29 November 2014

Movie Review: Two Days, One Night (2014)


Dibalik kesederhanaan yang ia tampilkan film ini berhasil menggambarkan salah satu hal kejam yang dapat kita temukan dengan sangat mudah di dunia yang sudah kejam ini. Anda bisa saja memiliki puluhan bahkan ratusan teman atau sahabat yang dapat menjadi tempat rekan ketika anda berbagi kebahagiaan, namun ketika anda berada didalam situasi yang sebaliknya jumlah tersebut sangat mungkin tidak akan lagi sama, terlebih dengan keterlibatan tahta dan harta didalamnya. Two Days, One Night (Deux jours, une nuit), a soft and simple illustration about world is a battlefield.

Wanita bernama Sandra (Marion Cotillard) mendapatkan sebuah kejutan sangat besar yang sayangnya justru dapat membawa kehidupannya kearah yang lebih buruk dari apa yang ia jalani sekarang. Wanita muda dan ibu rumah tangga ini memperoleh kabar dari sahabat dekat yang juga merupakan rekan kerjanya bahwa ia akan dipecat secara paksa oleh perusahaan solar-panel tempat ia bekerja. Keputusan itu dikatakan merupakan hasil dari pemungutan suara yang melibatkan enam belas pekerja lain yang nantinya akan mendapatkan jam kerja tambahan untuk menutupi posisi yang ditinggalkan Sandra, dan tentu saja otomatis mereka juga akan mendapatkan bonus tambahan.

Namun ternyata ada fakta lain yang memberikan Sandra kesempatan untuk mempertahankan pekerjaannya. Voting tadi dikatakan berlangsung dibawah tekanan seseorang yang tidak menyukai Sandra, dan hasilnya pemimpin perusahaan memberikan kesempatan untuk melakukan voting ulang. Tapi perjuangan Sandra tidak berhenti sampai disitu, karena kondisi tersebut memaksanya untuk meraih minimal sebanyak sembilan suara pada voting berikutnya, dalam rentang waktu yang sempit berusaha mendatangi rekan kerjanya satu persatu untuk meminta mereka bersimpati dan nanti memilihnya, hal yang menghasilkan dilema karena dengan begitu mereka juga akan kehilangan bonus tambahan.


Dardenne brothers (Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardenne) kembali berhasil melakukan apa yang mereka tampilkan di karya terakhir mereka tiga tahun lalu, The Kid with a Bike, ciri yang telah identik dengan dua bersaudara ini yang kembali mereka andalkan, dan mungkin saja akan kembali memecah persepsi penonton pada hasil akhir keseluruhan yang mereka berikan. Masalah sederhana bersama dengan objek studi yang juga sama sederhananya, narasi yang repetitif dimana kita diajak untuk bergerak kesana kemari yang jika dinilai secara kasat mata seolah tampak bingung ketika mencoba berkembang, terus dialirkan dalam dinamika yang tenang tanpa bantuan ledakan-ledakan seperti dramatisasi hingga penggunaan score, tapi dibalik itu ia mampu membawa penonton untuk terus merasakan emosi pada misi dan pesan utama yang bertumbuh dari awal hingga akhir. 

Tidak heran jika ada penonton yang akan menilai film ini sebagai sebuah drama yang lesu, loyo, seolah mati rasa dan bergerak tanpa semangat, karena pengulangan secara terus menerus dari sebuah pola dasar yang mereka terapkan itu memang harus diakui sangat mudah untuk membentuk penilaian tadi. Kurang variatif, mungkin sederhananya seperti itu, karakter utama bertemu dengan rekan kerjanya, memulai percakapan dengan mengucapkan baris dialog yang secara garis besar selalu sama, kemudian mulai dihadapkan pada dilema berisikan pertarungan antara logika dan perasaan, lantas ketika hasil telah didapat kita kembali berpindah menuju rekan lainnya. Bukan hanya satu, dua, atau tiga tapi minimal sembilan orang harus “diraih” agar karakter utama dapat memenangkan pertarungan itu, sesuatu yang justru menjadi hal paling menarik dari film ini.


Two Days, One Night bukanlah sebuah drama yang menawarkan penontonnya suguhan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, ini hanyalah sebuah petualangan sangat sederhana yang tampil natural dengan mencoba memutar masalah kecil tadi untuk menggambarkan isu kemanusiaan. Proses atau perkembangan karakter berhasil mengalahkan cerita untuk menjadi daya tarik paling besar, dan apa yang coba disampaikan oleh film ini akan terasa semakin kuat dan mendalam jika sejak awal anda sudah merasakan apa yang Sandra rasakan, bagaimana jika Sandra adalah anda.  Di set untuk mengikuti karakter yang berjuang mempertahankan apa yang ia miliki kita tidak dibawa seperti mengendarai rollercoaster dengan dinamika cerita yang pedas, tapi dengan penuh ketenangan potret perjuangan dari wanita yang terus mengemis belas kasihan ini justru memberikan hasil akhir yang cukup pedas pada isu utama yang ia bawa.

Ya, cukup pedas, dari sikap tidak pantang menyerah, rasa solidaritas, simpati hingga empati, segala hal positif tadi berhasil disampaikan dalam ketegangan penuh ketenangan yang mayoritas bekerja dengan baik, terasa intim dan intens, dan itu merupakan pencapaian yang besar karena ia juga terhitung mampu menutupi nilai minus yang ia miliki. Apa saja? Sensasi pada cerita menjadi masalah utama, dan itu berasal dari pengulangan yang ia lakukan. Ada di beberapa bagian dimana saya mulai kehilangan rasa sabar dan ingin agar Sandra segera mendapatkan yang ia perlukan, dan itu memang pernyataan yang aneh karena setelah menyebutnya sebagai perjalan intens dan intim tidak dapat dipungkiri pula sedikit sulit untuk menginvestasikan emosi saya sepenuhnya pada Sandra, dan jika harus membandingkan ia kalah dengan apa yang dilakukan oleh Cyril Catoul, terutama pada bekal karakterisasi yang sejak awal terasa sedikit minim.


Terkesan kecil memang tapi ada dampak domino dari kekurangan super kecil tadi, dan itu dalam wujud sebuah pertarungan. Karakter Sandra memang memancarkan kehangatan, dan perjuangannya yang bisa saja terkesan dibangun dengan sangat hati-hati oleh Dardenne Brothers dimana memberikan momen bagi penonton merasakan sakit yang ia rasakan yang terhitung berhasil, tapi ini minim kejutan, gerak mondar-mandir yang periodic bersama setting minimalis yang ia miliki terasa kurang kuat dalam memberikan kontribusi pada power berbagai isu yang ia usung, dan seperti yang disebutkan sebelumnya pada akhirnya mereka terasa kurang pedas, kurang provokatif untuk memberikan pertanyaan tentang humanisme, pukulan-pukulan kecil yang mereka berikan kepada penonton yang tersebar di setiap sketsa kecil itu kurang stabil, ada yang benar-benar kuat tapi ada pula yang terasa lemah, hal yang membuat perjalanan Sandra tidak terasa seperti lapisan yang satu persatu menumpuk dan akhirnya mencapai titik tertinggi.

Tapi ada nilai positif besar dari kekurangan tadi, dan dapat dikatakan juga menjadi sumber dari keputusan untuk tidak begitu mempermasalahkan dampak yang diberikan kekurangan tadi. Nilai positif itu adalah penampilan dari Marion Cotillard, dan dapat dikatakan merupakan salah satu performa paling standout di tahun ini pada kategori aktris. Meskipun Sandra akhirnya tidak menjadi karakter yang benar-benar megah, tapi apa yang Marion Cotillard lakukan terhitung sangat baik jika menilik karakterisasi yang diberikan kepadanya sangat minim, mampu ia olah menjadi sebuah tahapan bagi penontonnya, pertama kita merasa Sandra menarik, lalu merasa empati pada masalah yang ia hadapi, kemudian mulai menyaksikan gejolak emosi yang satu persatu menghampirinya. Bukan hanya manis, tapi Marion Cotillard mengubah Sandra menjadi wanita rapuh yang sangat menarik dan juga “cantik”, kegigihan dan rasa ragu ia bakar secara bersama dengan pertarungan penuh tekanan dan depresi yang ia alami.


Overall, Two Days, One Night adalah film yang memuaskan. Merupakan sebuah pencapaian yang memikat mengingat dengan cara mondar-mandir ketika ia bergerak Dardenne brothers kembali berhasil menghadirkan sebuah studi karakter yang bukan hanya mampu terus meraih atensi penontonnya hingga akhir, tapi juga memberikan mereka sesuatu yang menarik ketika ia telah berakhir lewat isu humanisme yang ia usung. Sayangnya tidak seperti penampilan yang diberikan oleh Marion Cotillard secara keseluruhan ini terasa kurang standout, sebuah kemasan yang lembut dan cekatan namun kurang berhasil membawa penonton merasakan sebuah petulangan dengan gejolak batin serta isu-isu yang konsisten menghantui pikiran dan emosi mereka. 







0 komentar :

Post a Comment