14 February 2016

Review: The Choice (2016)


"If you see a man sleeping on a cold floor, there's sure to be a pretty woman nearby."

Dari The Lucky One, kemudian Safe Haven, lalu disusul The Best of Me, dan yang terakhir The Longest Ride yang rilis tahun lalu, setiap tahun sejak 2012 kita selalu bertemu dengan film romance yang merupakan adaptasi dari novel karya Nicholas Sparks dan The Choice mencoba untuk meneruskan baton. Dasar cerita film ini masih punya tipe yang sama dari film-film tadi, dua insan manusia mencoba bertarung dengan perasaan mereka masing-masing, melakukan refleksi untuk memperoleh rasa yakin dan akhirnya melangkah maju bersama cinta. Nah, pertanyaannya adalah dengan konsep yang sama dengan pendahulunya itu apakah hasil akhir yang diberikan oleh The Choice juga sama? 

Gabby (Teresa Palmer), seorang mahasiswa kedokteran, menyewa sebuah rumah di pantai North Carolina terlibat perdebatan dan interasksi tentang beberapa isu dengan tetangganya Travis (Benjamin Walker), seorang dokter hewan. Gabby sedang menjalin hubungan dengan sesama rekan dokter bernama Ryan (Tom Welling) sedangkan Travis memiliki pacar bernama Monica (Alexandra Daddario). Travis masih meragu pada hubungannya dengan Monica, wanita cantik itu belum mampu membuat Travis merasa nyaman dengannya, hal yang menariknya perlahan justru mulai Travis temukan di dalam diri Gabby. 




Well, sinopsis tadi merupakan salah satu premis paling klasik dan standar yang bisa diciptakan untuk sebuah film romance, ada pria dan wanita, si pria masih meragu dengan cinta tapi perlahan rasa ragu tadi menghilang setelah dekat dengan seorang wanita. Saya sendiri sangat suka dengan dengan ide cerita seperti itu karena sering kali kekuatan cinta justru dapat tergambarkan lebih mudah lewat sebuah konsep sederhana. Sayangnya The Choice yang diangkat dari novel dengan judul sama karya Nicholas Sparks ini menggunakan konsep sederhana tadi dengan cara yang terlalu sederhana dan celakanya sang sutradara, Ross Katz, ternyata juga terjerat dalam “sistem” cerita romansa yang diadaptasi dari novel-novel Nicholas Sparks sebelumnya.



Tentu terdapat alasan mengapa di poster hanya tercantum The Notebook dan Safe Haven karena dari film-film hasil adaptasi novel Nicholas Sparks hanya dua film itu yang ada di kategori oke, dan sisanya berakhir menyedihkan. Kisah yang diciptakan Nicholas Sparks punya formula yang identik, dua orang saling bertemu di tempat asing dengan setting lokasi yang indah, lalu hadir beberapa masalah kecil dengan kisah segitiga sebagai andalannya, lalu penutupnya selalu berusaha untuk membuat kamu terkejut meskipun mayoritas berakhir konyol. The Choice seperti itu, ide yang baik ternyata menjadi sebuah kisah cinta penuh rekayasa yang menjemukan. Bukan, bukan karena cerita yang konyol, tapi bagaimana caranya sebuah romance justru tampak seperti fantasi.

Tingkat prediktibilitas cerita masih sangat mudah untuk dimaklumi, tapi cara The Choice menjual romance sangat mengganggu, sangat tidak kompeten. Interaksi antara dua karakter utamanya misal, di bagian awal oke tapi setelah itu terasa canggung, terasa ganjil. Cerita sendiri mencoba untuk membuat kamu menaruh simpati dan empati pada permasalahan cinta yang dihadapi Gabby dan Travis tapi emosi mereka terasa sangat direkayasa. Manipulasi Ross Katz di bagian ini tidak manis, masalah utama yang terkait komitmen dan memilih itu justru lebih sering terasa sebagai kisah cinta yang cengeng, usaha cerita seperti sebatas bagaimana agar konflik penuh dengan argument tanpa ikut mencoba membangun karakter. Ya, pesona karakter stuck, dan sangat jarang ketika menonton romance saya ingin agar dua karakter utama tidak berakhir bahagia.


Lalu apa nilai positif film ini? Ya, mungkin gambar-gambar latar yang cukup oke. Kualitas akting? Dua pemeran utama tidak berhasil menjual karakter mereka untuk membuat penonton menginginkan mereka untuk bahagia di titik maksimal, hanya sebatas mari selesaikan dengan cara standar. Walaupun begitu Teresa Palmer tidak buruk, sesekali ia berhasil menghadirkan momen menyenangkan di luar masalah romance, namun tidak dengan Benjamin Walker, Travis terasa terlalu canggung dan tampak seperti pria yang tidak punya sisi romantis. Yang sangat disayangkan adalah peran Alexandra Daddario di cerita yang sebenarnya bisa menjadi sebuah kisah cinta segitiga yang efektif, ia tampak sebagai pemanis yang terlupakan.



Jika dilihat sebagai sebuah parodi tentang cinta saya rela mengatakan The Choice sebagai kemasan yang menghibur, hal konyol tentang sesuatu yang kita sebut cinta berhasil digambarkan oleh film ini dengan baik, ia bahkan punya beberapa momen lucu dari situ. Tapi tugas utama film ini adalah menyajikan kisah romance, dan ia gagal. Menggunakan rumus paling standar dari romansa khas Nicholas Sparks sang sutradara, Ross Katz, tertatih-tatih dalam memanipulasi dan mendramatisasi cinta di dalam cerita, dua pemeran utama juga menampilkan interaksi yang dingin, jadi wajar jika isu tentang komitmen dan memilih tidak menampilkan pesona dan martabat dari cinta. Segmented. 













Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment