19 September 2015

Review: When Animals Dream (2015)


Horor dari Scandinavia punya cara seperti ini untuk menghibur penontonnya: ia akan mempermainkan kamu dengan mood dari cerita baik itu menggunakan visual didalamnya untuk kemudian menemani masalah yang standard namun disisi lain ia memiliki fokus yang kuat terhadap karakter utamanya sebagai jangkar. Style tersebut digunakan oleh When Animals Dream untuk menampilkan kisah werewolf ini, menangkap penonton dengan setting dingin, mengurung mereka bersama misteri yang menarik, lalu perlahan memasukkan ketegangan yang oke untuk melengkapi.

Marie (Sonia Suhl) merupakan wanita muda berusia 19 tahun yang menghadapi masalah internal didalam hidupnya. Ayahnya, Thor (Lars Mikkelsen) dan Ibunya (Sonja Richter) sedang sakit, satu berada dalam kondisi koma dan satu lagi menjalani aktifitasnya menggunakan kursi roda. Tugas mengurus orangtuanya itu sebenarnya bukan merupakan masalah yang sedang dihadapi oleh Marie. Sejak bekerja di pabrik pengolahan ikan Marie merasakan tubuhnya banyak mengalami perubahan, seperti ada sesuatu yang “tumbuh” didalam tubuhnya terutama pada bagian dada. Hal tersebut menemukan jawaban karena selama ini ternyata keluarganya menyimpan sebuah rahasia aneh yang memiliki kaitan dengan masalah Marie tadi. 



Jika berbicara impresi pertama film ini sebenarnya tidak baik, tidak menarik malah, saya datang murni hanya dikarenakan rasa tertarik pada judul miliknya itu yang memang harus diakui sukses membuat saya membentuk fantasi pada apa yang ingin ia ceritakan. Ini juga dimulai dengan lambat, tapi impresi yang tidak begitu baik itu tidak berlangsung lama karena When Animals Dream perlahan melangkah kearah yang positif. Geraknya memang perlahan-lahan tapi Jonas Alexander Arnby berhasil membuat cerita bukan hanya semakin menarik tapi juga membuat penonton semakin meningkatkan rasa waspada mereka secara bertahap, ia cerdik dalam menciptakan citra dari karakter dan cerita dan menggunakan mereka untuk mengurung kamu.



Iya, mengurung, dari cahaya yang redup kemudian suasana dingin yang mungkin akan mengingatkan kamu dengan Under the Skin, kabut mengelilingi karakter utama yang kesepian, suasana berhasil membuat rasa isolasi dan misteri berpadu dengan baik. Namun perpaduan tadi tidak menandakan When Animals Dream merupakan horror misteri yang berjalan lambat, ini secara mengejutkan bahkan dapat dikatakan terasa sangat cepat, tapi cara Arnby membuat masalah didalam cerita seperti mengintai secara diam-diam secara efektif menjadikan gerak cerita tidak terasa mengganggu, sama seperti cara ia memainkan ketegangan didalam cerita meskipun When Animals Dream pada akhirnya terasa terlalu sesak.



When Animals Dream seperti punya misi menggunakan horror untuk menyentuh dan mempermainkan emosi penontonnya, tapi bagian terakhir tadi terasa sedikit lemah. Mungkin Arnby punya niat lain dibalik durasi yang hanya 84 menit itu, namun materi yang When Animals Dream sendiri sebenarnya menuntut durasi yang sedikit lebih besar agar setiap bagian benar-benar berakhir baik. Seperti karakter misalnya, dasar mereka oke tapi hanya Marie yang punya isi disini, meskipun untung saja Sonia Suhl memberikan performa yang oke. Sisi rentan dan malu Marie ditampilkan dengan baik oleh Sonia Suhl, tatapan tajam miliknya cukup untuk membuat penonton klik dan merasakan apa yang ia rasakan.



Sebagai sebuah film werewolf, When Animals Dream ternyata lebih condong untuk mencoba menggali isu terkait emosi, dan untung saja itu didukung dengan karakter utama yang punya karakteristik menarik dan ditampilkan dengan menarik pula oleh Sonia Suhl. When Animals Dream merupakan sebuah horror, namun meskipun punya elemen fairytale di dalamnya ia tidak berusaha untuk menakuti penonton dengan cara klasik dari sebuah film horror. Saya lebih tertarik menyebut ini sebagai sebuah drama misteri yang ketika ia telah selesai meninggalkan kesan horror yang menarik. Segmented. 







0 komentar :

Post a Comment