15 October 2016

Movie Review: A Monster Calls (2016)


"He called…for a monster."

Salah satu dari sekian banyak alasan mengapa hidup ini indah adalah karena kehidupan merupakan sebuah petualangan penuh warna, tidak sebatas hitam dan putih ia memiliki berbagai misteri dan tentu saja kejutan, terkadang itu menyenangkan namun tidak sedikit pula yang terasa menyakitkan. Selalu ada hal-hal yang menjadi “bumbu” di dalam kehidupan setiap manusia, dari yang positif, negatif, maupun yang terdapat di antara dua hal tersebut, mereka merupakan sesuatu yang harus setiap manusia hadapi dan lalui untuk dapat merasakan hal tadi, sebuah kehidupan yang indah. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh film ini dalam perpaduan kisah coming-of-age, family, dan juga fantasy. A Monster Calls: a fantasy where glossy and gloomy coexist.

Ketika berada di sekolah remaja bernama Conor O'Malley (Lewis MacDougall) seperti tidak memiliki semangat yang besar, tampak selalu sulit fokus bahkan bersikap pasrah ketika di bully oleh teman-temannya. Remaja yang telah terbiasa hidup mandiri itu memiliki semacam tekanan batin yang selalu menggelayuti pikirannya, kondisi kesehatan sang ibu (Felicity Jones) yang kini hanya dapat menjalani hari-harinya di rumah mereka akibat mengidap sebuah penyakit kanker mematikan. Karena sang ayah (Toby Kebbell) kini telah menjalani kehidupan baru di Los Angeles, Conor telah dipersiapkan oleh sang ibu untuk tinggal bersama sang nenek (Sigourney Weaver) jika suatu saat penyakitnya semakin memburuk. Namun tidak seperti ibunya itu Conor percaya bahwa sang ibu dapat sembuh dari penyakitnya.

Kemudian sesuatu yang luar biasa muncul di hadapan Conor. Suatu malam pada pukul 12 lewat tujuh menit tengah malam ketika sedang mengerjakan sebuah karya seni Conor menyaksikan sebuah monster (Liam Neeson) muncul dari sebuah pohon Yew. Makhluk tersebut kemudian datang menghampiri Conor dan mengatakan bahwa ia dapat menyembuhkan sang ibu dari penyakit mematikan tadi, namun dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Conor. Sang monster meminta Conor untuk mendengarkan ia bercerita tentang tiga cerita yang berbeda, masing-masing satu di setiap pertemuan, dan setelah itu Conor harus menceritakan sebuah kisah pada sang monster. Cerita dari monster tersebut ternyata membawa Conor belajar bagaimana cara mengusai emosi dan menghadapi situasi sulit yang kini sedang ia hadapi.  


Jika menilik sinopsis di atas tadi sejak awal A Monster Calls telah menunjukkan bahwa ia merupakan sebuah film fantasi berisikan kisah coming-of-age dengan sedikit sentuhan studi karakter, dan kombinasi tersebut membutuhkan karakter utama yang harus mampu menjadi “bintang” yang bersinar terang. Sutradara J. A. Bayona berhasil melakukan hal tersebut, seperti yang ia lakukan di The Impossible di sini Conor merupakan sosok remaja yang langsung terasa menarik, kondisi “too old to be a kid, too young to be a man” membuat penonton mengerti bagaimana kondisi emosi yang ia miliki kini dan semakin lengkap dengan eksistensi dari masalah berat terkait sang ibu di sampingnya. Rasa takut dan cemas Conor terasa natural, momen ketika ia diam terasa menyayat hati dan ketika ia “meledak” terasa miris. Di tangan J. A. Bayona script yang ditulis langsung oleh penulis novel Patrick Ness berhasil menciptakan kesan tragis di dalam kehidupan Conor, semacam childhood nightmare yang berhasil menjadi sebuah start manis bagi perpaduan drama dan fantasi yang muncul setelahnya.

Jika berbicara tentang niat dan tujuan A Monster Calls punya sesuatu yang sangat manis yang ingin ia sampaikan kepada penonton, seperti yang disinggung di awal tadi bahwa bagaimana kehidupan indah karena memiliki begitu banyak warna. Di sini kita dibawa menyaksikan hal tersebut lewat perjuangan seorang remaja mengatasi tekanan dan emosi miliknya yang terus bergejolak, memadukannya dengan fairy tale dengan fokus utama pada proses bertemu realita, setelah itu “goodbye” untuk kemudian melangkah maju dan bertumbuh. Sebuah topik yang tidak “mudah” memang jika mengingat target penonton yang film ini miliki tidak sepenuhnya merupakan penonton dewasa, namun di tangan J. A. Bayona meskipun memiliki konflik yang terkesan kelam sepanjang 108 menit durasi kesan depresif tidak pernah terasa mengganggu. Pendekatan yang ia gunakan di sini terasa dewasa namun mudah dicerna, Bayona berhasil menghindarkan karakter dari kesan bahwa ia sedang tenggelam bersama duka namun justru sebaliknya, ia berjuang untuk lepas dari duka. That’s something interesting to cherish. 


Sayangnya aksi tersebut tidak berada di level yang benar-benar memuaskan, bahkan mayoritas terasa cukup underwhelming. Karakter dan konflik yang menarik serta memiliki emosi yang mumpuni, ‘A Monster Calls’ punya itu, tapi cara mereka bermain terasa lack of constant sensitivity. Dengan berbagai isu yang tidak ringan seperti kehilangan, perasaan bersalah, hingga amarah film ini terasa seperti sebuah didactic class, diajar oleh seorang guru dengan pesona yang menarik namun tidak konsisten terasa menyenangkan sepanjang durasi pertemuan. Ada bagian di mana penonton merasa terjerat oleh situasi penuh rasa putus asa yang sedang dialami oleh Conor, namun ada pula bagian di mana tragedi itu justru terasa “dingin”. Alhasil kualitas dari pesona Conor bersama segala fantasi yang bermain di pikirannya itu terasa tidak merata di semua bagian, Bayona mencoba mempermainkan cerita layaknya sebuah orchestra namun celakanya tidak semua alat musik menghasilkan bunyi yang menarik sehingga kurang berhasil menghantarkan pesan yang ia bawa secara maksimal.

‘A Monster Calls’ memiliki dasar yang sangat baik tapi daya cengkeram yang dimiliki oleh karakter dan konflik terhadap penontonnya tidak sangat baik. Niat pada bagaimana imajinasi dapat mengubah dan memperkaya realita berhasil ditampilkan dengan cukup baik di sini, tapi sayangnya mereka hadir tanpa punch yang benar-benar kuat dan berkesan. Kita tidak punya seorang guru yang mampu menstimulasi masalah di dalam cerita untuk memiliki sedikit saja kompleksitas yang terasa manis, tidak hanya sebatas berfungsi menunjukkan yang ini baik dan yang itu buruk. Tentu saja menarik menyaksikan Conor belajar tentang kehidupan namun tidak ada force di dalam proses tersebut, seiring kemunculan sang monster ia terus berjalan bertemu dan belajar tentang berbagai “warna” namun sayangnya itu terasa lack of depth. Menarik mendapati pesona pada momen di real world justru tidak berada jauh lebih tinggi ketimbang momen di mana segala macam fantasi yang ditampilkan dalam bentuk animasi itu hadir di dalam layar, atau ketika Conor berjalan sendiri tanpa didampingi oleh sang monster. 


Bayona patut berterimakasih pada tim di elemen teknis terutama visual effect karena tanpa mereka ini tidak akan menjadi perpaduan glossy dan juga gloomy, namun hanya gloomy. Dari permainan watercolour hingga penggambaran King Kong dalam hitam dan putih, jika harus memilih satu kata bagi visual ‘A Monster Calls’ maka pilihannya adalah enchanting, cerita yang “gloomy” dapat ditampilkan dalam presentasi yang menawan. Kualitas CGI juga tidak kalah baik, membuat monster seperti itu mungkin tidak lagi sulit dengan teknologi yang kini industri film miliki namun di sini tim visual effect berhasil menciptakan pesona bedtime stories yang manis bagi sang monster, meskipun berasal dari pohon lengkap dengan batang dan ranting dari pesona dan tampilan visual dia terasa lembut. Hal yang sama juga dihasilkan elemen visual pada bagian real world dengan cinematography sebagai elemen yang paling standout.

Kinerja elemen teknis yang berhasil membantu cerita memiliki sedikit kedalaman juga berhasil dilakukan oleh para aktor dan aktris, kinerja akting mereka secara overall cukup oke. Sebagai bintang utama Lewis MacDougall berhasil membuat Conor menjadi karakter dengan intensitas yang cukup menarik terutama gejolak emosi yang sedang dia rasakan, sikap teguh dan pemberani yang ia miliki berkombinasi dengan cukup baik dengan sikap clumsy ketika ia terjerat di dalam emosi, meskipun cukup disayangkan ia tidak punya kompleksitas yang sangat menarik. Felicity Jones juga tampil baik di sini, lebih sering pasif dengan mengandalkan ekspresi wajah serta intonasi suara kinerja dan pesonanya di sini justru merupakan yang paling stabil di antara cast lainnya, memancarkan kasih sayang dan kesedihan untuk kemudian diserap oleh Conor. Pemeran lain bekerja dengan cukup baik, Sigourney Weaver dan Toby Kebbell yang berperan sebagai penyokong bagi Conor serta Liam Neeson yang “menghidupkan” sang monster dengan baik lewat suaranya. 


Overall, A Monster Calls adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah kisah coming-of-age berisikan pendewasaan diri dari karakter utama yang bermain dengan rasa takut dan sikap berani, ‘A Monster Calls’ berhasil mencapai tujuan utamanya untuk bercerita tentang sisi indah yang dimiliki oleh kehidupan, dengan visual yang menawan serta emosi yang terasa cukup mumpuni. Sayangnya hal terakhir tadi tidak memiliki kualitas yang konsisten serta merata di semua bagian cerita, tidak memiliki kedalaman yang mampu menstimulasi pesan yang ia bawa sehingga dapat menciptakan berbagai punch yang segar dan memikat bagi penonton. Perpaduan glossy dan gloomy ‘‘A Monster Calls’ merupakan sebuah fantasy drama yang understated, namun jika menilik potensi yang ia punya ini seharusnya shine bright like a diamond.  










0 komentar :

Post a Comment