat” Whit, Claire, dan Simon. 


Collateral Beauty memang bermain terasa sedikit “childish” tapi inti film ini sebenarnya cukup kompleks yaitu tentang depresi dan trauma. Jika digabungkan dengan karakter yang menarik tadi sebenarnya premis tersebut tampak menjanjikan, tidak heran sebelumnya awards season dimulai banyak yang menilai bahwa film ini akan menjadi salah satu kandidat yang layak untuk diperhitungkan. Tapi sepertinya wajar mengapa pada akhirnya gaung dari Collateral Beauty tidak pernah terdengar di awards season kali ini karena terlepas dari karakter dan premis menarik tadi film ini merupakan sebuah mess yang mencoba tampak magical. Karakter dapat dikatakan “sakit” dan sebenarnya abuse terhadap sisi psikologis yang karakter rasakan punya koneksi untuk mengajak penonton ikut merasakan usaha karakter mengatasi tekanan emosi. Yang sangat disayangkan adalah di tangan David Frankel kita tidak bertemu dengan proses “penyembuhan” hingga pada akhirnya kamu akan bertemu kejutan di bagian akhir. 


Ya, berputar-putar tanpa explanation yang oke and boom, in the end there’s magic. Collateral Beauty tidak dapat dikatakan film yang super buruk, namun untuk masuk kategori tidak memuaskan ia sangat layak. Cerita punya unsur yang manis terutama pada tiga konsep tadi seperti life lesson yang tidak hanya diberikan pada karakter Howard saja, tapi pesan mulai yang berisikan tentang hope yang coba film ini hadirkan seperti terasa missing dan bahkan tidak mencapai angka enam atau tujuh di target points, terasa dipaksa dan ketika ia telah berakhir menjadi terasa meaningless. Bagian komedi meskipun tidak menghadirkan blasts yang cukup oke harus diakui tidak terasa buruk tapi sebagai penyeimbang unsur drama yang jadi pusat utama justru terasa tasteless, mencoba bermain a la sebuah heartbreaking drama tapi justru semakin jauh ia berjalan daya tarik karakter dan konflik terasa semakin breaking into pieces. 


Jika kamu lihat cast yang film ini punya terdapat banyak nama beken di sana, tidak heran mereka merasa tertarik karena dengan menggabungkan rasa sakit bersama imajinasi pada dasarnya Collateral Beauty tampak menjanjikan. Tapi apa gunakan premis yang tampak menjanjikan serta cast bertabur bintang jika pada akhirnya sutradara dan scripts yang ia punya justru secara konsisten memberikan berbagai scenes yang “terrible” kepada para aktor dan aktris. Seperti yang disebutkan tadi karakter di sini terasa menarik dan untung saja para aktor dan aktris berhasil membuat pesona karakter mereka tidak jatuh terlalu dalam bersama kualitas cerita yang terus drop secara perlahan sejak awal. Memang tidak terasa sincerity dari karakter mereka namun sebagai sebuah tim chemistry yang mereka hadirkan ketika berhadapan dengan “loss” itu berhasil mengurangi rasa sakit dari drama yang mencoba untuk tampak sentimental ini ketika ia terjatuh.



Sayang memang sebuah film tidak hanya dapat dinilai dari performa akting saja karena meskipun memiliki fine acting dari para aktor dan aktris bagian lain Collateral Beauty terasa seperti sebuah “mess”. Mencoba tampak tender tapi berakhir insincere, mencoba manipulate tapi sayangnya justru berakhir misguided, Collateral Beauty merupakan sebuah drama di mana konsep tentang time, love, and death terasa menjanjikan di awal perlahan berubah menjadi pretentious dan manipulative. Semua hal dan orang di dalam film ini tampak terhubung satu sama lain namun sayangnya mereka tidak terasa real ataupun genuine, tidak heran bagian akhir terasa “magical”. Ketika karakter utama melihat tiga karakter di bagian akhir cerita, apakah itu real atau hanya imajinasi? Mungkin. That's magic. Maybe. Segmented.  












0 komentar :

Post a Comment