04 September 2014

Movie Review: Ju-on: The Beginning of the End (2014)


Bukan hanya mungkin, tapi Ju-on (terutama Ju-on: The Grudge) telah menjadi jawaban yang sangat akrab dengan pertanyaan “film horor paling creepy”, kombinasi dari anak kecil bertubuh putih, suara periodik yang chilling, hingga ketenangan yang kemudian dihajar oleh kejutan visual, an instant favourite. Jadi bukan sesuatu yang aneh ketika franchise mereka mulai menunjukkan grafik menurun kemudian pilihan reboot itu diambil, karena resiko dari mengulang kembali sesuatu yang telah usang cukup kecil di genre horor. Ju-on: The Beginning of the End (Ju-on: Owari no Hajimari), still loyal, still fun.

Wanita muda manis bernama Yui Shono (Nozomi Sasaki) dengan penuh rasa gembira menghubungi kekasihnya, Naoto Miyakoshi (Sho Aoyagi), setelah mendapatkan pekerjaan sebagai guru tetap di sebuah sekolah dasar. Tapi tidak butuh waktu lama masalah langsung menghampiri Yui, sumbernya adalah seorang murid bernama Toshio Saeki (Kai Kobayashi) yang telah lama absen tanpa kabar yang jelas. Sikap kepala sekolah yang seolah tertutup semakin memperbesar rasa penasaran Yui, yang kemudian memutuskan untuk datang ke rumah Toshio dan menemui orang tuanya.

Celakanya rumah Toshio telah lama di juluki sebagai rumah angker, rumah dimana orang yang telah masuk kedalamnya akan keluar bersama kutukan yang terus menghantui mereka. Hal tersebut ternyata bukan sekedar mitos belaka, karena setelah masuk dengan langkah berani kedalam rumah tersebut Yui kemudian harus menjalani hari-harinya bersama perasaan aneh, hal yang juga dialami oleh empat pelajar yang pernah iseng untuk masuk kedalam rumah tersebut, Yayoi (Yuina Kuroshima), Aoi (Haori Takahashi), Rina (Miho Kanazawa), dan Nanami (Reina Triendl).


Tidak banyak yang akan menyangkal jika anda berpendapat bahwa kisah yang kini berada dibawah kendali sosok baru ini, Masayuki Ochiai dan Takashige Ichinose, merupakan kemasan copy-paste dari pendahulunya, karena faktanya memang begitu. Formulanya masih sama, bahkan jika menilik hingga hal-hal detail para penonton yang sebelumnya pernah menyaksikan film yang menjadi dasarnya itu mungkin akan sulit untuk menjaga agar memory mereka tidak melakukan recall pada kejadian-kejadian di pendahulunya tersebut. Hampir identik, bisa dikatakan seperti itu, ia masih menawarkan beberapa bab kecil yang menguak masalah yang dihadapi dari tiap karakter, hingga kehadiran elemen-elemen ikonik yang harus diakui akan memecah penontonnya.

Ya, memecah penonton, namun kali ini menjadi tiga bagian. Penonton yang sama sekali belum pernah menyaksikan Ju-on akan sulit untuk menampik bahwa mereka tidak gembira dengan apa yang diberikan oleh Masayuki Ochiai dan timnya ini, berbagai formula klasik khas haunted house yang meskipun penceritaannya terpecah dan mungkin terkesan terputus-putus tetap mampu mempertahankan atmosfir eerie yang kuat dan konsisten bersama dinamika yang berani dan mumpuni. Ketegangan dan teror hadir dalam komposisi yang cermat dan efektif disini, gerak naik dan turun yang menjadikan rasa penasaran itu tidak pernah berjalan sendiri karena terus di iringi rasa waspada yang bekerja dengan sangat baik untuk sekedar merubah posisi duduk penontonnya dari santai menjadi siaga, dan seterusnya.


Bagaimana dengan mereka yang telah menyaksikan film pendahulunya itu? Mereka akan terpecah lagi menjadi dua bagian. Pertama, penonton yang kecewa kelas berat, mereka yang mengharapkan film ini mampu menghidupkan kembali kisah lama itu dengan cara yang segar serta kualitas yang sama baiknya, tidak hanya sekedar mengulangi apa yang pernah mereka nikmati sebelumnya, yang bahkan celakanya kali ini beberapa elemen pembentuknya terasa terlalu dipoles, hal yang menghilangkan daya dukung tambahan pada sensasi menakutkan yang dihasilkan, sebut saja nada dan irama cerita yang terasa sedikit lebih ceria, hingga setting yang terasa minimalis.

Namun Ju-on: The Beginning of the End akan tetap terasa menyenangkan bagi mereka yang telah menonton namun tidak mempersoalkan hal tadi, atau bisa dibilang telah terjebak didalam petualangan yang diberikan kemasan terbaru ini. Saya berada di bagian ini, mengalami recall pada memory, tersenyum ketika momen-momen yang potensial memberikan kejutan itu hadir karena telah familiar, kesulitan untuk klik terlalu dalam dengan narasi, rasa penasaran yang tidak begitu besar, namun tetap mampu menikmati sensasi yang ia lemparkan, aksi petak umpet mengasyikkan yang dihasilkan kombinasi permainan kamera serta score yang kencang itu. Pesona itu masih ada meskipun tidak lagi kuat, gaya horror Jepang klasik yang dibentuk bersama kegelisahan yang masih mumpuni.

Satu hal yang terasa cukup mengecewakan dari film ini adalah kekuatan dari karakter yang ia miliki. Sebuah penurunan, Toshio yang dahulu menjadi senjata paling ampuh kini mungkin sudah terasa biasa, karakter wanita juga minim daya tarik dan terselamatkan berkat wajah yang mereka miliki. Hal tersebut yang kerap menghambat potensi menakutkan untuk tampil maksimal, ekspresi wajah mereka memang baik namun tidak dengan tatapan mata yang sering kosong, hal penting yang selalu mampu meningkatkan tensi dari rasa takut yang dirasakan oleh penonton, tidak heran jika di beberapa bagian justru berubah menjadi lucu yang sering mencuri atensi.


Overall, Ju-on: The Beginning of the End (Ju-on: Owari no Hajimari) adalah film yang cukup memuaskan. Peluang sebuah reboot untuk menjadi lebih besar dari pendahulunya selalu kecil, tapi dalam kasus tersebut film ini at least mampu untuk tidak jatuh terlalu jauh apalagi mengingat standard pendahulunya yang bisa dibilang telah cukup tinggi. Ibarat sebuah copy and paste dengan formula yang sama bersama beberapa sentuhan baru dalam kapasitas kecil, tidak megah namun mampu mengolah berbagai elemen klasik menjadi hiburan yang tetap berhasil menakuti-nakuti penontonnya dengan efektif.








0 komentar :

Post a Comment