09 October 2016

Review: The Girl on the Train [2016]


"I saw her, I saw her from the train."

Film yang mengambil dasar cerita dari sebuah novel terkenal memiliki tugas yang tidak mudah apalagi jika novel tersebut menyandang status best selling, apakah dia memilih setia dengan sumbernya atau menghadirkan sedikit modifikasi sebagai penyesuaian ketika cerita diterjemahkan ke dalam bentuk film, dua opsi tersebut memiliki potensi bersinar atau jatuh tenggelam yang sama besar. Menyandang status sebagai worldwide best-seller novel ‘The Girl on the Train’ mendapat predikat sebagai “the next Gone Girl” berkat cerita berisikan sex and violence dengan permainan atmosfir dan paranoia yang begitu tebal. Apakah mystery and psychological thriller ini bersinar atau tenggelam? It’s a "pulpy" melodrama.

Dua kali sehari dengan menggunakan commuter train wanita bernama Rachel Watson (Emily Blunt) melintasi rumah lamanya yang kini ditempati mantan suaminya Tom Watson (Justin Theroux) bersama Anna Watson (Rebecca Ferguson). Pasangan tersebut bukan satu-satunya fokus Rachel, dia juga tertarik pada pasangan Megan Hipwell (Haley Bennett) dan Scott Hipwell (Luke Evans), merasa iri dia berharap agar hal buruk terjadi pada mereka dengan melibatkan Dr. Kamal Abdic (Edgar Ramirez). Setiap hari menyaksikan mereka dari jendela kereta kehidupan Rachel yang menyedihkan itu berubah ketika Megan dinyatakan menghilang. Rachel berusaha menemukan pelaku karena merasa bersalah telah memutuskan untuk melancarkan konfrontasi pada Megan, namun masalahnya Rachel tidak ingat apa yang dia lakukan ketika peristiwa tersebut terjadi.  


Sepertinya predikat atau label “the next Gone Girl memberikan pengaruh yang cukup besar pada versi layar lebar ‘The Girl on the Train’ ini, sutradara Tate Taylor dan juga screenwriter Erin Cressida Wilson seperti mendapat “tekanan” dari label tadi. Kisah yang berdasarkan dari novel karya Paula Hawkins ini mencoba bermain seperti ‘Gone Girl’, sebuah mystery thriller yang menjual misteri dengan ditampilkan secara seduktif. Rachel merupakan karakter yang terjebak oleh obsesi di balik rutinitas yang ia punya dan itu digunakan oleh Tate Taylor untuk menggoda pikiran penontonnya. Tanpa perkenalan panjang lebar kita langsung ditempatkan di tengah kehidupan Rachel yang suram, her daily life yang depresif dan berteman dengan alkohol serta obsesi. Di awal ‘The Girl on the Train sangat berhasil menjalankan kewajiban film dengan misteri di dalam cerita, ini berhasil membuat penonton tertarik pada karakter dan juga masalah di dalam cerita. 


Tapi yang terjadi setelah itu sebuah mystery thriller yang terasa "pucat". Misteri seharusnya bermain di zona abu-abu, tidak hitam dan tidak putih sehingga penonton dibuat meragu, tapi di sini rasa ambigu itu terasa pucat. Tujuan film ini sama seperti niat film thriller pada umumnya tapi dengan bergerak cepat daya cengkeram yang dia hasilkan tidak pernah terasa kuat. Menggunakan banyak revelation uniknya ketegangan di cerita yang di awal oke terus menurun, mencoba tampil pumping dengan atmosfir dingin tapi “chills” yang ia hasilkan terasa cheap. Dari sinopsis sebenarnya mengerti apa yang ingin The Girl on the Train lakukan di sini, menggunakan kondisi Rachel untuk membawa penonton bermain dengan misteri dan halusinasi. Tapi Tate Taylor kurang oke membumbui cerita, mereka terasa terlalu polos dan terkadang membingungkan apakah itu berusaha menjadi pedas, manis, asam, asin, atau pahit. Hal itu semakin kacau karena Tate Taylor juga seperti mencoba membuat The Girl on the Train terasa padat tapi dengan cara membuat cerita terasa simple


Tidak mencoba terlalu kompleks bukan sebuah dosa tapi dengan begitu tugasnya semakin berat karena “mewarnai” hal yang sederhana dengan sedikit warna untuk dapat terasa menarik justru lebih sulit ketimbang menggunakan banyak warna. Berbeda dengan apa yang diberikan oleh novel versi film ‘The Girl on the Train’ dengan durasi 112 menit ini tidak punya bobot yang kuat dan menarik di cerita, pengembangan cerita dan beberapa karakter kurang oke dan impresi yang dia punya perlahan jadi lemah karena ketegangan seperti tidak tumbuh dan berkelanjutan. Sutradara dan screenwriter seperti melempar misteri, buat batasan yang blur antara nyata dan tidak nyata, dan biarkan mereka berputar di dalam lingkaran. Hasilnya sama seperti narrator yang sering menggerus intensitas ketegangan daya tarik dari cerita juga konsisten tergerus akibat sikap linglung yang ia tunjukkan. Kondisi disorientasi yang dimiliki cerita ‘The Girl on the Train’ sebenarnya punya potensi besar tapi karena tidak ada urgensi yang oke akibatnya tidak ada punch yang menarik. 


Terasa mengecewakan melihat cara film ini menampilkan kisah Rachel, dia kurang berhasil membawa penonton mempertanyakan peristiwa yang dia hadapi dengan cara yang menarik. Aksi maju dan mundur cukup oke menjaga atensi penonton untuk tidak merasa bosan tapi karena flashback yang dilakukan tidak membawa informasi yang menarik kesan eksploitatif yang coba ditampilkan Tate Taylor dengan sedikit vibe Basic Instinct itu tidak terasa engaging. Elemen teknis seperti camerawork memang oke, atmosfir cerita juga tidak buruk, tapi film ini kurang berhasil menjaga rasa tertarik penonton untuk terus bermain dengan rasa curiga. Hal itu sangat disayangkan karena momen ketika penonton tidak lagi begitu tertarik pada cerita adalah momen di mana kejutan muncul, dan efek kejut yang dihasilkan tidak memikat. Seandainya cerita dapat dibumbui lebih baik lagi mungkin hasilnya akan lebih baik karena karakter utama ‘The Girl on the Train’, Rachel, sebenarnya adalah karakter yang menarik. 


Cukup banyak “masalah” yang terjadi di sekitarnya tapi pesona karakter Rachel terasa cukup oke hingga akhir. Saya dapat merasakan Rachel seperti apa yang saya bayangkan ketika membaca novel ‘The Girl on the Train’, wanita yang putus asa yang tampak sakit dan "terluka". Mayoritas tampil mabuk Emily Blunt memberikan pesona dari seorang wanita rentan yang konsisten menarik, menarik simpati atas rasa tersiksa yang ia rasakan dari sebuah aksi manipulasi. Sayangnya selain Emily Blunt tidak ada lagi karakter yang konsisten menarik, mayoritas disakiti oleh cerita yang tidak berkembang meskipun cast telah berusaha memberika performa terbaik mereka. Justin Theroux dan Rebecca Ferguson menjadi pasangan yang manis, Haley Bennett menjadi femme fatale yang oke, dan Allison Janney sebagai detektif, mereka punya kemiripan: sama-sama karakter one-dimensional, ibarat fried chicken bagian paha dengan ketebalan daging yang begitu tipis. 


So far ini merupakan salah satu "the best disappointing movies" di tahun ini. Sebuah penggambaran dari relationship dan psikologis yang tidak sehat dengan menggunakan misteri dan obsesi ‘The Girl on the Train’ sebenarnya punya materi yang sangat oke untuk ditampilkan secara kompleks, hal yang tidak dilakukan oleh sutradara dan screenwriter di sini. Mencoba untuk terasa padat dengan bermain sempit, mencoba tampak ringkas dan tidak rumit, awalnya ini menarik dengan kesan dingin dan creepy yang oke namun setelah itu adalah permainan misteri yang predictable serta tanpa bobot yang oke, baik itu pada karakter, konflik, ketegangan, hingga kejutan. Minim suspense dan intrik sebagai sebuah mystery thriller ini tidak membosankan namun mengecewakan melihat ‘The Girl on the Train’ tidak berhasil “menggigit” penontonnya. The next Gone Girl? Nope, it’s just another "pulpy" melodrama. Just read the book. Segmented. 











0 komentar :

Post a Comment