30 December 2016

Review: Hidden Figures (2016)


"Every time we have a chance to get ahead they move the finish line."

Drama seperti ‘Hidden Figures’ ini sangat mudah untuk ditemukan di setiap penghujung tahun, sebuah drama yang mencoba mengangkat berbagai isu klasik dengan inti yaitu hak untuk memperoleh kesamaan derajat. Namun menariknya adalah tidak banyak yang berhasil mencapai tujuan utamanya tanpa meninggalkan kesan “preachy” yang terasa berat dan berlebihan, seolah sejak awal hingga akhir mencoba mengemis atensi, simpati, dan empati dari penontonnya. Di tangan white man yang juga merupakan sutradara ‘St. Vincent’ kisah tentang black woman ini tidak berakhir seperti itu, berhasil berbicara tentang equal rights dengan cara yang “right”.

Katherine Johnson (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monáe) merupakan tiga wanita yang telah menunjukkan kepintaran mereka sejak kecil. Sayangnya ketika telah dewasa tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka tersebut karena warna kulit mereka meskipun mereka telah bekerja di NASA. Suatu ketika kesempatan itu tiba di saat proyek space travel yang dibangun NASA membutuhkan scientist mathematicians. Katherine, Dorothy, dan Mary kemudian direkrut untuk membantu meskipun pada awalnya mereka mendapat rintangan dari Director of the Space Task Group, Al Harrison (Kevin Costner) dan tangan kanannya yang bernama Paul Stafford (Jim Parsons).  


Jika menilik trend belakangan ini maka memang akan terkesan unik bahwa film yang mencoba bercerita tentang kisah black people justru disutradarai oleh seorang pria berkulit putih bernama Theodore Melfi, tapi ternyata menunjuk Melfi merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat. Apa yang dibutuhkan oleh script yang mengangkat dua isu berat tentang ras dan gender seperti ini adalah seorang sutradara yang mampu untuk mendorong agar karakter tidak terlalu "tenggelam" di dalam konflik maupun isu yang karakter tersebut coba sajikan. Di sini Melfi berhasil membuat agar script yang ia tulis bersama Allison Schroeder dengan basis sebuah buku berjudul sama karya Margot Lee Shetterly itu menjadi sebuah arena bagi tiga karakter utama wanita kita untuk memancarkan pesona yang mereka punya. 


Cerita berhasil Melfi buat agar menjadi “jalan” yang baik bagi karakter untuk melangkah maju tapi pencapaian terbaik yang dia lakukan di sini adalah kemampuannya dalam membuat agar apa yang dirasakan dan dihadapi oleh Katherine, Dorothy, dan juga Mary tidak memposisikan mereka di posisi meminta pertolongan. Di sini Melfi mencoba menunjukkan “power” yang dimiliki oleh kaum minoritas yang sering dianggap lemah oleh kaum mayoritas, pada tahun 1961 di USA sana hal tersebut terjadi pada black people dan juga para wanita. Melfi tidak mencoba memberikan “hiasan” yang terlalu banyak jumlahnya di sini, sama seperti yang ia lakukan di ‘St. Vincent’ dahulu Melfi “melepas” karakter untuk menghancurkan dinding perbedaan tadi sehingga ketika hasil akhir itu tiba penonton dapat merasakan kesan “cool” dari apa yang dilakukan oleh Katherine, Dorothy, dan juga Mary. 


Hal tersebut berhasil dicapai juga berkat script yang berhasil membuat agar isu di dalam cerita punya koneksi dengan dunia modern sekarang ini. Racism dan sexism masih menjadi sesuatu yang menarik untuk diperdebatkan hingga sekarang ini dan di sana Melfi berhasil memanfaatkan kondisi tiga karakter utama untuk “berbicara” tentang dua isu tersebut. Berbagai kepedihan dan kesedihan tetap jadi bagian dari perjalanan karakter di dalam cerita tapi mereka tidak terkesan seperti digunakan untuk “mengemis” atensi, simpati, dan empati dari penonton. Melfi tetap menaruh justice sebagai fokus utama di dalam cerita tapi hal tersebut dicapai tanpa menggunakan metode di mana karakter melakukan aksi heroism tingkat tinggi, mereka dicapai lebih dengan menggunakan metode pembuktian yang low-profile, dan kesulitan sehari-hari hingga kemudian kemudian sebuah pengakuan dari orang-orang di sekitar mereka. 


Hasilnya terdapat feel fresh dari film ini karena approach yang Melfi berikan terhadap premis yang sorry to say semakin terasa kurang nendang belakangan ini tetap mengusung pride dan juga dignity yang dimiliki oleh materi. Tiga karakter utama merupakan wanita yang humble dan dari sana penonton merasa bahwa “penderitaan” akibat keterbatasan yang mereka rasakan itu layak untuk dihapuskan dari kehidupan mereka. Hal itu juga berkat performa akting dari tiga pemeran utama, Taraji P. Henson tampil baik menampilkan Katherine sebagai wanita nerdy yang cool meskipun di beberapa bagian aktingnya terasa sedikit over. Sementara itu Octavia Spencer berhasil menampilkan Dorothy sebagai seorang supervisor yang menarik begitupula dengan Janelle Monáe sebagai Mary, dari komputer hingga hal-hal terkait ras. Pemeran pendukung lainnya juga tampil oke, dari Kristen Dunst yang berperan sebagai Vivian Michael hingga Kevin Costner sebagai pria yang tampak seperti seorang racist. 


Sama seperti judulnya jika dibandingkan dengan film-film di tahun ini yang mencoba mengangkat tema serta isu serupa ‘Hidden Figures’ mungkin akan terasa hidden, namun dengan mencoba bermain “humbleTheodore Melfi justru berhasil menyajikan sebuah penggambaran tentang black people yang mencoba mendapatkan pengakuan yang terasa menyenangkan untuk diikuti. Tidak terasa megah memang namun Melfi berhasil mengemas isu tentang rights itu dengan cara yang gentle namun tepat sasaran dan sangat efektif meskipun akibat minim kejutan ini mungkin akan terasa dull bagi mereka yang mencari sebuah kisah yang mampu memprovokasi isu tentang ras dan kesamaan derajat. Segmented.











0 komentar :

Post a Comment