12 April 2015

Movie Review: Filosofi Kopi (2015)


"Kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya." 

Seperti kopi yang mampu membuat anda merasa segar kembali setelah selesai meminumnya, begitupula pula impresi yang berhasil diberikan oleh Filosofi Kopi. Judul yang ia miliki memang akan menghadirkan penilaian awal sebuah film yang tampak berat pada para calon penontonnya, namun karya terbaru dari sutradara Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini secara mengejutkan justru berhasil menghadirkan terang dan gelap dari sebuah kehidupan dengan bermain-main bersama perpaduan antara rasa manis dan pahit pada secangkir kopi. Filosofi Kopi: imperfecto searching for perfecto.

Ketika customer yang sedang mengantri mencoba bertanya kepadanya tentang filosofi dibalik kopi-kopi yang tertera di setiap kartu, barista bernama Ben (Chicco Jerikho) dengan santai namun efektif memberikan deskripsi setiap kopi dengan kalimat-kalimat bernada puitis andalannya. Keahlian tersebut tidak dimiliki oleh sahabat Ben sejak kecil, Jody (Rio Dewanto), pria yang bersama Ben mengelola kedai kopi yang mereka namai Filosofi Kopi, karena ia berperan pada sektor keuangan demi menjaga kelangsungan bisnis mereka tersebut. Ya, kelangsungan bisnis, Ben dan Jody bersama tiga karyawan mereka sedang berupaya untuk menutup hutang sebesar Rp. 800 juta yang ditinggalkan oleh almarhum ayah Jody. 

There can be miracles when you believe, dan tiba-tiba muncul seorang pengusaha (Ronny P. Tjandra) yang datang ke kedai filosofi kopi untuk memberikan sebuah tantangan pada Ben dan Jody. Pria tersebut meminta mereka untuk membuat kopi paling nikmat di Indonesia bahkan di dunia yang kelak akan ia tawarkan kepada investor, serta imbalan yang sangat besar pada uang tunai dengan nominal sepuluh digit. Ben faktanya berhasil menciptakan sebuah kopi yang ia sebut perfecto dan yakin kopi tersebut dapat membawa mereka memenangkan tantangan tadi, namun kehadiran seorang food blogger kelas internasional bernama El (Julie Estelle) menggoyahkan keyakinan tersebut dan membawa konflik lain kedalam filosofi kopi.


Selalu terasa menarik ketika menyaksikan sebuah film yang memiliki berbagai pesan yang tidak sederhana tapi kemudian ia tampilkan dengan cara yang sederhana. Hal tersebut yang menjadi kesuksesan terbesar dari film ini, bagaimana ketika ia membuat anda terkejut ketika perputaran konflik yang tampak sederhana tadi dari sekedar meracik atau meramu kopi terbaik justru memiliki banyak pesan dan isu menarik untuk ditelisik. Bukan hanya menarik sebenarnya tapi dengan nada yang santai dengan dialog catchy serta dipenuhi beberapa lelucon yang terhitung oke filosofi kopi seperti tidak menciptakan jarak antara ia dan penontonnya, sehingga serupa dengan konflik dan karakter yang secara perlahan terus bertumbuh penonton juga akan merasa tertarik bahkan mungkin tidak sedikit yang akan terjebak dan kemudian tenggelam didalam dunia Ben serta Jody, dan semua itu terjadi secara perlahan.

Ya, sama seperti secangkir kopi yang akan terasa nikmat ketika di cicipi sedikit demi sedikit begitupula presentasi yang di tampilkan oleh Filosofi Kopi, tapi celakanya hal tersebut seperti pedang bermata dua bagi Filosofi Kopi. Shaky cam di bagian awal itu jelas terasa mengganggu namun kombinasi antara Angga Dwimas Sasongko serta penulis naskah Jenny Jusuf terasa cerdik dan cermat dalam membangun struktur cerita di bagian awal yang di adaptasi dari kumpulan prosa dan puisi karya Dewi "Dee" Lestari. Bagaimana agar kopi sebagai objek utama dapat segera memiliki koneksi dengan kehidupan penonton tapi disisi lain kopi juga menjadi jalan untuk membuka ruang bermain baru dimana penonton akan mencicipi berbagai isu tentang kehidupan, mungkin seperti itu misi utama Filosofi Kopi sejak sinopsis dibagian awal. Hal tersebut tampil manis, konflik utama mereka jaga di pusat cerita tapi secara perlahan dan juga bertahap mereka juga mendorong masuk beberapa konflik lain tanpa menghasilkan distraksi yang mencuri atensi penonton dari irama menyenangkan yang tercipta sejak awal.


Nah, disini kekurangan dari Filosofi Kopi, terasa manis ketika ia bercerita tentang hal pahit di bagian awal tapi tidak sama manisnya ketika ia mulai menghujani penonton dengan berbagai hal “manis” dari kehidupan. Bukan berarti kualitas dari eksekusi Angga Dwimas Sasongko disini terasa buruk namun sulit untuk mengatakan ini berada di level yang sama dengan karya Angga sebelumnya, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku. Memang ada emosi yang mumpuni terlebih dengan keintiman yang terbangun di awal antara cerita dan juga penonton, tapi babak kedua Filosofi Kopi terasa kurang dinamis terlebih ketika kita mulai dibawa bergeser dari sebatas pencarian kopi terbaik menjadi sedikit studi karakter dengan menelisik permasalahan dari tiap karakter utama. Drama yang terbangun di bagian ini tidak sama menariknya ketika cerita masih sebatas menjadi pergulatan awal antara Ben, Jody, dan kopi terbaik.

Penyebabnya adalah presentasi penuh rasa sabar yang memberikan dampak positif di babak pertamanya tadi, eksposisi yang tetap dibangun dengan santai menjadikan daya cengkeram dari babak selanjutnya tidak lagi sama. Hal yang terasa mengganggu dari Filosofi Kopi adalah ketika ia punya banyak point kecil yang menarik sebut saja seperti persahabatan, hubungan ayah dan anak, hingga perbedaan pola pikir dalam kehidupan yang mereka ikat dengan baik pada pertarungan head vs heart di pusat cerita, tapi hasil akhirnya kurang mengasyikkan. Point pertama muncul ia terasa menarik, point berikutnya juga sama menariknya, tapi efek yang mereka ciptakan tidak kumulatif dibagian akhir. Sesuatu yang terasa subjektif memang dimana saya bahkan merasa sedikit kehilangan rasa tertarik di bagian tengah film terutama pada percakapan di tengah kebun terkait Kopi Tiwus dimana hal-hal yang berputar di bagian tersebut mayoritas terasa canggung.


Well, tapi bukan berarti hadirnya nila setitik jadi rusak susu sebelanga, hasil akhir yang kurang mengasyikkan tidak menandakan perjalanan yang ia tampilkan untuk menuju kesana juga tidak mengasyikkan. Faktor lain yang mampu menjauhkan penonton dari penilaian tersebut terletak pada kombinasi antara Chicco Jerikho dan Rio Dewanto, dua karakter mereka konsisten hingga akhir membuat penonton merasa mereka sebagai individu yang menarik untuk diamati. Dialog yang dihasilkan Jenny Jusuf serta eksekusi cekatan dari Angga pada dua karakter utamanya ini punya peran yang besar dalam terbangunnya karakterisasi Ben dan Jody, dari lelucon yang tersirat namun memiliki punch yang asyik, hingga pintu yang terus terbuka sehingga kita tidak merasa tidak nyaman untuk mengenal mereka lebih jauh. Chemistry dari Chicco Jerikho dan Rio Dewanto juga punya peran yang tidak kalah besar, membawa penonton seperti sedang hangout dalam menyaksikan pertarungan antara logika dan hati yang terjadi diantara Ben dan Jody.


Overall, Filosofi Kopi adalah film yang memuaskan. Hanya dengan misi pencarian kopi terbaik yang kemudian bermain-main dengan aksi seruput kopi disana-sini yang ditampilkan dengan menggoda, anda akan mendapatkan sebuah drama menarik berdurasi 117 menit berisikan manusia yang memahami makna dari kehidupan mereka. Tidak perfecto memang, namun seperti salah satu kalimat yang ia miliki, “kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya”, Filosofi Kopi dengan kesederhanaannya secara mengejutkan berhasil memberikan sebuah refresh terkait kehidupan layaknya secangkir kopi yang membangunkan anda dari rasa kantuk, bahwa kehidupan yang enak akan selalu berhasil ditemukan oleh mereka yang mampu untuk berani dalam menikmati kehidupan tersebut.







2 comments :

  1. Lagi cari waktu untuk nonton film ini. Jarang2 ad film indonesia yang menarik perhatianku, jadi tinggi juga ekspektasi sama film ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Secepatnya mas Ron, minggu depan invasi dari Avengers akan tiba. :)

      Delete