16 November 2014

Review: Love, Rosie (2014)


"It's never too late to fall for a mate."

Buat saya tidak ada film yang sempurna, selalu saja ada hal-hal negatif  yang mampu mengganggu eksistensi hal-hal positif, begitupula sebaliknya dimana hal-hal positif dalam kuantitas kecil juga mampu untuk menutup bagian negatif yang ia miliki jika mampu di olah dengan baik. Love, Rosie melakukan itu, ia tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru pada genre romance, formulaic, tapi ia sukes menjadi salah satu cute rom-com tahun ini.

Rosie Dunne (Lily Collins) dan Alex Stewart (Sam Claflin) sudah bersahabat sejak mereka masih berusia 5 tahun, melewati masa kecil hingga bertumbuh menjadi dewasa bersama-sama, dan ketika mereka akan lulus SMA salah satu topik penting itu muncul. Berawal dari sebuah ciuman pada ulang tahun Rosie persahabatan yang telah mereka lalui lebih dari satu dekade itu mulai masuk menuju arah yang berbeda. Pertanyaannya adalah apakah hubungan yang telah berlangsung lama itu dapat melangkah lebih jauh dari sekedar teman? 



Film yang berdasarkan novel berjudul Where Rainbows End ini punya apa yang kita inginkan dari sebuah romance comedy, dan itu pula yang menjadi alasan kesan pertama yang ia berikan adalah tidak lebih dari sekedar rom-com daur ulang dengan menggunakan berbagai materi dan cara klasik di genre ini, yang mungkin akan banyak tampil pada alasan dari orang-orang yang kurang puas padanya. Tidak salah sih, bahkan meskipun ia berada di genre yang sangat mainstream dapat dikatakan film ini terasa sedikit segmented, sekali kamu klik dengannya kamu akan menikmatinya hingga akhir, tapi jika tidak kemungkinan besar apa yang akan ia tampilkan berikutnya dapat menjadi sebuah siksaan yang menjemukan.



Penyebabnya adalah karena Love, Rosie merupakan rom-com standard dengan pesona yang tidak semua orang dapat menikmati. Ini benar-benar dangkal pada sektor materi, mudah untuk menilainya sebagai hiburan konyol dan cheesy yang terkadang bahkan terasa frustasi dibalik statusnya yang sangat predictable itu, tapi dibalik itu ia punya pesona yang kita cari dari genre ini. Love, Rosie terasa sentimental, terkadang menjurus ke arah cengeng malah, tapi hal-hal dangkal itu tidak pernah terasa murahan, mereka manis, mereka likeable, selalu mampu menampilkan kehangatan yang menarik, kemudian memberikan sesuatu yang terasa lucu bahkan mengundang tawa kecil, meskipun hal terakhir itu sering merusak dramatisasi yang ia bangun.



Ada dua kunci dari keberhasilan Love, Rosie untuk menjadi rom-com dangkal yang manis. Pertama ada pada eksekusi yang dilakukan Christian Ditter, dimana ia sepertinya paham materi yang ia miliki kurang begitu mumpuni sehingga cerita ia bangun dengan gerak cepat yang energik. Terkadang perubahan nada cerita dari serius dan lucu memang terasa liar, tapi keputusan itu terbukti mampu menjaga daya tarik dari dua bagian besar yang ia miliki, drama dan humor. Dan yang kedua adalah chemistry antara Sam Claflin dan Lily Collins, emosi di antara mereka manis, aksi komikal terasa menyenangkan, pesona dari karakter mereka terasa menawan, dan itu mereka tampilkan dengan karakterisasi yang sejak awal hanya dibekali power yang terasa sangat tipis.



Memang bukan sebuah rom-com yang luar biasa, tapi dengan segala keterbatasan yang ia punya film ini justru berhasil memberikan hiburan romance comedy yang banyak gagal dilakukan oleh rom-com tahun ini. Dangkal dan klise, itu pasti, tapi dengan penceritaan yang terus bergerak cepat semangat yang ia miliki terus menyala hingga akhir, kombinasi serius dan santai juga cukup baik, cekatan dalam menambal nilai minus yang ia punya dengan hal-hal menyenangkan yang bisa terasa imut hingga cengeng, dan dengan chemistry manis antara dua karakter yang berhasil membuat kita merasakan apa yang mereka rasakan, Love, Rosie akan memberikan kamu salah satu hiburan rom-com manis di tahun ini, tapi dengan satu syarat, kamu harus klik dengannya sejak awal.







0 komentar :

Post a Comment