11 December 2016

Review: Lion (2016)


"I have to find my way back home." 

Salah satu hal menarik dari setiap awards season adalah: film apa yang akan The Weinstein Company pilih sebagai "jagoan" mereka? Tahun ini awalnya terdapat tiga opsi, pertama film yang dibintangi Michael Keaton dan bercerita tentang McD dan berikutnya adalah film dengan cerita berlatar belakang Indonesia yang shooting di Thailand dan dibintangi oleh Matthew McConaughey. Dua film tersebut menariknya sampai saat ini justru berada di belakang film ini, Lion, yang secara “star factor” terasa lebih kecil ketimbang dua film tadi. But actually The Weinsteins know what they're doing here, memilih untuk “mendorong” Lion di awards-season ternyata sebuah keputusan yang sangat beralasan because this one is an emotional movie about life with Google Earth.

Lahir di India dari keluarga yang ekonominya lemah Saroo (Sunny Pawar) hilang ketika berusia lima tahun, sebuah kereta membawanya pergi menjauh dari keluarganya. Saroo yang tidak tahu bagaimana cara untuk pulang berakhir di sebuah panti asuhan yang setelah itu mempertemukannya dengan pasangan asal Australia, John Brierley (David Wenham) dan Sue Brierley (Nicole Kidman) yang mengadopsinya. Maju ke 20 tahun setelah kejadian tersebut Saroo (Dev Patel) bercerita tentang kisahnya itu kepada teman-temannya yang kemudian menyarankan Saroo untuk berusaha menemukan posisi orangtuanya di India, salah satu cara yang mereka sarankan adalah dengan menggunakan Google Earth.


Kisah yang berdasarkan dari memoir berjudul “A Long Way Home” karya Saroo Brierley ini pada awalnya tampak sederhana tapi sejak awal kamu sudah bisa merasakan sebuah start yang terasa strong and charming. Proses perpisahan dari karakter utama dengan keluarganya di India berhasil ditampilkan dengan baik oleh Garth Davis melakukan pekerjaan yang terasa solid dalam menceritakan “proses” yang Saroo punya di dalam hidupnya itu, dari ketika dia masih bersama saudaranya dan juga ibunya hingga ketika ia akhirnya masuk ke dalam “mimpi buruk” yang mungkin tidak pernah ia bayangkan akan terjadi di dalam hidupnya. Fokus Garth Davis sepertinya tidak terlalu bermacam-macam di bagian awal, dia ingin membuat kamu merasakan kondisi yang Saroo yang hadapi, membuat kamu berpikir bagaimana jika itu terjadi di dalam hidupmu atau bagaimana jika kejadian itu menimpa salah satu sosok yang kamu sayangi dan cintai. 


Itu modal yang sangat baik bagi “Lion” sebagai penopang untuk usaha mencari jalan pulang yang Saroo kemudian lakukan ketika ia telah dewasa. Meskipun terbagi menjadi dua bagian tapi script yang ditulis oleh Luke Davies berhasil membuat cerita terasa progresif terutama ketika memadukan cerita, teknologi, dan emosi menjadi satu. Ketika Saroo telah dewasa kamu dapat lihat bahwa kehidupannya kini sebenarnya telah “nyaman” apalagi ia memiliki seorang kekasih yang perhatian, Lucy (Rooney Mara), tapi ketika ide untuk menemukan kembali keluarga aslinya itu muncul berbagai guncangan juga muncul di dalam hidup Saroo. Di sana juga penonton diajak untuk merasakan bahwa berbagai guncangan yang Saroo hadapi tidak sesederhana yang kamu kira, Garth Davis berhasil “convince” penontonnya pada tarik menarik emosi yang muncul antara past dan present. 


‘Lion’ tidak terasa terlalu sentimental tapi sukses menyajikan emotional punch yang terasa oke, tidak mencoba memanipulasi emosi secara berlebihan tapi menunjukkan kontras antara dua sisi dari kehidupan Saroo kini tanpa menciptakan kesan klise yang aneh. Itu kenapa kisah yang sebenarnya sederhana ini justru terasa kompleks dan rumit, tema dan isu yang ‘Lion’ bawa memiliki gravity yang terasa oke sejak awal hingga akhir. Don't be surprised jika tanpa sadar kamu merasakan ada air yang keluar dari matamu karena secara skillfully dari the importance tentang mengetahui who you are serta where you come from Garth Davis berhasil membentuk script yang terasa subtle itu menjadi sebuah paket berisikan emotional punch yang oke. Harus diakui terdapat bagian yang terasa sedikit choppy and sappy tapi itu tidak membuat penonton merasa frustasi. Momen ketika Saroo berada di depan komputer memang tidak semuanya terasa “aktif” secara fisik tapi terdapat emosi yang oke bermain di sana bersama penggunaan teknologi berupa satellite view. 


Bagian teknis juga tidak kalah oke, dari cinematography karya Greig Fraser (Rogue One: A Star Wars Story) yang oke dan menciptakan feel dan sisi dramatis yang secara tematik mengingatkan saya pada Slumdog Millionaire, score karya Volker Bertelmann and Dustin O'Halloran juga berhasil menjadi core bagi emosi di dalam cerita. Performa akting dari cast juga tidak kalah menarik, Dev Patel berhasil menampilkan human performance yang membuat usaha pencarian itu terus terasa menarik hingga akhir bersama moral dilemma di dalamnya, sedangkan Sunny Pawar berhasil bermain dengan sangat baik menggunakan matanya untuk mencuri hati penonton. Karena punya tugas yang tidak besar David Wenham dan Rooney Mara terasa biasa di sini, tapi tidak dengan Nicole Kidman yang memberikan performa kuat, cara dia mengemas emosi sebagai ibu yang mengetahui bahwa anak yang ia sayangi ingin mencari “rumah aslinya” terasa sangat oke, terdapat intensity yang easily floored audiences heart. 


‘Lion’ memang merupakan sebuah "Oscar bait" tapi jika dilihat secara lebih mendalam kamu akan mengerti mengapa The Weinsteins Company memilih film ini sebagai jagoan mereka di awards season tahun ini. Dasarnya adalah kenangan masa kecil tapi dari sana di debut film layar lebarnya ini Garth Davis berhasil menggabungkan itu dengan berbagai topik lain yang terasa lebih “tough” tapi tetap membuat mereka terasa universal. ‘Lion’ adalah perpaduan suka dan duka di dalam kehidupan yang mungkin tidak akan terlihat megah jika dilihat secara “big picture” tapi jika dinikmati secara lebih mendalam ini adalah sebuah drama yang terasa emotional, evoking, and engaging. Such a good and compelling tearjerker for sensitive spectators. Segmented.










0 komentar :

Post a Comment