24 June 2016

Review: Genius (2016)


"We really making books better, or just making them different."

Sebagai seorang penulis pemula di blog ini (and not superbly good on “playing” with bahasa) saya merasakan banyak manfaat ketika tulisan saya (yang saya inginkan) menjalani proses editing terlebih dahulu sebelum dipublikasikan. Awalnya memang terasa kurang rela ketika tulisan saya di “modifikasi” sedemikian rupa meskipun skalanya sangat kecil, namun ternyata dampaknya sangat besar, tulisan saya menjadi lebih padat dengan ide dan point yang ingin disampaikan tetap eksis pula. Hubungan antara penulis dan editor itu yang coba diceritakan oleh film ini lengkap dengan berbagai gesekan di dalamnya, Genius, a good enough biographical drama even though did not live up its title.

Tahun 1929, Maxwell Perkins (Colin Firth), editor yang telah mempublikasikan karya dari penulis besar Amerika seperti Ernest Hemingway (Dominic West) dan F. Scott Fitzgerald (Guy Pearce), diminta oleh rekannya untuk membaca naskah dari penulis bernama Thomas Wolfe (Jude Law). Perkins memberi lampu hijau pada Wolfe namun dengan syarat novel tersebut harus direvisi dari 1000 halaman menjadi ukuran yang lebih “reasonable” bagi pasar. Novel yang kemudian berjudul ‘Look Homeward, Angel’ meraih kesuksesan, namun ketika Perkins mencoba menyusun kembali materi dari naskah kedua Wolfe yang kini berjumlah 5000 halaman temannya mengatakan bahwa hubungannya secara professional dan personal dengan Wolfe sebaiknya dihentikan. 


Dengan naskah yang ditulis ulang dari ‘Max Perkins: Editor Of Genius’ oleh John Logan (Gladiator, The Aviator, Hugo) di bawah arahan Michael Grandage 'Genius' tampil seperti sebuah pertunjukkan dengan rasa teatrikal di layar lebar. Ceritanya menarik, beberapa ide seperti tentang hak dan metafora dalam bentuk “perjuangan” disajikan dengan baik sehingga penonton yang tidak mengenal materi merasa tertarik untuk mengikuti masalah di dalam cerita. Rasa teater di Genius cukup kental, ia terus terasa menarik berkat cara Michael Grandage mementaskan hubungan antara dua karakter utama yang terasa kontras. Saya suka di balik sinopsis dan konflik yang sederhana Genius mampu menampilkan hal-hal yang lebih dari sebuah proses sederhana, ada permainan kata dan frasa di mana karakter juga menampilkan pendapat dan perasaan masing-masing untuk menujukkan kecintaan mereka pada sastra.


‘Genius’ banyak diuntungkan dari interaksi antara dua karakter utamanya untuk mempertahankan daya tarik cerita. Penulis dengan gairah yang besar dan terkadang liar, editor yang teliti dan terkendali dan mencoba membuat karya yang on point, dari situ didirikan rangkaian interaksi yang manis, dari perbedaan pendapat hingga negosiasi terkait karya yang hendak mereka selesaikan. Perang konflik dan kata-kata antara Perkins dan Wolfe menghasilkan percakapan yang menarik di proses modifikasi itu, tarik ulur menemukan konsesi untuk menghasilkan karya yang lebih padat namun tetap memiliki “misi” serta keunikan dari penulis. Terdapat cerita dengan tik-tok yang oke di 'Genius' meskipun sejak awal dramatisasi menang terkesan di sengaja, dan meskipun cerita terkadang terasa statis hubungan yang sulit antara Perkins dan Wolfe membuat cerita tidak pernah jatuh menjadi membosankan.


Tapi walaupun menarik Genius ini ibarat api yang dijaga agar memiliki suhu yang normal dan stabil hingga akhir. Memiliki editor dan penulis dalam satu frame untuk menggambarkan seni menulis seharusnya dalam pertarungan intelektual itu ada “percikan” api yang lebih mencolok di dalamnya. Dramatisasi memang ada tapi mereka kurang kuat, itu mengapa narasi terkadang terasa statis karena ia seperti mencoba bermain aman saja. Dan 'Genius' terasa “diperas” di bagian akhir, seperti sadar durasi semakin tipis ia mencoba ingin menciptakan impact dari sisi emosi yang lebih besar namun sayangnya eksekusinya terasa kurang oke. Minus lain dari ‘Genius’ ada di pemeran pendukung yang ia punya. Karakter wanita di sini, Wolfe Aline Bernstein (Nicole Kidman) dan istri Perkins yang bernama Louise Saunders (Laura Linney) terasa seperti tempelan dan kurang dimanfaatkan lebih jauh, mereka sebenarnya punya potensi untuk membuat api tadi menjadi lebih besar.


Dari bagian cast penampilan mereka terasa mumpuni meskipun seharusnya bisa didorong lebih tinggi lagi. Michael Grandage cermat dalam memberi kesempatan bagi Colin Firth untuk bersinar, ia mampu membuat Perkins sebagai sosok yang berdedikasi secara professional dan personal meskipun terkadang posisi sentral cerita lepas darinya. Chemistry Firth dengan Jude Law juga oke. Law di sini banyak terbantu momen ketika karakternya bersanding bersama karakter Perkins, ketika ia berdiri sendiri atau dengan karakter lainnya ia kurang kuat. Guy Pearce dan Dominic West menampilkan karakter mereka sesuai dengan kapasitasnya di dalam cerita, dan Laura Linney oke dalam menampilkan rasa frustasi Louise Saunders terhadap Perkins. Karakter Nicole Kidman terasa kurang dimanfaatkan, kurang berhasil menjadi “racun” yang menyengat bagi usaha Thomas Wolfe meraih kesuksesan.


Merupakan usaha yang menarik dari Michael Grandage yang seolah hendak menciptakan sebuah panggung teatrikal bagi Genius, namun hasil akhirnya berada di bawah potensi awal. Dramatisasi di sini oke, bercerita tentang proses menulis, editing, hingga penerbitan bersama berbagai gesekan ego dalam bentuk kisah persahabatan antara penulis dan editor, tapi sejak awal hingga akhir ini terasa terlalu normal, kurang mencolok. Interaksi antar karakter mempertahankan daya tarik cerita, dan jika kamu suka pada materi berisikan permainan kata dan frasa dengan bertumpu pada rasa cinta terhadap sastra ini juga akan terasa oke, namun dengan memadukan akting memikat bersama narasi tanpa percikan yang mencolok bukan tidak mungkin Genius akan terasa menjemukan bagi beberapa penonton. It’s good, but not a genius one. Segmented













Thanks to rory pinem

0 komentar :

Post a Comment