09 November 2015

Review: The Little Prince [2015]


"Growing up is not the problem, forgetting is."

Paman saya pernah mengatakan bahwa hal terindah yang ia alami sebagai orang tua adalah ketika melihat anaknya yang masih berusia lima tahun berlari-lari di ruang tamu dengan mainannya. Dia juga pernah melontarkan dua hal yang salah satunya membuat saya merasa aneh kala itu, pertama bahwa ia tidak ingin anaknya tumbuh dewasa, dan ia ingin anaknya menikmati menjadi “anak-anak”. Dua hal itu yang jadi isu utama dari The Little Prince, hubungan dua arah antara dewasa dan anak-anak yang dikemas dalam bentuk animasi yang cukup manis.

Little Girl (Mackenzie Foy) merupakan contoh dari mayoritas anak usia dini di jaman sekarang, jadi objek dimana orangtua mencoba mewujudkan ambisi mereka. Ibunya (Rachel McAdams) ingin agar Little Girl masuk sebuah sekolah ternama, Werth Academy, sehingga yang harus ia lakukan mengikuti jadwal yang telah ibunya tetapkan. Aturan yang ketat itu suatu ketika membuat Little Girl merasa bosan, dan rasa penasaran membawanya ke rumah tetangga baru mereka, The Aviator (Jeff Bridges). Berteman bersama pilot tua yang ingin menghidupkan kembali pesawatnya itu seperti pengalaman baru bagi Little Girl, ia berkenalan dengan kisah The Little Prince (Riley Osborne) yang kemudian mengubah kehidupannya. 



Saya suka dengan cara Irena Brignull dan Bob Persichetti menerjemahkan novel Antoine de Saint-Exupéry kedalam bentuk script, jadi ada cerita didalam cerita sehingga potensi untuk stuck jika hanya mengandalkan The Little Prince bermain dengan fantasinya jadi nol. Ada kehidupan yang menarik di cerita karena penonton jadi punya dua dunia disini, menyaksikan Little Prince yang jadi fokus utama mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang ia punya sembari dalam petualangan bersama pilot misterius, dan disebelahnya ada dunia nyata berisikan gadis muda terbakar rasa penasaran yang juga mencari jawaban atas pertanyaan. Dua dunia ini seperti di set untuk jadi penggambaran hitam dan putih dari dunia modern sekarang ini, mereka tidak berdiri sendiri melainkan saling menopang karena ada koneksi yang sangat manis, pada awalnya.



Ya, sayang memang karena hingga paruh pertama berakhir saya sudah bersiap untuk menaruh film ini hampir sejajar dengan Inside Out yang juga mengusung isu serupa. Di tangan Mark Osborne film ini sebenarnya sangat cepat dan tepat membangun dasar atau akar masalah, dan dibantu dengan visual yang merangsang lengkap dengan warna kontras serta score simple namun tajam kamu dengan cepat akan masuk kedalam dunia Little Girl, dan intimitas mungkin akan semakin kuat jika kamu pernah berhadapan dengan apa yang Little Girl alami. Lalu masalahnya? Celakanya juga berasal dari dua dunia tadi. Di awal mereka punya koneksi yang kuat, tik-tok juga oke, tapi semakin dekat ke garis finish mereka seperti berpisah. Cerita di paruh akhir terasa melayang seperti Little Prince, upaya menciptakan statement tentang masyarakat modern seperti didorong paksa.



Yang juga menyedihkan adalah presentasi indah di babak pertama seperti tidak semua menemukan jembatan untuk ikut pindah ke babak kedua. Persahabatan antara Little Girl dan The Aviator sedikit kehilangan sinar, dan itu boomerang karena sejak awal dunia manusia sudah mencuri terlalu besar rasa cinta saya pada cerita ketimbang dunia Little Prince, yang sebenarnya jadi jualan utama disini. Sayang memang di film yang merupakan miliknya ketika sampai di garis finish Little Prince justru terasa seperi karakter pendukung, kehadirannya hampir saja jadi pointless. Metafora Little Prince terasa kasar, karakternya sendiri sejak awal kesulitan untuk menebar karisma, tidak heran jika ia kalah dibandingkan dengan Little Girl yang lebih menonjol karena dibantu masalah yang relatable dengan penonton.



The Little Prince (Le Petit Prince) adalah cerita tentang bagaimana kita semua akan menjadi dewasa jika waktunya telah tiba, sehingga tidak perlu mengorbankan masa kecil yang seperti saya sebut di awal tadi, merupakan masa terindah yang dimiliki anak-anak dan orangtua mereka. Dengan visual yang cantik dan pengisi suara yang impresif film ini berhasil menyampaikan hal tersebut tapi sayangnya lebih seperti text book milik Little Girl, tidak sebagai dongeng apalagi petualangan. The Little Prince tidak mendorong penonton untuk coba memahami diri mereka, ia hanya mengingatkan indahnya masa kecil. Berhasil, tapi tidak ada magic atau sihir yang sangat kuat di bagian akhir.








0 komentar :

Post a Comment