22 January 2015

Review: Selma (2014)


"We must march, we must stand up!"

Selain segmented film-film yang mencoba mengangkat kisah masa lalu seorang juga punya dua penghalang besar yang harus ia taklukan. Yang pertama adalah apakah film tersebut berhasil menggambarkan sosok atau tokoh yang ia gunakan dalam bercerita dengan tepat, terutama pada ketepatan kisah yang tokoh tersebut alami. Ya, riskan, dan pertanggung jawabannya cukup besar. Dan kedua adalah film tersebut harus berhasil menjadikan tokoh tersebut menarik bagi penontonnya, bukan hanya ketika ia tampil di layar namun juga setelah ia menghilang dan membuat penonton ingin lebih jauh mencari informasi tentang tokoh tersebut. Nah, dua hal penting tersebut berhasil dilakukan oleh Selma dengan manis.

Pada tahun 1965 Amerika Serikat secara resmi menghapus segregasi, namun celakanya hal tersebut masih belum dirasakan oleh warga kulit hitam. Mereka masih merasa keterasingan salah satunya dengan belum diberikannya hak atau kesempatan untuk ikut dalam pemilihan umum. Hal tersebut membuat seorang aktivis hak-hak sipil bernama Martin Luther King, Jr. (David Oyelowo) mencoba melakukan “perlawanan”, memilih cara tanpa melibatkan kekerasan salah satunya melakukan perjalanan ke Selma dan mengatur pawai untuk dapat meraih perhatian Presiden Lyndon B. Johnson (Tom Wilkinson) agar perubahan dapat dilakukan. 



Sulit memang untuk merasakan benar-benar klik dengan biografi yang mengangkat masalah khusus seperti ini, tapi uniknya Selma berhasil menutup kelemahan tadi dengan cara yang sangat manis. Ini tenang, terus tenang, dan bahkan ketika ia berakhir kita juga akan merasakan ketenangan, karena hal utama yang ingin ia sampaikan di balik segala macam hal-hal terkait kemanusiaan dengan  balutan isu-isu politik itu adalah bagaimana cara menghadapi masalah tanpa menciptakan masalah. Itu yang saya suka dari Selma dimana Ava DuVernay berhasil mengemas masalah yang sesungguhnya berat terus menerus tampak ringan namun tetap memberikan sesuatu yang serius untuk penontonnya ikuti, ia berhasil menciptakan sebuah “perang” tanpa harus menghasilkan kekerasan yang berlebihan.



Benar, ini mungkin tampak sederhana dimana sekelompok orang membangun rencana, metode yang  mereka gunakan juga sederhana, dan apa yang ingin mereka capai juga tidak rumit yaitu kebebasan, tapi Selma tetap meninggalkan kedalaman yang kental pada masalah utama sehingga sejak awal hingga akhir saya terus merasakan ketegangan memikat dalam gerak lambat. Mungkin kuncinya adalah kemampuan Ava DuVernay dalam memposisikan penonton seperti seolah-olah mereka menjadi bagian dalam upaya MLK dan rekan-rekannya, kita tidak hanya mengamati dari jarak yang sangat jauh tapi kita seolah-oleh menjadi seorang reporter yang berada dalam jarak tidak begitu jauh dari mereka. Nah, itu yang tricky karena pilihannya hanya dua, apakah anda hit atau miss sejak pertama kali ia mencoba menempatkan anda di posisi tersebut.



Jika anda tidak miss maka Selma akan memberikan anda sebuah penyegaran kembali terkait isu-isu sosial yang sudah eksis sejak lama namun masih begitu besar kekuatannya hingga saat ini. Predictable memang tapi tanpa sekalipun terkesan seperti sebuah ceramah yang menekan Selma berhasil meninggalkan kesan yang mendalam pada isu perbedaan, dan menariknya bukan hanya itu namun ia juga menampilkan bagaimana tidak ada yang tidak mungkin jika anda yakin dan berjuang, bagaimana sebuah ketidakadilan tidak selalu harus dibalas dengan kekerasan, bagaimana sebuah kemenangan yang besar tidak hanya anda peroleh jika melakukan perjuangan dengan bumbu yang berlebihan. Dan satu hal yang menurut saya membuat Selma berhasil berada di level yang sama dengan 12 Years a Slave adalah ia berhasil menutup kelemahan di divisi akting (yang secara indivual tidak ada yang terasa benar-benar powerfull) lewat penggambaran yang lebih berwarna, taktik dan strategi yang di eksekusi dengan cepat, tenang, dan tajam.



Dengan durasi 127 menit serta isu utama yang terasa sangat khusus Selma seperti berada tepat di garis yang membatasi yes or no, menarik atau membosankan, karena bergerak dari isu utama cara ia menggambarkan masalah tersebut juga cenderung lambat dan tenang meskipun telah ia bekali dengan intimitas yang kuat. Tapi jika anda merupakan penonton yang tertarik dengan bagaimana informasi kecil dari sebuah sejarah yang anda ketahui dikembangkan menjadi lebih luas maka Selma akan menjadi santapan yang lezat buat anda, sebuah biografi yang bukan hanya berhasil menjadikan peristiwa dan karakter yang ia miliki terasa menarik namun juga meninggalkan atau sekedar sebuah penyegaran dari berbagai pelajaran menarik tentang kehidupan. Segmented.







0 komentar :

Post a Comment