21 October 2016

Review: Shin Godzilla (Godzilla Resurgence) (2016)


Hal ini tidak hanya terjadi di era modern saja tapi usaha mengggunakan cinema sebagai media untuk “berbicara” tentang isu lain seperti sejarah hingga kemanusiaan telah eksis sejak lama. Hal tersebut coba dilakukan oleh film yang menjadi reboot kali ketiga pada Godzilla franchise ini, Shin Godzilla (Godzilla Resurgence), merangkum berbagai bencana dari gempa bumi, tsunami, dan juga bencana nuklir ke dalam satu kesatuan yaitu sang kaiju monster sebagai force of nature yang mengerikan serta mematikan. It’s The Lizard King new incarnation and homecoming with a lot of talking. It's Goodzilla.

Sebuah bencana terjadi di Tokyo Bay Aqua Line yang menciptakan kerusakan serta banjir besar, lewat viral video kemudian diketahui bahwa penyebabnya berasal dari sebuah entitas tidak dikenal berukuran raksasa yang bergerak di daerah tersebut. Pertemuan darurat kabinet dilakukan di mana Wakil Kepala Sekretaris Kabinet Rando Yaguchi (Hiroki Hasegawa), Wakil Perdana Menteri Hideki Akasaka (Yutaka Takenouchi), dan Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat Kayoko Ann Patterson (Satomi Ishihara) sepakat bahwa Jepang harus segera menyusun rencana besar untuk menyelamatkan negara mereka bahkan juga dunia dari ancaman makhluk raksasa yang siap mengamuk dan menebar terror, Godzilla.  


Sinopsis di atas memang tampak sederhana dan jika digambarkan secara sederhana pula maka cerita Shin Godzilla (Godzilla Resurgence) yang ditulis oleh Hideaki Anno (Neon Genesis Evangelion) sebenarnya memiliki dasar yang juga tidak rumit, tapi bersama dengan Shinji Higuchi (Attack on Titan) mereka buat ini menjadi sebuah action drama dengan permainan politik yang sangat dominan. Tidak begitu mengejutkan mendapati Shin Godzilla justru menaruh fokus pada hal tersebut karena film-film Godzilla made in Japan sebelumnya juga telah mencoba melakukan itu, menggabungkan kembalinya sang raja monster bersama dengan “komentar” terhadap berbagai isu. Di sini Shin Godzilla mencoba berbicara secara indirectly tentang tindakan pemerintah Jepang pada bencana tahun 2011 yang lalu, dari damage control and handling a crisis ketika Jepang dilanda tiga bencana, dari gempa bumi, tsunami, dan bencana nuklir Fukushima.  


Shin Godzilla (Shin Gojira) tidak terjebak dalam “hype” yang diciptakan oleh film Godzilla dua tahun yang lalu, meskipun sama-sama mengusung isu tentang humanity misalnya tapi film ini punya “taste” yang membedakan mereka dengan Godzilla buatan Hollywood itu. Eksekusi dari Hideaki Anno dan Shinji Higuchi terasa cukup berani di sini, porsi antara unsur politik dan sosok ikonik itu terasa cukup berimbang sehingga tidak heran unsur drama di cerita perlahan jadi semakin mendominasi, terlebih di paruh pertama. Masalah politik berisikan berbagai perundingan dan konsultasi dari berbagai pejabat politik yang hadir dengan “niat & tujuan” masing-masing, sederhananya mereka merasa bahwa kemunculan Godzilla merupakan kesempatan untuk memperoleh jabatan yang lebih baik lagi. Hasilnya banyak manuver di bagian ini, alegori politik yang menariknya punya kadar horror yang sama seperti eksistensi Godzilla yang menunggu beraksi. 


Film yang mencoba menggabungkan dua hal tadi sering jatuh menjadi terlalu serius dan juga monoton, namun tidak dengan Shin Godzilla, bahkan ini punya cukup banyak momen yang terasa lucu. Dari lembaga, politikus, press conferences, debat, hingga pertemuan, mereka cukup mendominasi cerita tapi excitement yang mereka hasilkan terasa oke. Mungkin punya potensi besar untuk terasa painful bagi penonton yang tidak mengerti plus tidak tertarik pada hal-hal semacam itu tapi “kepentingan” yang tersimpan di bagian yang dialogue-centric tersebut punya koneksi yang cukup oke dengan kemunculan Godzilla yang juga ikut menebar hal yang sama kepada penonton yaitu horror dan terror. Berenang di sungai Godzilla mendorong benda-benda di depannya untuk menciptakan banjir, urgensi dari kemunculannya cukup oke untuk membuat proses di bagian drama politik tetap punya rasa exciting yang oke, ketika mereka terus berusaha mengambil keputusan di sisi lain Godzilla bertindak semakin destruktif. 


Dapat dikatakan di sini bersama dengan birokrasi pemerintah itu Godzilla berada di posisi sebagai villain namun kekuatan alam skala besar kemunculannya itu ternyata menjadi metaphor yang oke bagi isu tentang tiga bencana tadi. Dia menjadi gempa bumi, dia menjadi tsunami, dia menjadi bencana nuklir, dia berjalan lalu kemudian mengeluarkan nafas api, energi yang ia Godzilla miliki sendiri pada dasarnya merupakan sebuah bencana. Kemampuan Godzilla menjadi terror juga berkat kualitas elemen teknis dalam hal ini cinematography, score, CGI, dan motion-capture, dari design hingga cara makhluk dinosaur-like itu menciptakan kekacauan, mereka terasa impresif. Kesan ganas dan mengerikan yang Godzilla miliki tergambarkan dengan baik, kekuatan dan juga ancaman yang ia punya berhasil menjadi penyeimbang yang cukup oke baik drama politik tadi dengan terus membuat merasa cemas terhadap berbagai serangan yang dapat ia lancarkan. 


Elemen teknis lainnya yang terasa impresif adalah score yang memperluas musik gubahan mendiang Akira Ifukube, orchestral score yang cukup bombasctic dan dynamic dengan menggabungkan rasa retro dan juga modern sehingga menciptakan sedikit nostalgia terhadap beberapa film Kaiju classic. Sementara cast walaupun mendominasi dengan drama politik yang repetitif itu nyatanya tidak ada yang terasa begitu menonjol, mereka berusaha saling “membantu” satu sama lain, dari berbagai kepentingan dan juga keputusan buruk hingga penolakan dan juga sikap selfish serta skeptic, percakapan di antara mereka walaupun dominan berisikan berbagai dialog drama politik tapi tidak pernah terasa membosankan. Meskipun tidak menonjol di beberapa bagian Satomi Ishihara cukup mencuri perhatian, with her “unique” English. 


Sebagai sebuah reboot sepanjang dua jam durasi yang ia miliki Shin Godzilla (Godzilla Resurgence) menjalankan tugasnya dengan cukup baik, ditunjang kualitas elemen teknis yang oke terutama visual effects bersama dengan design baru serta roar and fire-breath Godzilla berhasil menebar terror yang terasa mengerikan. Ini juga punya unsur action yang oke meskipun sejak awal telah cukup didominasi dengan drama politik tentang human failure ketika menghadapi sebuah krisis atau bencana dengan sedikit sentuhan satire di dalamnya, membawa penonton bermain dengan fear and frustration serta tentu saja paranoia. Overall it's not outstanding tapi dengan mencoba menggabungkan sentuhan modern bersama homage terhadap karya Ishirō Honda yang rilis 62 tahun yang lalu 'Shin Godzilla' berhasil membuat kepulangan The Lizard King ini menjadi sebuah inkarnasi yang cukup menyenangkan, a sweet popcorn flick. Segmented. 











2 comments :

  1. Nonton dimana mas? streaming atau bioskop? Soalnya nunggu berbulan bulan nih hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ditonton oleh writer di AMC Empire 25 NY. :)

      Delete