29 January 2016

Review: The Boy [2016]


"Be good to him and he will be good to you."

Chucky, Billy the Puppet, Annabelle, menggunakan boneka sebagai senjata baik itu yang bersifat pendamping hingga sebagai senjata utama untuk mencoba meneror penontonnya merupakan sesuatu yang selalu menarik dari sebuah film horror. Tapi kembali lagi ke dasar utama, mereka sebuah boneka sehingga perlakuan serta cara membentuk yang harus diberikan kepada boneka-boneka itu harus benar-benar tepat terutama pada menciptakan impresi menyeramkan dan menakutkan yang mereka miliki. The Boy mencoba menggunakan boneka sebagai senjata utamanya, namanya Brahams (jangan di pisah), tapi ternyata tidak meneror melainkan menjadi boneka bodor. 

Seorang nanny bernama Greta (Lauren Cohan) memperoleh pekerjaan untuk mengasuh anak dari keluarga British Heelshire di sebuah rumah terpencil di pedesaan Inggris. Greta diberitahu bahwa ia akan mengasuh seorang anak bernama Brahams, namun ketika ia tiba tempat kerja barunya tersebut Greta menemukan sebuah fakta yang mengejutkan: Brahams ternyata merupakan sebuah boneka. Mr. Heelshire (Jim Norton) dan Mrs. Heelshire (Diana Hardcastle), “orangtua” Brahams, menginginkan agar Brahams tetap menjalani rutinitas sehari-hari ketika mereka berlibur. Pada awalnya Greta mengabaikan Brahams namun kemudian hal-hal aneh mulai menghampiri Greta. 



Apakah kamu tersenyum ketika membaca sinopsis di atas tadi? Ya, itu adalah premis paling standard, paling klasik, dan paling klise yang bisa diberikan oleh sebuah film dengan horror sebagai jualan utamanya. Tapi bukan berarti menggunakan kembali hal-hal klasik tadi merupakan sesuatu yang salah tapi dengan syarat mutlak, jangan perlakukan mereka dengan cara yang salah. Hal itu yang justru dilakukan oleh William Brent Bell di sini, sebenarnya memiliki materi yang tidak jelek bahkan elemen penunjang lain seperti cast juga tidak tampil buruk, namun ketimbang membuat penontonnya perlahan-lahan mulai terjebak dalam rasa takut dan mulai merasa waspada yang The Boy lakukan malah membuat penonton pelan-pelan merasa frustasi.



Di bagian awal saja The Boy sebenarnya sudah kurang oke, menghabiskan terlalu banyak waktu mencoba untuk membuat kamu menilai dan merasakan bahwa Brahams adalah sosok yang menakutkan. Dalam hal misteri memang terbentuk dengan baik tapi dari sisi karakter tidak, Brahams seharusnya "dilepas" sehingga cerita bisa maju, bukan justru menahan cerita dan terus berkerja keras untuk meyakinkan penonton bahwa ada yang salah dari Brahams. Pada akhirnya “feel” dari Brahams yang notabene menjadi senjata utama di sini justru terasa kasar, penonton seperti dipaksa untuk percaya bahwa Brahams merupakan sosok yang menyeramkan. Itu kesalahan yang krusial, Brahams yang seharusnya menjadi sumber rasa takut justru tampak seperti boneka yang digunakan sebagai boneka untuk menjebak penontonnya.



Apakah sukses? Ada beberapa bagian yang sulit memang untuk dikatakan buruk, tapi mayoritas serangan dari The Boy untuk menakut-nakuti penonton terasa lemah dan murahan. Mondar-mandir di cerita tidak masalah, baik malah, tapi ia tidak punya urgensi yang oke, kamu dibuat menunggu dan menunggu dan semakin menjengkelkan karena selain misteri yang terasa biasa-biasa saja konsekuensi dari masalah yang dihadapi oleh Greta juga tidak berhasil untuk membuat penonton merasa itu penting. Greta yang sisi rentannya kurang terbentuk dengan baik oleh Lauren Cohan justru tampak seperti wanita iseng yang konyol ketimbang seorang nanny yang nyawanya sedang terancam. Seandainya fokus digeser ke psikologis Greta mungkin The Boy akan lebih baik karena harus diakui goofiness dan keseraman yang dihasilkan oleh setting tidak buruk.



Berbagai kewajiban pada tugas yang dimiliki oleh Greta sebenarnya bisa digunakan untuk membuat agar arena di mana Greta dan Brahams berinteraksi secara intens dapat tersebar merata, sehingga rasa khawatir penonton dapat terus terjaga bersama rasa curiga bukannya perlahan mati dan berubah jadi rasa frustasi. Apakah Brahams benar-benar hidup? Apakah orang tua Brahams adalah orang gila? Pertanyaan tadi sebenarnya menarik tapi karena William Brent Bell terlalu sibuk merakit misteri dan mereka tidak pernah tumbuh menjadi rasa penasaran yang bisa mempertebal situasi menegangkan The Boy justru terus konsisten datar, dan ketika ending sialan itu hadir, boom, rasa kesal yang tertinggal cukup besar. Segmented. 











Thanks to: rory pinem

1 comment :