29 October 2016

Review: Trolls (2016)


"So just dance, dance, dance."

Ketika selesai menulis garis besar paragraf pembuka muncul perasaan dejavu, perasaan bahwa kalimat-kalimat tersebut telah digunakan sebelumnya di blog ini. Pada review ‘Home’ saya mengatakan bahwa DreamWorks Animation masih berusaha untuk menciptakan image “film Dreamworks, pasti menawan,” cement their position as another "consistent" big players pada industri perfilman di genre animasi. Shrek, Madagascar, Kung Fu Panda, dan How to Train Your Dragon, itu merupakan animasi dengan hit besar dari DreamWorks Animation, selebihnya mereka cenderung too normal and forgettable. Kini mereka kembali mencoba “memancing” imajinasi dengan menggunakan para Trolls. Is it a great animated movie from DreamWorks Animation? It's a mini version of Shrek. It’s the music that rescues them. 

The Trolls merupakan makhluk yang hidup selalu hidup bahagia, menari dan bernyanyi sepanjang hari. Hal itu membuat mereka menjadi target The Bergens, makhluk berukuran besar yang yakin bahwa mereka dapat merasa bahagia setelah memakan para Trolls. Di bawah pimpinan King Peppy (Jeffrey Tambor) para Trolls berhasil kabur dari The Bergens. Hal itu menyisakan tugas bagi penerus mereka 20 tahun kemudian ketika anak perempuan King Peppy, Princess Poppy (Anna Kendrick), memutuskan untuk mengadakan pesta besar sebagai perayaan the Trolls' escape meskipun telah diperingatkan oleh Branch (Justin Timberlake) bahwa tindakannya beresiko “mengundang” kembali The Bergens. 


Pesan yang dibawa Trolls ini sebenarnya menarik, dengan melihat karakter bergembira dan menghadapi masalah mereka bersama para penonton usia dini dapat diajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari hal-hal yang rumit. Hal itu selaras dengan cerita film ini, sejak sinopsis yang sederhana itu Trolls tidak mencoba untuk terasa super rumit, beberapa isu yang sedikit lebih kompleks hadir tapi simplistic plot tetap digunakan untuk membuat arena bermain bagi banyak karakter penuh warna yang menyengat mata. Cerita Trolls sebenarnya juga cukup oke pada awalnya, tampak seperti mencoba membuat versi mini dari Shrek, musical based  dipenuhi dengan makhluk unik dan aneh serta family-friendly bergembira dan bernyanyi riang. Saya suka bagian ini, cuddly characters dengan fluffy hair, impresi mereka terasa oke di awal, memiliki kesan cute yang membuat penonton tersenyum ketika menyaksikan mereka berpesta. 


The songs juga jadi hal positif lainnya dari Trolls, setelah perkenalan karakter yang cukup oke itu kita dibawa bertemu dengan berbagai lagu dengan rasa spring dalam tempo cepat yang terasa oke, semuanya diproduksi dengan Justin Timberlake sebagai produser. Really ambitious, dari yang terasa sedikit mentah hingga yang terasa dipoles dengan baik serta terasa catchy, Trolls punya soundtrack yang sangat menarik dan meskipun beberapa dari mereka terasa menjengkelkan di banyak bagian lagu-lagu tersebut justru sukses membuat penonton lebih tertarik padanya ketimbang cerita dan juga karakter. Di samping lagu kualitas animasi Trolls juga oke, seperti kombinasi antara modern dan classic kualitas yang dihasilkan CGI cukup oke dalam membuat penonton merasakan unsur fantasi yang dimiliki cerita meskipun dengan budget sebesar $120 million sangat disayangkan mereka tidak berakhir di level superb. 


Jika ditanya apa yang bisa rasa rekomendasikan dari Trolls maka jawaban saya adalah soundtrack, fully recommended, namun selain itu masih berada antara yes or no baik itu dari karakter, visual, dan termasuk di dalamnya cerita. Sebagai animasi yang family oriented selama 93 menit durasi apa yang cerita Trolls miliki cukup oke tapi sutradara Mike Mitchell dan Walt Dohrn kurang berhasil menciptakan tensi yang konsisten menarik sehingga cerita yang mengandung berbagai isu yang hangat itu tidak meninggalkan kesan yang kuat. Tidak mengharapkan dramatisasi yang berlebihan pastinya tapi cara cerita tampil terasa kontras dengan visi film ini sebagai sebuah comedy fantasy, mereka terasa unimaginative. Cerita memiliki beberapa momen yang gloomy tapi sutradara seperti takut melepas momen untuk melaksanakan tugasnya. Tidak heran kemudian cerita didominasi dengan jokes dan talks yang pada akhirnya membuat daya tarik cerita menjadi longgar. 


Dengan melihat setting yang ia tampilkan tentu terasa kurang wajar untuk mengharapkan sesuatu yang “serious” dari Trolls ini namun sangat disayangkan berbagai pesan sederhana dan juga menarik itu seperti persahabatan, sikap saling menghargai, willingness, keberanian, dan loyalty kurang berhasil meninggalkan kesan yang kuat. Hasilnya mungkin akan berbeda jika sejak awal Trolls tidak mencoba mendorong hal-hal tadi untuk meraih atensi penontonnya, lalu kemudian fokus bermain menggunakan berbagai lelucon dengan sedikit sentuhan sarcastic. “Pesta” yang Trolls tampilkan harus diakui terasa cukup menyenangkan namun ini terasa too short ketika berurusan dengan hal-hal lain di luar “pesta” tadi terutama ketika momen yang mencoba menyuntikkan emosi ke dalam cerita itu muncul, mereka terasa seperti tercekik dan muted. Itu semakin lengkap karena meskipun secara visual menarik mayoritas trolls tidak memiliki karakteristik yang benar-benar menarik. 


Seperti kids pada umumnya ‘Trolls’ merupakan film animasi yang innocent dan cheeky, menawarkan kegembiraan lewat visual yang flashy, musik yang catchy, dan karakter yang fluffy. Ide tentang bahagia yang dibawa juga cukup oke meskipun cukup disayangkan dengan energi yang cukup mumpuni itu daya tarik cerita sering terasa longgar dan tidak mampu meninggalkan kesan yang kuat. Mencoba tampil naif dan childish Trolls berhasil menjadi sebuah cartoon bertemakan family adventure yang cukup oke for kids, walaupun di sisi lain impresi akhir yang ia hasilkan adalah terasa too normal and forgettable. At least DreamWorks Animation kembali menemukan mesin baru untuk meraup keuntungan lewat merchandising.











1 comment :