18 March 2016

Review: Knight of Cups (2016)


"Dreams are nice, but you can't live in them."

Sejauh ini telah menyutradarai delapan buah film dalam 46 tahun karirnya di industri film, Terrence Malick secara mengejutkan menghadirkan tiga di antaranya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Apakah Terrence Malick sedang memiliki banyak ide? Sepertinya begitu dengan dua film lain dijadwalkan rilis tahun ini. Di film terbarunya ini Terrence Malick kembali memberikan apa yang penonton inginkan dari “film Terrence Malick”, namun sebagai penonton yang masih belum lulus dari Malick's School for Gifted Youngsters selalu ada perasaan waspada terhadap karya Terrence Malick karena, well, it's gonna be forever, or it's gonna go down in flames. So, bagaimana dengan Knight of Cups? Keindahan yang hampa, atau kehampaan yang indah.

Walaupun menikmati kesuksesan dan kekayaan yang ia hasilkan, seorang screenwriter yang tinggal di Los Angeles bernama Rick (Christian Bale) merasa akan hadir sesuatu yang membuatnya semua itu hilang dari kehidupannya. Rick merasa hidupnya hampa, terus dihantui oleh trauma yang sehingga mencoba berdamai dengan itu semua untuk menemukan kedamaian, dari hubungannya dengan wanita bernama Della (Imogen Poots), Model Helen (Freida Pinto), dan Karen (Teresa Palmer), hubungan dengan saudaranya Barry (Wes Bentley) serta ayah mereka Joseph (Brian Dennehy), hubungan dengan pria bernama Tonio (Antonio Banderas), hubungan dengan mantan istrinya Nancy (Cate Blanchett) serta cinta terlarangnya di masa lalu, Elizabeth (Natalie Portman), serta hubungan dengan Isabel (Isabel Lucas), wanita yang bisa membantu Rick menemukan jawaban yang ia inginkan. 


Jika kamu perhatikan sinopsis di atas tadi mungkin hal pertama yang terlintas di pikiran kamu adalah Knight of Cups merupakan sebuah drama penuh konflik yang rumit. Wajar memang, karakter utama yang diberikan tugas untuk berdamai dengan sembilan karakter lain dalam delapan bagian terpisah saja sudah cukup untuk menciptakan impresi tadi, tapi faktanya adalah terdapat tiga sisi yang dapat membawa kamu sebagai penonton masuk ke ruang yang berbeda dengan penonton lainnya, meskipun kalian sedang menyaksikan film yang sama. Sisi pertama Knight of Cups dapat menjadi kehampaan yang terasa indah, yang kedua ia bisa menjadi keindahan yang terasa hampa bagi penontonnya, dan yang terakhir kombinasi antara dua hal tadi, ia bukan sebuah keindahan yang terasa hampa serta juga bukan merupakan sebuah kehampaan yang terasa indah.



Kenapa bahasanya terasa rumit sekali? Sebenarnya tidak, tapi saya rasa itu kalimat yang paling tepat untuk mewakili kisah yang sebenarnya masih menggunakan dasar yang sama dari film Terrence Malick, kisah tentang kehidupan dalam tampilan penuh estetika. Nah, masalah utama dari Knight of Cups adalah niat bercerita tentang kehidupan serta presentasi penuh estetika tadi kurang menyatu dengan baik. Kurang blend. Di sektor cerita kita mendapat berbagai kisah dengan pusat yang sama namun terpisah, Rick penuh rasa bingung hingga kecewa mulai berputar-putar mencari jawaban. Di sekor teknis banyak keindahan yang tersaji terlebih dengan visual yang seolah memiliki irama yang mengalir begitu lembut. Sayangnya kombinasi dua hal tadi terasa kasar sehingga kesan eksperimental sangat dominan dan tangguh yang mungkin menjadi bahan ajar di semester akhir Malick's School for Gifted Youngsters.



Celakanya saya belum bisa menempuh pelajaran tersebut, dan alhasil Knight of Cups terasa tasteless meskipun banyak visual indah dan puitis yang ia sajikan. Terdapat dua hal yang menyulitkan untuk klik dengan Knight of Cups. Yang pertama adalah plot yang tipis untuk materi yang gemuk. Oh, saya sendiri ragu apakah film ini punya plot, ia lebih condong menyajikan adegan dan interaksi dengan drama yang terkandung di dalamnya terasa minim. Terasa sayang memang alur terasa tipis karena cerita yang dibagi menjadi beberapa bab itu sebenarnya menyimpan banyak gairah tentang kehidupan dan pencarian jiwa yang menarik. Seperti The Tree of Life dan To the Wonder sangat mudah untuk mengerti niat utama cerita, tapi Knight of Cups menjadi yang paling lemah dalam hal menciptakan arena bermain bagi penonton untuk menjadi sebuah meditasi tentang hidup.



Dengan materi yang gemuk tadi hasil akhir Knight of Cups terasa kering meskipun ia mencoba menyajikan jawaban atas kebingungan berputar-putar mengitari kota yang baru saja ia tampilkan. Rick yang pikiran batinnya sedang terganggu dan berusaha menemukan tempatnya di dunia kurang berhasil menjadi objek yang menarik untuk penonton amati terkait ide besar tentang manusia tadi. Contohnya pergulatan antara spiritual dan duniawi yang ia lakukan justru perlahan lebih terasa seperti seorang pria yang manja akan kesuksesan, bukan pria yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tentang hidup. Ya, itu masalah kedua, cerita tidak membuat karakter tampak menarik, karakter tidak mudah untuk diindentifikasi sehingga makna dari usaha yang ia lakukan tidak pernah bergerak ke titik yang lebih dalam, aksi mengembara pencarian jiwa dengan berpindah dari satu titik ke titik lain terasa kosong dengan tujuan yang lemah.



Pada dasarnya film ini sama seperti The Tree of Life dan To the Wonder dalam konteks konsep, namun ketika dua film tadi berhasil mengabungkan sebuah pencarian jiwa bersama estetika dengan baik Knight of Cups terlalu berat di estetika. Bahkan menilai performa cast saja tidak terasa terlalu menarik karena yang mereka lakukan adalah bergoyang, bergerak, dan mengoceh di dalam pikiran namun dengan konflik di antara mereka yang terlalu biasa. Sektor cerita terasa lemah sehingga eksplorasi dengan rasa filsafat dan spiritualitas itu tidak memiliki kekuatan tentang “kehidupan” yang hidup di awal, tidak konsisten tampil menarik, serta tidak terus tumbuh positif menuju akhir. Tidak heran usaha Knight of Cups untuk menjadi kisah tentang manusia yang transenden gagal tercapai karena sejak awal ia terasa dangkal, ia indah namun hampa. Segmented. 














Cowritten with rory pinem

1 comment :

  1. manntep reviewnya. sinematografi sama scoringnya juara rate ane 8/10. coba di-review film filmnya Tarkovsky dan Bela Tarr juga dong...

    ReplyDelete