11 December 2016

Review: La La Land (2016)


"Here’s to the ones who dream."

Film yang ia sutradarai memang baru berjumlah tiga buah tapi seperti tidak salah untuk memberikan label ahli dalam meramu film musical kepada sosok bernama Damien Chazelle. Setelah “whipping” and “splashing” penontonnya lewat aksi seorang drummer meraih mimpinya di ‘Whiplash’ kini ia menggeser fokusnya pada unsur romance tentang bagaimana mimpi dan cinta saling membantu satu sama lain. Funny, gorgeous, lovely, and romantic, ‘La La Land’ is a frisky musical, it’s achieve cult status similar to Baz Luhrman's ‘Moulin Rouge!’.

Mia Dolan (Emma Stone) dan Sebastian Wilder (Ryan Gosling) merupakan dua sosok yang bermimpi untuk membangun karir di Los Angeles, satu merupakan seorang barista yang ingin menjadi actress sementara satunya lagi seorang jazz pianist yang ingin membuka his own club. Sering kali bertemu satu sama lain keduanya kemudian mulai berkomunikasi satu sama lain, dari membicarakan tentang mimpi yang mereka punya Mia dan Sebastian jatuh cinta satu sama lain. Sayangnya kemudian mereka menyadari bahwa sama seperti lovers lainnya bahwa membuat agar love affair yang mereka bangun serta usaha untuk mengejar impian mereka agar dapat berjalan berdampingan bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.  


Karya yang merupakan breakthrough bagi Damien Chazelle dan membuatnya mencuri perhatian insan perfilman dalam kapasitas yang sangat besar tentu adalah Whiplash tapi tahun 2009 yang lalu ia telah menciptakan sebuah film indie yang tidak kalah menariknya, berjudul ‘Guy and Madeline on a Park Bench’ film tersebut bisa dibilang merupakan pondasi bagi ‘La La Land’. Ini adalah tentang dua manusia muda yang jatuh cinta, mereka tersapu ke dalam “arus” yang dihasilkan oleh cinta tadi tapi kemudian sadar bahwa itu mungkin dapat menghalangi mereka untuk meraih mimpi mereka. Klise bukan? Tapi setelah opening sequence dengan musical dance yang terasa grandiose itu kesan klise itu menariknya terasa tidak pernah hadir di dalam cerita, sama seperti Mia dan Sebastian kamu akan merasa seperti “tersapu” oleh keajaiban yang di sini kembali Damien Chazelle hadirkan seperti apa yang ia lakukan di Whiplash, a lovely crescendo. 



Musical number di bagian awal memang terasa sedikit campy tapi setelah mood berhasil dibentuk yang hadir setelah itu adalah petualangan yang charming and lovely. Groove tidak hanya hadir di bibir karakter namun juga dari gerakan tubuh mereka dan ekspresi mereka, Mia dan Sebastian seperti berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan melodi. Plot yang Chazelle berikan di sini terasa konvensional tapi dia sukses gunakan itu sebagai basis bagi berbagai joy yang hadir dan membuat penonton merasa seperti juga berada di dunia di mana Mia dan Sebastian berada. Secara terampil Chazelle melakukan apa yang mungkin selalu ingin dilakukan oleh sutradara film-film romance dengan cerita yang klise dan klasik, sebuah petualangan cinta yang terasa heartbreaking tapi di sisi lain juga terasa uplifting, mengikat atensi penonton dengan fokus utama pada cinta tapi di sini mencampurnya bersama impian dan music, and of course, dance. 



Itu alasan saya mengatakan ini terasa seperti ‘Moulin Rouge!’ karena apa yang Damien Chazelle tampilkan di sini terasa similar dengan apa yang Baz Luhrman tampilkan di ‘Moulin Rouge!’. Di sini Mia dan Sebastian merupakan dua manusia yang dimabuk cinta dan mimpi, mereka seperti dapat "melayang" kemana saja akibat dua hal tersebut dan penonton berada disamping mereka untuk ikut melayang bersama. La La Land memang tampak dipenuhi dengan kegembiraan yang menyenangkan tapi secara tersirat film ini juga berhasil menyentuh emosi dengan cara yang hebat. Kunci ada pada screenplay yang dengan sangat baik mendaur ulang konsep "boy meets girl and fall in love with her" itu menjadi terasa segar, motif utama Damien Chazelle jaga dengan baik tapi dia juga masukkan berbagai isu lain yang berhasil menyentil penonton dengan cara yang manis, seperti cinta tidak dapat menyelesaikan semua masalah hingga yang sedikit lebih kompleks yaitu arti dari sebuah kesuksesan. 



All of them terasa believable dan dikemas secara wise oleh Damien Chazelle yang di sini juga kembali mengandalkan bagian teknis untuk mengikat perhatian penontonnya. La La Land terasa seperti sebuah ode or love letter to Los Angeles dan Damien Chazelle tampilkan LA sebagai sebuah metropolis yang terasa lit. Visual terasa impresif, warna terasa vibrant dan menciptakan kesan flamboyant yang kuat, bright and vintage termasuk production design seperti kostum dengan rasa jazz retro yang terasa popping. Cinematography juga terasa impresif dalam mempermainkan unsur fantasi dan reality dari cerita menjadi satu kesatuan yang oke, mereka terasa fluid and move like a jazz, sama seperti koreografi. Melengkapi itu semua adalah score dari Justin Hurwitz yang terasa sangat immersive, komposisi pada soundtrack berhasil menjadi “bahasa” lain yang bercerita kepada penonton, dan last but not least tentu adalah performa akting dari dua bintang utama kita, Emma Stone dan Ryan Gosling. 



Mia merupakan contoh dari banyak sosok muda yang menaruh impian untuk sukses di bidang yang ia gemari sebagai target yang harus dia capai, tidak menyerah meskipun berbagai rintangan harus dia dihadapi seperti penolakan yang konsisten muncul. Itu ditampilkan dengan sangat baik oleh Emma Stone di sini, her voice mungkin terasa tidak terlalu kuat tapi dari cara ia menari dan berbicara Emma Stone berhasil menyuntikkan emosi dan pesona yang kuat bagi Mia. Di sisi lain ada Sebastian dengan kondisi serupa namun dapat dikatakan berperan sebagai “pendamping” bagi Mia, dan Ryan Gosling lakukan tugasnya itu dengan baik, ia bernyanyi dan menari dengan baik namun pesona terbesar darinya muncul ketika Sebastian bermain piano. Beberapa pemeran pendukung seperti John Legend, Rosemarie DeWitt, J.K. Simmons berhasil menjadi pelengkap yang oke tapi La La Land merupakan panggung bagi dua karakter utamanya beraksi dan untungnya digunakan dengan baik oleh Stone dan Gosling pada romantic pairing ketiga mereka ini setelah “Crazy. Stupid. Love" and "Gangster Squad". 



La La Land adalah sebuah stylish romantic musical perpaduan antara manis dan pahit dari kehidupan yang dikemas secara manis oleh Damien Chazelle, kombinasi antara drama dan komedi yang terasa funny dan lovely tapi juga sentimental and romantic. Dengan bagian teknis yang terasa gorgeous serta performa akting yang memikat dari Stone dan Gosling ‘La La Land’ merupakan sebuah sajian musikal yang sama seperti Whiplash berhasil membuat penontonnya merasa popping. Ini adalah kisah tentang harapan dan impian, dari personal paths dan kekuatan cinta berhasil bercerita koneksi antara light and darkness di dalam kehidupan. It’ll take your breath away dengan musik dan dance yang impresif itu tapi bersiaplah karena ini juga akan break your heart, dan dua hal itu berhasil menjadi something to cherish di sini. Segmented.












6 comments :

  1. OH MY GOD sudah nonton saja ya rorypnm ini.... ini bakal rilis di Indo gak ya min kira2!?!?? So hyped

    ReplyDelete
  2. WOW!!! Salah satu film yg paling aku tunggu tahun ini. :))))

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Halo Novri Andana. Film ini saya tonton di AMC Loews Lincoln Square 13, New York. :)

      Delete