23 November 2014

Review: Suck Me Shakespeer (2013)


Dibalik judulnya yang terbilang aneh bahkan terasa sedikit kontroversial (dalam bahasa Jerman berjudul Fack ju Göhte), film ternyata berhasil meraih satu slot di ajang German Film Academy Awards pada kategori tertinggi, best picture, dan dari segi komersial ia juga membukukan pendapatan yang besar tahun lalu. Awalnya saya berpikir profit yang ia peroleh lebih berdasarkan judul yang ia gunakan, tapi ternyata Suck Me Shakespeer punya hal lain yang lebih dari itu, yang sayangnya punya pengaruh dalam kuantitas sangat kecil.

Zeki Müller (Elyas M’Barek) baru saja keluar menghirup udara kebebasan setelah 13 bulan mendekam di penjara, tapi ternyata hal pertama yang ingin ia lakukan belum keluar dari tindakan kriminal. Zeki ingin mengumpulkan kembali hasil rampasan perampokan bank, lokasinya di sebuah gym baru yang dibangun temannya, Charlie (Jana Pallaske), dan akses menuju tempat tersebut adalah melalui ruang bawah tanah sebuah sekolah. Zeki memilih untuk menerima pekerjaan sebagai guru pengganti di sekolah tersebut untuk mempermudah rencananya, tapi ternyata ia tidak masuk kedalam sekolah yang biasa. 



Sedikit kental dengan konsep Bad Teacher, film ini pada dasarnya tidak punya materi yang terbilang sangat baik, di beberapa bagian malahan sangat lemah, konsep awalnya kuat tapi setelah itu apa yang kita peroleh lebih banyak menampilkan banyak hal konyol yang bisa saja akan terasa menjengkelkan bagi beberapa orang. Sangat childish, film yang telah dicanangkan untuk mendapatkan sekuel ini bahkan punya menit-menit awal yang dapat membuat kamu merasa gusar, dengan formula hafalan cerita seperti sedikit ditunda untuk maju, babak awal terasa palsu bagi saya, tapi setelah itu semua berubah. Ya, mungkin saja perlu waktu yang sedikit lebih lama untuk dapat klik dengan irama yang diberikan Bora Dağtekin, yang bisa dibilang satu dari dua hal yang mampu menyelamatkan film ini dari kehancuran.



Materi yang ia miliki tidak baik, tapi cara Suck Me Shakespeer berjalan mampu menutupi kelemahan tersebut. Memang terkesan seperti menjadi banyak potongan kecil yang bahkan tidak semua dari mereka akhirnya terangkai dengan baik dalam penggunaan warna visual yang mampu terus menarik atensi kita itu, tidak sedikit yang terasa dipaksakan dan kurang pas, tapi film ini sukses menggunakan banyak elemen familiar yang ia miliki untuk menghibur berkat kemampuannya menjaga momentum dari cerita. Trik seperti ini selalu mudah untuk bekerja dengan baik, materi yang miskin bentuk dalam gerak cepat, dan peluang penonton untuk tidak begitu menaruh atensi pada nilai minus yang ia miliki akan semakin besar, apalagi jika ia punya elemen lain yang sanggup mencuri atensi, dan film ini punya hal tersebut pada bagian akting.



Chemistry mereka memang tidak begitu kuat, tapi para aktor berhasil membuat karakter mereka terasa menyenangkan untuk di ikuti, tingkah jenaka over-the-top yang terus menjaga sensasi cerita, menjadikan cerita terasa variatif meskipun seperti fakta diatas tadi tidak semua dari materi yang mereka miliki bekerja dengan baik, beberapa lelucon juga sering jatuh datar ketimbang menghasilkan tawa. Uniknya dari bagian ini yang terasa memorable justru pemeran pendukung, seperti Katja Riemann dan Jella Haase, mungkin lebih disebabkan dua pemeran utamanya sering kali terlalu lama berada di layar melakukan hal-hal yang tidak semuanya terasa menarik, sehingga ketika pemeran pendukung hadir mereka sukses mencuri perhatian.



Nah, masalahnya adalah ketika ia selesai saya merasa bingung apa yang menjadikan film ini begitu popular tahun lalu, bahkan masuk menjadi nominasi film terbaik. Ia memang tidak buruk, tapi jika harus dibandingkan dengan Two Lives dan Love Steaks film ini tidak berada di level yang sama. Memang menghibur tapi tidak pernah meraih posisi tertinggi, ia terkadang lucu dan menarik, bahkan punya romance yang cukup baik, tapi tidak jarang pula penonton mendapatkan momen sebaliknya. Kurang konsisten.









Screened at German Film Festival Singapore 2014

0 komentar :

Post a Comment