24 November 2014

Review: Winter Sleep (2014)


Film yang berhasil Palme d'Or, mahkota tertinggi pada perhelatan Cannes Film Festival yang lalu ini dapat dikatakan merupakan salah satu kandidat terkuat di kategori Foreign Language Film pada Oscar tahun depan, wakil dari Turki dengan durasi yang dapat kamu gunakan untuk menonton Gravity sebanyak dua kali lengkap dengan credit. Memang benar Nuri Bilge Ceylan kembali berhasil membuat kejutan, namun Winter Sleep bekerja kurang sempurna, seperti lost in Cappadocia, atau versi yang sedikit lemah dari A Separation.

Seorang pria bernama Aydin (Haluk Bilginer), pengelola sebuah hotel yang terletak di perbukitan, sedang berada dalam kondisi sedih karena masalah pada pernikahannya bersama sang istri, Nihal (Melisa Sozen). Aydin mendapati bahwa banyak orang ternyata selama ini tidak menyukainya, termasuk sang istri, dan ketika musim dingin tiba semuanya semakin panas, tensi semakin tinggi ketika para pengunjung hotel mulai pergi, masalah satu persatu hadir diantara dirinya, sang istri, penduduk sekitar, termasuk adik perempuan yang tinggal bersamanya, Necla (Demet Akbag).

Ketika menonton film ini saya merasa seperti sedang berada dalam kondisi mati segan tapi hidup tak mau, tidak sedikit momen dimana saya merasa jenuh dengan berbagai masalah yang silih berganti hadir itu, terlebih dengan cara bercerita Nuri Bilge Ceylan yang masih sama seperti film terakhirnya, Once Upon a Time in Anatolia, tenang, sabar, bahkan terasa detail, tapi disisi lain seperti ada rasa penasaran yang tidak pernah padam terutama pada apa yang akan terjadi pada tiga karakter tadi. Sebuah dilemma kelas berat, terlebih dengan durasinya yang tiga jam lebih Winter Sleep dapat dikatakan seolah menempatkan penontonnya duduk di sebuah kursi dengan kondisi kaki mereka terikat, tapi tangan tidak, mereka dapat pergi sesuka hati tapi terus merasa ragu karena yang ia berikan bukan hanya hal-hal yang tidak menarik, yang menarik juga tidak kalah banyaknya.

Visual kembali jadi nilai lebih yang terbesar dari karya Nuri Bilge Ceylan, wilayah pegunungan yang dimanfaatkan dengan cerdas oleh Ceylan, batu-batu hingga bangunan yang ditangkap dengan spektakuler, mereka seperti permen manis yang diberikan sebagai selingan saat kita merasakan campur aduk rasa lainnya ketika mengamati karakter yang saling gesek dengan tenang dan halus, membongkar kehidupan mereka yang kompleks bersama dialog-dialog yang sayangnya tidak semua terasa menarik. Masalahnya adalah jumlah mereka sangat banyak, dan itu mengejutkan karena pada dasarnya masalahnya sendiri sangat sederhana, ada yang kuat dan indah, tapi ada pula yang lemah dan monoton. Saya juga kurang suka dengan keputusan Ceylan yang kali ini seolah menempatkan kita sebagai pendengar saja, mendengar dongeng yang ia berikan tanpa akses yang mudah untuk ikut serta didalamnya.


Itu yang terasa kurang dari seorang Ceylan di Winter Sleep, tidak seperti Once Upon a Time in Anatolia saat saya diberikan kesempatan untuk seperti ikut berjalan bersama karakter yang sedang mencari jasad yang hilang, disini saya murni ditempatkan sebagai pendengar, tidak diberikan ruang yang lebih baik untuk ikut terlibat. Akhirnya isu-isu menarik seperti moral dan kelas sosial jadinya terasa kurang padat, aksi memeriksa karakter yang kita lakukan bukannya memperdalam kekuatan masalah dan karakter itu sendiri, tapi justru menciptakan kesan bertele-tele di beberapa bagian. Meskipun memang ketika ia selesai ada beberapa hal yang melekat bahkan meledak dengan kuat di memori, terlebih dengan akting dari karakter utama yang baik itu, tapi bagian tengah, potret sosial yang seperti kekurangan kekuatan untuk membuat penonton tetap terjaga sepenuhnya bersamanya.










Screened at Jakarta International Film Festival 2014

0 komentar :

Post a Comment