12 September 2014

Review: Are You Here (2014)


Film yang terasa menggantung saat ia selesai itu tidak selamanya buruk, seperti tidak meninggalkan jawaban yang lantas membuat penonton bebas menilai hasilnya sesuai dengan keinginan mereka. Tapi film dari creator salah satu tv series paling menarik sekarang ini, Mad Men, tidak meninggalkan kesan seperti yang disebutkan tadi, ia punya materi yang menarik, tapi sayang sekali tidak terbangun dengan cara yang sama menariknya. Are You Here?

Ben Baker (Zach Galifianakis) adalah seorang pria pendiam yang baru saja kehilangan ayahnya yang meninggal dunia. Bersama sahabat karibnya, Steve Dallas (Owen Wilson), Ben memutuskan untuk pergi ke kampung halaman mereka di Pennsylvania, membawa serta masalah yang mereka hadapi. Disana mereka telah ditunggu oleh Ben Terri (Amy Poehler), wanita yang juga sedang memiliki masalah pada pernikahannya, wanita karir yang juga punya hubungan yang kurang begitu baik dengan kakaknya, Ben. 


Seperti yang saya sebutkan diatas tadi kalau melihat materi yang dimiliki sebenarnya film ini dapat dikatakan tidak berada di kelompok yang begitu buruk. Ini seperti menggabungkan persahabatan, keluarga, dan juga sedikit bumbu cinta didalamnya dalam bentuk berbagai masalah yang menimpa tiap karakter. Dan uniknya mereka terasa menarik, bukan karena faktor dari para aktor yang sudah familiar itu, tapi apa yang ingin Matthew Weiner sampaikan disini dapat ditangkap dengan mudahnya, seperti meneliti keluarga yang jadi kacau setelah ditinggal orang tua, dan semakin menarik ketika ia memanfaatkan permainan sudut pandang dalam bercerita.

Masalahnya adalah ini terlalu besar, jadinya semua yang ia berikan terkesan gantung dan tidak tergali dengan baik. Setiap masalah seperti hanya dikupas setengah dari seharusnya, dan Matthew Weiner kurang cermat disini, hasilnya eksplorasi dari berbagai isu-isu standard yang tetap terasa menarik karena awalnya tampak dijanjikan sebagai sesuatu yang rumit itu seperti setengah masak karena mereka dibentuk dengan cara yang kurang efektif. Ceroboh mungkin lebih tepatnya, karena Matthew Weiner seperti terlalu asyik untuk memperdalam konflik seperti yang ia lakukan di tv series tapi tidak mampu menyiasati agar cerita yang ia punya berhasil fit dalam satu penceritaan yang padat. 


Itu yang mengecewakan bagi saya, saat saya mulai tertarik dengan karakter-karakter yang mencoba untuk memulihkan diri mereka, saya kemudian harus mendapati rasa dimana mereka mulai stuck dan tidak berkembang. Ini bisa saja tampil lebih menarik andaikan ceritanya dijabarkan dengan cekatan, mengambil point-point penting tanpa harus menjelaskan mereka sampai terlalu dalam, sehingga alur ceritanya mengalir bukannya terputus seolah seperti gabungan dari beberapa episode sebuah sitcom, apalagi jika melihat materi yang ia punya pada dasarnya tidak buruk, dan juga para pemeran utama yang memainkan peran yang sudah menjadi hafalan mereka. 


Ini jelas sebuah persembahan yang kurang memikat dari seorang Matthew Weiner, dan itu akibat ambisinya yang terlalu bersemangat untuk menjadikan cerita gemuk miliknya itu mampu masuk kedalam durasi yang tidak kalah gemuknya. Cerita yang ia miliki sebenarnya menarik, masih mengambil basis karakter untuk mengeksplorasi isu-isu yang sudah familiar, tapi eksekusinya itu yang jelek, tidak efektif, kurang cermat, sehingga cerita tidak menyatu dengan baik dan terasa terlalu lama, dan hal terakhir itu yang akan mudah banget memberikan rasa jengkel.







0 komentar :

Post a Comment