12 September 2014

Movie Review: The Purge: Anarchy (2014)


"Stay safe. Stay safe."

Hanya dengan bermodalkan $3 juta, tahun lalu Michael Bay bersama rekan-rekannya mampu menghasilkan uang hampir 30 kali lipat dari sebuah thriller berkedok horor sederhana yang mereka bangun, hiburan super standard yang berhasil menjadi hit atau sensasi luar biasa berkat premis kontroversial yang ia tawarkan. Tidak perlu waktu lama tahun ini mereka hadir lagi, kembali meraih kesuksesan yang sama di sektor financial, namun celakanya masih dengan kualitas yang sama. The Purge: Anarchy, just extremely little bit better than the first film.

Credit itu telah muncul di layar televisi, sebuah peringatan dini kepada penduduk USA untuk segera bersiap sedia menyambut event tahunan yang dimulai pada tanggal 21 Maret, Annual Purge, momen dimana semua pintu dan jendela rumah tertutup rapat, jalanan menjadi lapangan kosong yang penuh kegelapan, serta polisi hingga pemadam kebakaran yang dipaksa beristirahat sejenak untuk memberikan kesempatan bagi segala bentuk kejahatan bersenang-senang hingga jam 7 pagi keesokan hari tiba.

Celakanya selalu saja ada yang tidak berhasil berlindung dan harus terlibat dalam aksi kejar bersama sekumpulan pria misterius. Eva (Carmen Ejogo), bersama putrinya Cali (Zoe Jiwa), dan juga pasangan suami istri Shane (Zach Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez), terpaksa harus bermain petak umpet dari melewati gang yang sepi hingga terowongan bawah tanah menuju kediaman salah satu rekan mereka untuk berlindung, dibawah pertolongan seorang pria bernama Leo Barnes (Frank Grillo) yang tampak mencurigakan karena sikap iseng untuk tidak memilih berlindung.


Tidak perlu bingung, sinopsis diatas tadi memang tampak seolah hadir tanpa sebuah tujuan yang kuat, persis seperti kisah yang ditulis oleh James DeMonaco, begitupula dengan cara ia dibangun. Masih seperti film pertamanya itu, yang menarik disini hanyalah premis menyeramkan yang kali ini ia putar dan lebarkan, dari awalnya hanya sekedar bermain-main dengan rumah yang sempit kini mencoba mengelilingi sebuah kota yang luas dimalam hari lengkap dengan kendaraan yang mengintimidasi, topeng yang menakutkan, hingga senjata dan api ciri khas pemberontakan. Ya, masukkan korban kedalam labirin yang lebih besar bersama manusia-manusia buas yang siap memangsa, dan set mereka di dalam mode survival untuk menemukan jalan keluar, yaitu tempat berlindung yang aman.

Pada awalnya segala formula identik yang ia terapkan itu uniknya kembali berhasil menebar daya tarik yang cukup baik, terutama pada harapan bagaimana ruang luas tersebut akan dimanfaatkan untuk membangun kembali ide yang sesungguhnya masih tetap terasa menarik diluar kesan underwhelmed yang diberikan pendahulunya itu, dengan cakupan materi yang dapat dimanfaatkan semakin besar ini dapat menjadi lebih misterius, lebih intens, dan lebih menegangkan. Celakanya ternyata ia tidak hanya identik di tahap awal saja, karena hingga menyentuh garis finish apa yang pernah anda saksikan di film pertama kembali hadir disini, kisah potensial yang terjatuh dan masih tidak tahu caranya untuk kembali bangkit di paruh kedua.


Ya, ketika kita berada di tahap dimana kisah masih menggambarkan para penduduk yang dengan cemasnya mulai berpacu bersama countdown timer yang telah di set itu The Purge: Anarchy masih terasa menarik, namun setelah itu semua jatuh perlahan, persis seperti yang pernah dialami film pertama. Penyebabnya? Cerita yang pemalas, seolah sengaja menolak memanfaatkan elemen pendukung cerita yang semakin variatif untuk membentuk cerita menjadi sebuah permainan yang terasa lebih variatif. Monoton, narasi yang seharusnya dapat menjadi sebuah kritik tajam terkait kondisi sosial dengan memanfaatkan hubungan antara kaya dan miskin itu justru dijahit dengan sibuknya bersama berbagai pengulangan yang sama dinginnya dengan setting malam yang mereka gunakan.

Benar, dingin, ia miskin misteri, bahkan tidak punya tekanan seperti yang dihasilkan The Purge. Meskipun telah melepaskan horor dari sasaran utama mereka, thrill yang diberikan oleh elemen action dengan aksi kucing dan tikus itu masih terasa tumpul, tampil lembek akibat urutan cerita yang kurang berhasil bekerja dengan baik untuk konsisten menebar ancaman, dampak dari penyebab utamanya tadi, kurang inovatif dalam mengeksplorasi kelebihan yang ia miliki pada materi mentah yang seharusnya dapat dimasak menjadi letusan serangan penuh sensasi menyenangkan yang datang dari berbagai arah untuk menyerang karakter yang sejak awal hanya dibekali dengan tugas yang sangat terbatas itu.


Overall, The Purge: Anarchy adalah film yang kurang memuaskan. Kondisi dimana ia punya materi yang jauh lebih besar ketimbang pendahulunya yang hanya memiliki sebuah rumah itu kurang berhasil dimanfaatkan dengan baik James DeMonaco. Ini hanyalah pengulangan dari kesuksesan dan kegagalan yang pernah dihasilkan oleh film pertama, sebuah kisah menjanjikan yang menarik diawal namun kemudian tampil monoton akibat sikap “mereka” untuk menolak menjadikan ini lebih inovatif, hanya mencoba menjadi sebuah pleaser sederhana yang akan memuaskan penonton yang puas dengan film pertama, tapi akan mengecewakan mereka yang menginginkan sesuatu lebih baik dari itu, tidak hanya sebuah loncatan super kecil.






0 komentar :

Post a Comment