07 September 2014

Movie Review: The Immigrant (2013)


"Is it a sin for me to survive when I have done so many bad things?"

Film ini punya apa yang menjadikan sebuah film drama terasa menarik, karakter yang punya daya tarik dan pesona yang kuat, mampu menenggelamkan penontonnya kedalam petualangan yang mereka miliki, dan uniknya itu terbentuk dalam cita rasa abu-abu yang mungkin akan memutar perasaan penonton diantara gelisah dan menikmati. James Gray kembali dengan hiburan yang penonton harapkan darinya, The Immigrant, an understated old-fashioned melodrama.

Pada tahun 1921 seorang wanita yang tampak innocent bernama Ewa Cybulska (Marion Cotillard) terjebak dalam sebuah masalah yang sangat minim opsi dan juga solusi. Ketika baru tiba di Pulau Ellis, New York, dalam rangka mengunjungi paman dan bibinya serta berniat memulai kehidupan yang baru, Ewa bersama sang adik, Magda (Angela Sarafyan), justru tidak memperoleh izin dari pihak imigrasi. Dua wanita asal Polandia ini ditahan karena penyakit yang diderita Magda, bahkan secara paksa mereka dipisahkan karena Magda harus menjalani karantina dan proses perawatan di pulau tersebut.

Tekanan untuk segera mengeluarkan Magda dari pulau tersebut memaksa Ewa menerima tawaran dari pria bernama Bruno (Joaquin Phoenix), seorang germo yang bekerja pada sebuah panggung teatrikal. Namun keinginan Ewa yang begitu besar untuk segera memperoleh uang dalam jumlah yang banyak memaksanya terjebak lebih jauh ketimbang hanya menjadi seorang penari panggung, hal yang sesungguhnya menciptakan gejolak batin yang cukup besar bagi Bruno. Celakanya gejolak itu semakin besar dengan kehadiran pria bernama Emil (Jeremy Renner).


Yap, ketika film ini berakhir saya bergumam, “yeah, Gray’s style, he did it again.” Kembali menelurkan karya setelah rehat selama lima tahun, pria asal New York itu masih belum kehilangan sentuhan kuat yang menjadi ciri khasnya, sentuhan yang mungkin akan kurang sanggup menarik penonton dalam jumlah yang sangat banyak untuk dapat menikmati karya miliknya, namun mampu memberikan kepuasan bagi mereka yang telah mampu menikmati “cara” yang ia miliki. Ya, cara, premis yang kembali memakai sistem cinta segitiga (seperti Two Lovers, film yang mengenalkan saya padanya), sinopsis yang tidak kalah sederhana, dibangun dengan sabar dan terkesan lambat, struktur yang ketat dan stabil, sebuah seni drama skala kecil yang punya power untuk melekat lama di memory penontonnya.

Benar, ini skala kecil, bahkan pada durasi hampir dua jam tidak ada sebuah loncatan excitement yang super besar dalam cerita tentang perjuangan untuk bertahan hidup ini, yang lagi-lagi berhasil mengkombinasikan tragedi dan ironi dengan manis. Seperti sebuah opera, semua mengalir dengan irama yang terkendali untuk kemudian membuat penontonnya hanyut bersama karakter, sebuah melodrama yang tampak mentah namun memiliki pesona yang cantik ketika ia dengan berani berjalan mondar-mandir untuk bermain dengan manipulasi antara rasa putus asa dan cinta bersama dominasi warna sepia dari cinematography impresif olahan Darius Khondji. Dan itu manis, bagaimana ketika ia tampil melankolis tanpa menjadikan materi klise itu terasa berlebihan.


Itu yang menjadikan The Immigrant terasa menarik. Dibalik penceritaan miliknya yang mungkin akan terasa terlalu halus dan berpotensi membosankan itu ia punya elemen-elemen lain yang digunakan dengan baik oleh James Gray untuk menyampaikan misi yang ia bawa didalam film ini. Narasi yang disuguhkan memang terasa kurang ketat, tapi tidak dengan atmosfir yang menemani ia berjalan, bagaimana ketika rasa tragis dan sedih itu disampaikan dengan cekatan oleh permainan mood yang dikemas dengan bijak itu, tensi yang terbentuk dengan presisi mampu memberikan kesempatan bagi adult romance itu untuk menampilkan siksaan yang mereka alami, menciptakan ruang bagi karakter untuk mengalami evolusi yang lagi-lagi tidak hadir secara mencolok namun lewat sentuhan dan tahapan kecil yang lembut.

Bukan sebuah kejutan memang, karena selain piawai dalam menciptakan mood cerita James Gray juga terampil dalam membentuk evolusi karakter, mampu mengendalikan agar karakternya terbangun dengan tenang dan mature, terungkap secara perlahan bersama dinamika yang pas. Ini seperti menyaksikan versi lain dari August: Osage County, konflik internal yang seolah malu-malu untuk memberikan anda ledakan frontal bagi mata, namun terus membuat anda merasakan tiap gesekan yang ia miliki dengan momentum dan intensitas yang mumpuni, seperti sebuah hipnotis dimana sedikit nilai minus yang ia miliki dari narasi yang kurang kokoh hingga cara berjalannya yang lambat dan dapat mengganggu itu dapat diminimalisir ketika berbagai konflik disajikan dalam pertunjukkan akting yang tenang namun intens.


Nah, divisi akting dapat dikatakan menjadi alasan terkuat mengapa The Immigrant terasa menarik, memberikan kontribusi positif yang sangat besar pada nilai akhir. Seperti yang disebutkan tadi semua terbangun dalam tahapan yang mumpuni disini, dan itu berhasil memikat berkat kinerja dari para aktor yang juga sama baiknya. Mayoritas berasal dari ekspresi dan juga tatapan mata, seolah mata mereka berbicara menyampaikan masalah dan perasaan dari karakter yang mereka mainkan. Joaquin Phoenix punya pesona yang halus disini, gejolak batin yang kompleks terus mencuri atensi, Jeremy Renner juga cukup baik dalam menciptakan gesekan konflik. Marion Cotillard yang menjadi pusat cerita berhasil menjadi bintang utama, ia mampu menjalankan tugasnya dengan cantik dan kuat dalam menggambarkan penderitaan yang tenang dan menekan itu. 


Overall, The Immigrant adalah film yang memuaskan. Sebuah kemasan abu-abu, ia terasa ringan untuk menjadi sebuah film kontemplatif, namun juga terasa sedikit berat untuk dilabeli sebuah drama percintaan mainstream. Terbangun dengan tenang dan mayoritas mengandalkan suasana hati penontonnya, didukung dengan soulful performances yang kuat dari divisi akting, James Gray kembali berhasil meyajikan sebuah drama berlandaskan gejolak internal yang intens tanpa harus tampil mencolok, sebuah period drama dengan kisah bersahaja yang sederhana namun kuat pada point utama terkait survival, love and loss, serta memaafkan, dan seperti Two Lovers, ia tampak biasa saat disaksikan, namun ketika final shots itu perlahan menghilang ia akan menetap lama di pikiran penontonnya. Segmented. 







2 comments :

  1. This is one of the best films ever made. It reminds me why I love movies and why it should be cherished as an art.

    ReplyDelete