26 May 2016

Review: Mother's Day (2016)


"We're not who the world thinks we are."

Ia memang merupakan sosok di balik salah satu film romance paling populer sepanjang masa, Pretty Woman, namun tiga film terakhir dari Garry Marshall bukan sebuah prestasi dengan pencapaian yang oke. Yang menarik adalah dua film terakhirnya selalu mengambil tema hari special, tahun 2010 Valentine's Day dan tahun 2011 New Year's Eve, keduanya merupakan film yang hambar untuk mengisi dua hari special tadi. Lima tahun istirahat kali ini Garry Marshall kembali dengan hari special lainnya, Mother's Day, film yang seolah meneruskan baton dari dua film Garry sebelumnya tadi.

Sandy (Jennifer Aniston) merupakan seorang ibu dengan dua orang anak, harus menghadapi kenyataan bahwa mantan suaminya kini telah menikah lagi dengan wanita yang lebih menarik darinya. Jesse (Kate Hudson) dan Gabi (Sarah Chalke) masih mencoba untuk berdamai dengan ibu mereka Flo (Margo Martindale) yang tidak setuju Jesse menikah dengan pria dari India, sementara Gabi merupakan seorang lesbian. Miranda (Julia Roberts) merupakan seorang pengusaha perhiasan yang mencoba untuk menemukan ibunya setelah melihat Kristin (Britt Robertson), mantan anaknya. Seorang duda bernama Bradley (Jason Sudeikis) merupakan seorang single father yang sedang berusaha mengatasi kesedihan yang dialami oleh dua putrinya.



Hal terbaik dari film ini hanya satu, yaitu niat awal yang ia punya. Naskah yang ditulis bersama oleh Tom Hines, Anya Kochoff Romano, dan Matt Walker sebenarnya punya tujuan yang menarik sedari sinopsis, mengangkat tema orangtua untuk membawa kamu melihat gejolak dan kompleksitas sebagai seorang orangtua dan apa artinya menjadi sebuah keluarga. Sampai di sini Mother's Day masih oke, saya juga suka berbagai masalah pokok seperti request dari anak-anak, masalah dengan pasangan, hingga masalah dengan orangtua yang digunakan untuk mencapai tujuan tadi. Yang jadi masalah itu adalah Mother's Day ternyata terlalu cepat berubah sehingga niat tadi lebih terasa seperti topeng saja. Sangat disayangkan ketika tema Hari Ibu yang ia gunakan sudah menemukan pijakan utama namun yang Mother's Day tampilkan selanjutnya justru sebuah situasi komedi yang bingung mengolah ide utama tadi akibat berusaha menutup minus dengan hal-hal yang menjengkelkan.



Gagasan terhadap perempuan dan apa artinya menjadi seorang ibu dari film ini menarik, tapi cara itu diolah sangat tidak menarik. Ketimbang membawa kamu menyaksikan perubahan karakter secara berkala Garry Marshall lebih tertarik menampilkan dramatisasi yang sayangnya bukan cuma mayoritas tapi sangat banyak yang berakhir dingin. Perlahan saya merasa bingung apa niat utama film ini sebenarnya, mereka seharusnya hadir untuk merayakan hari ibu tapi yang ia tampilkan lebih seperti aksi mocking tanpa nyawa dan pesona. Kehangatan di balik komedi yang jadi harapan utama di awal tidak pernah film ini berikan, ia lebih asyik mencoba tampil “imut” namun berakhir hambar, begitu juga dengan komedi baik itu lewat dialog maupun aksi slapstick, tidak peduli seberapa klise mereka seharusnya Mother's Day dapat tampilkan jauh lebih baik dari apa yang mereka lakukan.



Hal yang mengganggu dari film ini tidak hanya itu, dan yang paling memorable adalah bagaimana niat untuk menggambarkan sikap terbuka terhadap perbedaan justru berakhir seperti aksi agresif, bahkan rasis. Hal tersebut sebenarnya dampak domino dari kelemahan lain yang dimiliki film ini, dari cerita yang hambar dan usaha untuk memeras komedi yang lebih sering membuat penonton mengernyitkan dahi. Ketika dua hal tadi tidak berhasil dieksekusi dengan baik satu-satunya senjata yang tersisa juga tidak bekerja dengan baik, yaitu karakter. Karakter di Mother's Day seperti boneka, sulit untuk bersimpati pada masalah yang mereka hadapi, ketika mereka mencoba tampil lucu tidak ada punch yang menarik untuk penonton terima dan rasakan, ketika mencoba tampil dramatis mereka juga tampak cengeng dan hambar. Semakin lengkap karena mereka ada di dalam cerita dengan alur yang lebih sering terputus-putus sejak awal hingga akhir.



Jika membaca kembali kelemahan Mother's Day di atas tadi semakin terasa menyedihkan ketika mengingat film ini memiliki banyak aktor dan aktris dengan tipe yang pas untuk membangun tujuan utamanya tadi. Jennifer Aniston, Julia Roberts, Kate Hudson, dan Jason Sudeikis, semuanya berakhir terlalu biasa akibat materi dan arahan yang diberikan kepada mereka. Yang paling cukup baik dari kinerja cast adalah Jason Sudeikis, dengan latar belakang masalah yang condong kearah drama masalah antara Bradley, dua putrinya, serta kematian istrinya terasa cukup menarik untuk diikuti. Konflik yang dihadapi oleh Bradley merupakan yang paling terasa nyata di antara konflik lain di dalam cerita, at least tugas agar rasa hangat yang harus hadir dari konflik tersebut berhasil dilakukan dengan baik oleh Jason Sudeikis. Konflik lainnya? Nope.



Jika menggunakan penjelasan singkat dan frontal maka kamu bisa mengganti judul film ini dengan judul lain karena ikatan cerita dengan Hari Ibu sendiri tidak kuat dan menarik. Terlalu sering terputus-putus dan bingung ketika bercerita, terlalu sering terasa agresif ketimbang menyampaikan niatnya dengan cara yang hangat, terlalu berlebihan mendorong komedi dan cerita yang tipis sehingga tidak memberikan punch menarik dan berakhir dingin, dan berbagai masalah klasik drama komedi lainnya seperti pesona yang terasa palsu, Mother's Day punya potensi untuk menjadi sebuah kisah tentang menjadi ibu dan orangtua yang menarik namun ketika telah berakhir kalimat yang tepat untuk mewakilinya adalah sebuah hiburan yang hambar.  





















Thanks to rory pinem

0 komentar :

Post a Comment